Jawaban Doa di Bulan Ramadan

TEMPAT kerja pertamaku adalah di laundry yang tidak jauh dari rumah. Aku bekerja di sana mulai tanggal 15 Januari 2009. Laundry itu istilah kerennya, yang sebenarnya aku tak lebih sebagai seorang pembantu. Gaji di laundry juga kecil sekali. Banyak orang—terutama tetangga—mencibir pekerjaanku. “Kalau cuma jadi pembantu, buat apa susah-susah sekolah sampai SMA?”, demikian komentar sinis mereka. Awalnya aku malu bekerja di laundry, tapi kemudian tak ambil pusing. Aku butuh uang dan tidak minta pada tetangga. Lagi pula aku betah bekerja di tempat itu, bos baik padaku. Jika aku melakukan kesalahan, Bos tak pernah marah. Bos sangat memahamiku luar dalam. Aku sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Dan yang penting, dengan gaji yang sedikit itu, aku tetap bisa membeli buku setiap bulannya untuk memuaskan dahaga otakku. Target jangka panjang, aku ingin mengumpulkan uang untuk membeli laptop agar bisa menulis. Ya. Mungkin sekarang aku jadi pembantu, tapi aku punya impian yang lebih tinggi untuk jadi penulis.

Masalah cukup serius datang menerpaku di bulan April 2010. Aku berselisih dengan seorang teman, membuat suasana kerja menjadi tidak nyaman. Aku kemudian memutuskan keluar dari laundry. Keputusanku yang tiba-tiba membuat Bos sangat terkejut. Bos sempat menahanku agar tidak pergi. Namun orang yang sedang dikuasai emosi memang tidak bisa berpikir jernih. Aku bersikeras untuk keluar dari tempat kerja.

Setelah keluar dari laundry, aku sempat melamar pekerjaan di sebuah minimarket. Di tempat itu aku hanya bertahan empat hari, lalu dipecat. Pemilik minimarket tidak percaya pada kemampuan kerjaku. Karena tubuhku terlalu kecil untuk ukuran orang normal seusiaku (saat itu 20 tahun, tinggi 140 cm, berat 30 kg), dia takut mempekerjakan aku. Mencari pekerjaan lagi tidak mudah. Bagaimana jika tempat kerja lain langsung menolak setelah melihat kekurangan fisikku? Saat itu juga aku langsung menyadari bahwa keputusanku keluar dari tempat kerja yang lama adalah sebuah kesalahan fatal. Tapi aku malu mau kembali ke sana lagi.

Bulan-bulan berikutnya berlalu kelabu. Aku jadi pengangguran. Tak punya uang, tak punya teman, tak bisa melangkah, tak punya masa depan. Aku berubah menjadi orang yang tak punya semangat hidup. Dalam keadaan putus asa demikian barulah aku teringat pada Tuhan, teringat pada Allah. Aku datang dan bersujud padanya. Salat. Sebelumnya aku tidak pernah salat.  Aku hanya menjalankan puasa karena ibadah tersebut tergolong mudah untukku. Aku kuat menahan lapar. Selebihnya, Islam-ku adalah Islam KTP. Jangan dikira aku bangga dengan Islam KTP. Aku menceritakan hal ini hanya sebagai catatan peringatan untuk diri sendiri (mungkin untuk orang lain juga).

Aku memohon pada Allah agar ditunjukkan jalan terbaik. Aku menangis setiap hari. Aku mengadu pada-Nya bahwa sebenarnya aku sangat menyukai pekerjaan lamaku. Aku ingin bekerja di laundry lagi. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya membuang gengsi untuk bisa kembali ke sana.

Setiap bulan Ramadan, bosku menerima titipan aneka jajanan pasar dari orang-orang untuk dijual di halaman. Demikian juga pada bulan Ramadan tahun 2010. Aku sangat jarang keluar rumah dan jika harus pergi, aku selalu menghindar lewat di depan laundry. Tetangga kanan kiri yang menitipkan jajanan di tempat Bos atau membeli jajanan di sana berkata pada ibuku kalau Bos selalu menanyakanku. Aku tak pernah berkomentar jika Ibu menyinggung pekerjaan lamaku dan Bos, namun sesungguhnya dalam hati aku merasa sangat sakit. Aku memang sudah memiliki ikatan emosional dengan Bos, sehingga jika teringat padanya aku selalu ingin menangis. Aku masih salat lima waktu (tepatnya berusaha) Seusai salat aku selalu berdoa panjang, memohon agar bisa bertemu dengan Bos, dengan kata lain dikembalikan ke pekerjaan lamaku. Aku bertambah sedih jika mengingat hari raya Idul Fitri yang akan datang. Aku benar-benar tidak punya uang.

Beberapa hari setelah puasa Ramadan atau di bulan Agustus 2010, Ibu menunjukkan SMS padaku (waktu itu aku tak punya ponsel, jadi jika berkomunikasi dengan siapa pun masih menggunakan ponsel Ibu). Itu adalah SMS dari Bos. Karyawan Bos yang menjadi penggantiku tiba-tiba jatuh sakit saat bekerja. Bos membutuhkan bantuanku, aku diminta datang ke laundry segera. Dengan perasaan terkejut bercampur senang, aku langsung berganti baju, keluar rumah lalu berjalan menuju laundry. Bahagia, lega, sekaligus berdebar-debar bercampur menjadi satu.

Dalam perjalanan aku bertemu dengan anak laki-laki Bos yang akan bermain. Anak itu menyapaku. Aku merasakan angin sejuk berembus. Tapi aku bingung memikirkan apa yang harus kukatakan pada Bos nanti. Sampai di depan laundry, aku melihat Bos sedang sibuk menata jajanan di meja. Aku mendekatinya dengan ragu-ragu, bingung harus berkata apa. Untungnya Bos melihatku lebih dulu. Bos tersenyum ramah. Dia meninggalkan jajanan di luar dan memintaku mengikuti ke dalam. Meskipun sudah tahu apa saja yang harus dikerjakan, aku membiarkan Bos menunjukkan padaku mana baju-baju yang harus disetrika. Sebenarnya aku khawatir kalau kembali lagi ke laundry Bos akan menunjukkan gelagat berbeda. Bisa saja Bos berubah menjadi sewenang-wenang karena tahu aku tidak bisa mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Rupanya kekhawatiranku sama sekali tak terbukti. Bos tetap bersikap ramah. Di hari-hari berikutnya Bos masih sering mengajakku mengobrol seperti dulu, membuat rasa canggungku menghilang.

Menjelang hari raya Idul Fitri aku tetap diberi THR. Tentu saja jumlahnya tidak sebesar teman lain, karena setelah aku keluar waktu itu, meskipun pada akhirnya kembali bekerja di laundry lagi, aku dianggap memulai dari awal. Tidak masalah, aku tetap bersyukur. Malam itu saat takbir berkumandang, aku menghitung uang gaji dan THR yang aku terima sambil berkali-kali mengucap Alhamdulillah.

Aku tidak lagi merasa malu pada orang-orang yang selalu mencibir. Aku tidak malu pada Bos karena kembali lagi bekerja di laundry. Sekarang aku malu pada Allah. Sebelumnya aku tidak pernah ingat pada-Nya, sebelumnya aku selalu mengabaikan panggilan-Nya. Namun di bulan Ramadan yang mulia itu, saat aku tersungkur bersujud dengan cucuran air mata membasahi sajadah, memohon satu keinginan, Allah segera menjawab doaku. Mengabulkannya dalam hanya hitungan hari. Allah Maha Kuasa. Aku malu pada-Mu. Aku benar-benar manusia tak tahu diri yang hanya bisa meminta tanpa tahu rasa bersyukur. Tolong jaga hatiku, agar aku tidak melupakan-Mu lagi, ya Allah…

Oleh: Lianawati Widyan Safitri

Dari: Sleman, Yogyakarta


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *