Kematian: Tak Mau Berpaling Congkak dari Wajah Tuhan

Kakek dan nenek. Kakek dari bapak dan ibu, nenek dari bapak dan ibu. Bapak dan ibu sendiri. Apa yang sebenarnya perlu ditangisi berlarut-larut dari setiap kematian?

Jelas tertera dalam kitab suci, semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Aku, kamu, kita semua sedang berdiri mengantre untuk satu kepastian selepas kehidupan, yaitu kematian.

Dalam ziarah kubur sesaat sebelum memasuki bulan Ramadan tempo hari, kujumpai mereka dalam rupa nisan-nisan yang menggigil. Aku berlutut merajutkan doa, menapak tilas kenangan-kenangan yang pernah terjalin di antara kami. Tentu, sebagaimana kebanyakan hubungan, selalu ada saja riak tak terelakkan dalam perjalanannya. Namun kami tahu, kami selalu saling menyayangi dalam cara-cara yang barangkali tak selalu sama dan itulah yang mungkin terkadang membuat suatu hubungan mengalami pasang surut keharmonisan. Sesuatu yang teramat lumrah, bukan?

Dalam ziarah itu saja, sunyi yang melesak ke dada rasanya sudah aneh sekali. Itu jenis sunyi yang tak seperti kesunyian-kesunyian pada umumnya. Malam Lebaran nanti, seiring gema takbir di seluruh penjuru, kesunyian itu pasti menjadi kian tajam. Dadaku mungkin akan robek karenanya. Namun lagi-lagi, sebagai suatu keniscayaan, aku tak boleh menangisi kematian siapa pun berlarut-larut.

Sepanjang usia, orang-orang akan selalu datang dan pergi dengan segala cara. Sebagian hanya pergi untuk sementara, sebagian lagi benar-benar untuk selamanya. Tak menengok bila kau panggil, tak pula dapat kau rengkuh dalam pelukan meski kau telah berlari-lari untuk mengejarnya.

Namun bukankah pada setiap perpisahan, terutama yang disebabkan oleh kematian, kita akan berhadapan dengan wajah Tuhan? Ya, Tuhan dengan segala kehendakNya. Tuhan yang apa-apa yang telah menjadi ketetapanNya tak akan dapat ditangguhkan barang sesaat pun oleh siapa pun dan dengan dalih apa pun.

Kau suka atau kau tak suka, kau mau atau kau tak mau, kau rela atau kau tak rela; yang telah menjadi ketetapanNya akan tetap terjadi. Aku bisa saja menangis sepanjang waktu, menangis sampai bening air mata berubah merah bahkan hitam supaya makin jelas dukaku di mata orang-orang yang melihatnya, juga menangisi Ramadan yang sunyinya bukan kepalang tanpa keberadaan orang tua dan lebih-lebih Lebaran nanti.

Namun bila demikian yang kulakukan, tidakkah itu sama dengan aku berpaling congkak dari wajah Tuhan? Seolah-olah apa yang menjadi keinginanku, bila terlaksana sudah pasti akan lebih baik daripada yang telah menjadi ketetapanNya.

Tidak. Tentu saja tidak. Dia tahu segalanya dan aku tidak. Di hadapanNya, aku sungguh hanya seorang hamba, selamanya akan menjadi hamba. Makhluk lemah yang bahkan menghitung rambut atau pori di tubuh sendiri pun tak sanggup.

Kakek dan nenekku, bapak dan ibuku, juga semua saudara dan kenalanku sungguh bukanlah milikku. Aku harus terus mengingat itu saban sisi gelap jiwaku mulai menggugat yang seharusnya tak kugugat. Mereka milik Tuhan, sepenuhnya milik Tuhan. Aku tak terkecuali, kau juga. Adalah hak penuhNya untuk menetapkan waktu bagi setiap dari kita.

Sampai di sini, bukankah kita tak ubahnya para pelari di medan lari masing-masing? Kita tempuh perjalanan begitu kata ‘mulai’ diserukan dan sebaliknya, usai begitu pita penanda ‘akhir’ terputuskan. Tuhan pemilikku dan pemilikmu, maka hanya kepadaNyalah pula kelak kita kembali.


Penulis

1 COMMENT
  • Roselin A.
    Reply

    Sangat mengharukan. Untaian katanya mampu mendeskripsikan rasa hati dari kehilangan dan keikhlasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *