Jalan-Mu di Luar Istanaku

Kisahku tak seperti tuan putri bak kerajaan, anggun dan menawan dipandangan semua orang. Hidupku penuh dengan kekayaan, semuanya bisa aku beli dengan uang, tapi kebahagiaan tak sebanding dengan apa yang aku pegang. Kekayaan tak menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan, apalagi kenyaman yang aku butuhkan. Aku hidup seorang diri, bagaikan putri yang terkurung di sangkar angan-angan. Rumahku memang besar, istana impian semua orang. Tapi tidak ada yang pernah berkunjung ke istana megah ini, bahkan tuan rumahpun tak pernah menyempatkan waktu untuk menjenguk putrinya. Mereka terlalu sibuk dengan bisnisnya di luar negeri yang entah kapan pulangnya. Mungkin, rumah bagi ayah dan ibuku hanya sekadar formalitas kalau mereka punya tempat untuk tinggal.
Aku benci dengan suasana rumah ini, sepi dan sunyi seperti hatiku ini. Aku tidak tahu sejak kapan aku merasakan kehampaan dalam diriku. Semuanya memang bisa aku nikmati dengan percuma. Aku tak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga, karena sudah ada Bik Inem dan Pak Karyo sepasang suami istri yang bekerja di rumah ini. Bik Inem yang mengurusi segala keperluan rumah, sedangkan Pak Karyo yang mengurusi halaman rumah dan antar jemput aku kuliah.
Aku bagaikan putri, putri yang pada umumnya mendambakan seorang pangeran untuk membebaskan dirinya dari perangkap musuhnya. Tapi tidak denganku, aku putri yang mendambakan seseorang yang bisa membebaskan diriku dari kekangan orang tuaku, yang mengharuskan ini itu agar tampak terlihat sempurna di mata publik, meskipun sebenarnya aku hanya boneka mainan mereka. Banyak orang tua menginginkan anaknya bahagia, namun aku hanyalah boneka untuk mendapatkan keuntungan dari bisnis mereka, tidak memperdulikan hatiku yang sudah sangat muak dengan semuanya. Hingga suatu hari aku sudah tidak kuat dengan rumah ini, kehampaan, kesunyian dan kepura-puraan yang ada membuat diriku untuk pergi dari rumah. Aku tak sanggup jika menunggu seseorang lebih lama lagi, karena aku hanya manusia yang punya batas kesabaran.
“Pangeran impian hanya ada di dongeng, sampai kiamatpun tak akan ada yang datang kecuali kamu bergerak dan melangkah untuk mencari tujuan,” batinku. Aku tersenyum nanar, menertawakan kekonyolanku sendiri menginginkan pangeran yang nggak mungkin ada, semuanya halu.
*
Di sinilah aku sekarang, tiga puluh hari setelah meninggalkan rumah aku menyewa kamar kos untuk tinggal. Cukuplah buat istirahat meskipun fasilitas seadanya. Namun ini terlihat lebih baik, daripada rumah gedongan yang penuh dengan kekangan dan segala aturan. Aku sudah mulai terbiasa dengan rutinitasku yang baru, berangkat pagi untuk kuliah, selepasa kuliah, sore harinya aku luangkan untuk bekerja di rumah makan, meskipun penghasilannya kecil tapi cukup untuk kebutuhanku seorang diri. Aku tak menyesal meninggalkan rumah istanaku itu, hidup dengan ala kadarnya itu cukup daripada hanya melihat di balik jendela istana dengan khayalan fantasiku yang entah sampai kapan ujungnya. Sekarang aku tahu kenyataan hidup yang sesungguhnya, kehidupan yang nyata, kehidupan yang bukan manipulasi semata.
Aku menemukan senyum yang merekah, senyum yang tulus tanpa paksaan, senyum dari anak-anak jalanan, senyum yang mereka persembahkan untuk hidupnya, senyum yang mereka ciptakan tanpa memandang hiruk pikuknya kenyataan.
Di akhir pekanku selalu aku sempatkan untuk berkunjung ke markas mereka, bercerita tentang kehidupan, berbagi pengalaman, mengajarkan kebenaran, dan selalu kubawakan buah tangan untuk mereka. Aku rela menyisihkan upah kerjaku untuk mereka, meskipun aku harus makan sekali dalam sehari. Itu lebih dari cukup. Dari mereka aku belajar keikhlasan, kesabaran, perjuangan seorang diri bojah-bojah kecil tanpa orang tua mereka. Mereka mengajarkanku bagaimana cara mensyukuri hidup yang fana ini, daripada mereka tikus kantor yang hanya bisa menghabiskan uang yang bukan haknya. Aku trenyuh melihatnya. Mungkin di luar sana masih banyak ratusan bahkan ribuan anak-anak jalanan yang membutuhkan kepedulian dari para penguasa, tapi entahlah….
Satu hal yang baru aku sadari, iman mereka masih melekat dalam jiwanya. Jiwa bojah-bojah kecil yang tetap tegar meskipun badai cobaan selalu menghampirinya.
Suatu ketika, aku sedang mengunjungi markas mereka sambil menenteng dua kantong kresek besar berisi makan siang. Hari itu aku duduk dengan salah satu bojah perempuan yang paling dekat denganku, Ina namanya. Dia selalu bercerita tentang kesehariannya setiap kali aku datang. Namun, ada beberapa pertanyaan yang selalu aku hindari dari dia, karena aku merasa tak pantas di hadapan-Nya.
“Ka…” bojah kecil berkerudung coklat itu memanggilku di sela perbincanganku dengan dia.
“Iya Na,” aku menyahutinya.
“Kakak kan orang Islam, tapi kok nggak pake jilbab kaya aku?” tanya Ina sambil menunjukan jilbab lusuh coklat yang ia kenakan. Dia gadis kecil yang masih polos, yang selalu mengajukan banyak pertanyaan terkait sesuatu yang janggal di matanya. Seperti dua hari yang lalu, aku masih ingat ajakan bojah perempuan itu. Dia mengajakku untuk ibadah, ibadah yang sudah lama aku tidak tinggalkan, bahkan gerakannyapun mungkin sudah lupa.
“Ka, sudah adzan Dhuhur. Sholat dulu yuk!” ajaknya sambil menggenggam tanganku.
Aku bingung harus menjawab dengan alasan apa, karena selama ini aku sudah meninggalkan yang namanya sholat, Tuhanpun aku tak mengenal-Nya. Mungkin karena aku terlalu sombong, entahlah….
“Ma…maaf Na, kakak lagi berhalangan. Jadi Ina sholat sendiri yah,”jawabku sedikit gugup karena menutupi alibiku yang sebenarnya. Bojah perempuan itu mengangguk tanda mengiyakan, lalu pamit untuk melaksanakan Sholat Dhuhur.
Selepas kepergian Ina, aku bisa bernapas lega. Meskipun nyeri di hatiku tat kala harus berbohong untuk menutupi semuanya.
“Kakak, kok bengong.” Ina melambaikan tanganya di depan wajahku. Aku tersadar dari lamunanku karena mengingat-ingat kejadian dua hari yang lalu.
“Ehh…nggak. Kakak nggak bengong, cuma mikirin sesuatu aja tadi,” ucapku sambil tersenyum.
“Ohh… tapi kakak belum jawab pertanyaanku,” timpalnya sedikit memaksa. Aku berusaha berpikir untuk memberikan alasan yang jelas supaya Ina tidak curiga. Tapi, jalan pikiranku buntu, aku tidak menemukan satu alasan yang bisa diterima oleh bojah perempuan yang masih polos itu.
“Ka…kak …” ucapanku terpotong sebelum menyelesaikannnya. Bojah-bojah kecil lainnya berlari menghampiriku yang sedang bersama Ina, mereka memanggilku untuk memberitahu bahwa mereka sudah selesai makan siangnya. Untunglah aku tidak perlu berbohong lagi, setidaknya untuk saat ini aku masih bisa menghindar.
*
Dua minggu setelah pertanyaan yang dilontarkan dari bibir bojah kecil perempuan polos itu, hatiku sedikit terusik. Kata Tuhan, jilbab, sholat selalu menghiasi kepalaku, menimbulkan banyak tanda tanya yang harus aku temukan jawabannya. Namun, egoku mengurung untuk tidak mencari tahu, sedangkan di sisi lain nuraniku mengarahkan untuk mencari lebih lanjut, seakan-akan untuk menemukan harapan di balik rumitnya pertanyaan yang semakin menggunung di kepalaku.
“Apa selama ini aku telah lalai?” gumamku dengan tatapan ke depan. Tatapan kosong menerawang jauh dari objek penglihatan, tatapan yang menembus tapal batas angan-angan.
Aku berada di tengah taman, tapi aku tak mempedulikan suasana taman, meskipun ramai dengan canda tawa anak-anak yang berlarian bersama teman-temanya, atau bahkan orang tuanya yang sesekali mengejar keberadaan sang anak. Tapi aku merasa sendiri di tengah keramaian.
“Membiarkan diriku jatuh di kubangan lumpur penuh dosa,” lanjutku masih dengan pandangan yang sama. Aku mungkin konyol ngomong sendiri. Tapi biarlah, toh mereka juga tidak akan mendengar ucapanku di tengah keramaian ini.
“Terkadang hidup ditengah kenyamanan membuat kita lupa dengan Pencipta kenyamanan. Misalkan saja kekayaan, kekayaan dunia boleh saja kita punya untuk sekarang dan membuat kita nyaman, tapi jangan pernah lupakan siapa yang memberikan kekayaan, karena suatu saat nanti kekayaan tidak ada artinya sama sekali di mata-Nya, maka bersyukurlah dan berbahagialah sewajarnya, serta berbagilah supaya kekayaan kita jadi berkah dan mendatangkan kenyamanan. ”
Deg, hatiku seakan tertusuk dengan perkataan seseorang yang entah muncul dari mana. Pria itu tiba-tiba sudah berdiri di samping kananku berjarak lima langkah dengan tempat dudukku. Dia mengenakan topi fedora yang sedikit menutupi wajahnya sehingga aku tidak begitu jelas melihat wajahnya.
“Disaat hati ini kosong, tidak tahu arah dan tujuan mau kemana. Bertanyalah pada diri sendiri apa yang kurang dari diri kita ini, apakah lupa sama Tuhan yang telah memberikan kekayaan yang luar biasa ini?” hening sejenak.
“Itu hanyalah teguran kecil supaya kita berpikir darimana kekayaan ini ada dan apa penyebab hati ini kosong. Namun, terkadang manusia itu bodoh, terlalu gampang menyimpulkan pendapatnya sendiri tanpa melihat kenyataan nikmat-nikmat yang telah mereka dapatkan sejak lahir.” Aku tidak tahu darimana pria itu mengerti akan hatiku. Aku sendiri baru menyadari titik terang dari pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di otakku, berkat perkataan yang dilontarkan dari dia pria bertopi fedora itu.
“Dari mana…” ucapanku terpotong.
“Aku tak perlu menanyakan kepadamu, karena aku tahu dari gestur dan raut wajahmu yang menyirat akan kekosongan harapan.” Aku hanya menelan salivaku untuk menghilangkan rasa gugup. Aku tidak tahu harus berkata apa, karena diapun tahu jawaban atas pertanyaanku yang tadi terpotong karena ucapannya. Padahal pertanyaanku belum selesai aku utarakan, tapi dia bisa tahu apa yang ada dipikiranku.
“Aku tidak menyinggungmu, aku hanya mengingatkanmu,” dia menoleh ke arahku sekilas dengan tatapan datar tapi meneduhkan, lalu melemparkan kembali tatapannya ke arah depan.
“Senyaman nyamannya kita sebagai hamba-Nya ataupun sehampa-hampanya hati kita jangan tinggalkan ibadah apalagi sholat wajib yang lima waktu, karena sholat itu tiangnya iman kita sebagai umat Muhammad. Manusia tidak pantas untuk sombong, baru dititipi harta aja belagu, yang pantas sombong itu itu hanya Allah,” ucapnya dengan tegas.
Perkataannya berhasil merobohkan dinding pertahannku. Aku menunduk menyembunyikan air mataku yang mengalir melawati pipi tirusku dan jatuh mengenai pergelangan tangan yang aku genggam untuk menghilangkan sedikit rasa sesakku. Tidak tahu kenapa, perkataanya berhasil menohok hatiku yang selama ini dalam kehampaan.
Aku meluapkannya dengan menangis. Katakanlah aku cengeng, tapi aku tak peduli yang penting aku bisa meredakkan sesak dihatiku dengan menangis untuk sementara ini.
Setelah sekian menit, aku baru tersadar sepertinya pria bertopi fedora itu sudah pergi. Mungkin dia pergi saat aku terlalu sibuk dengan air mataku hingga aku tidak tahu kapan perginya dia dari sampingku.
“Aku bersyukur, meskipun hanya dipertemukan beberapa menit yang lalu, tapi dia telah menyadarkanku dari kesombongan yang menjerat diriku di dunia yang fana ini. Terima kasih, Engkau telah memberikan petunjuk kepadaku,Tuhanku Allah pencipta kenyamanan hati hambanya ini,” ucapku dalam hati. Aku mengakhiri dengan senyuman kebahagiaan, senyuman merekah yang selama ini aku cari, senyuman yang sama seperti bojah-bojah kecil yang aku kunjungi tiap akhir pekan.
Tak sengaja aku melihat sesuatu yang terekam penglihatanku saat aku menoleh ke samping kanan tempat dudukku. Sapu tangan yang entah dari siapa. Mungkin pria itu yang meninggalkannya tadi, saat aku menguras penuh air mataku. Mungkin…
Aku mengambil sapu tangan itu, ternyata ada secaraik kertas yang dia tinggalkan di bawah sapu tangannya.
“Jadilah perempuan baik yang taat perintah-Nya bukan karena ada maunya. Kamu perempuan tangguh, kamu tidak sendiri, ada Allah yang senantiasa menuntunmu untuk tetap di jalan-Nya.” Cairan beningpun lolos dari mataku, setelah aku membaca secarik kertas yang ditinggalkan pria bertopi fedora itu. Keberadaannya mungkin sekarang tidak ada, tapi kalimat yang ditulis di secarik kertas itu membekas dihatiku yang terdalam.
*
Setelah bertemu denga pria bertopi fedora itu, kini aku mulai menata hatiku untuk terus dekat dengan-Nya. Aku terus belajar memperbaiki agamaku mulai dari sholat, tadarus Al-Quran, pakaian dan segalanya yang selama ini telah membuatku jauh dari-Nya. Pakaian yang biasanya aku kenakan sedikit terbuka dengan rok selutut, berlengan pendek, dan tatanan rambut sebahu yang aku gerai, kini telah tertutup dengan balutan jilbab yang aku ulurkan hingga menutupi dada. Lekuk tubuhku telah tertutup dengan gamis atau setelan baju panjang dan rok yang menjulur sampai kaki bahkan terseok-seok sampai lantai, tak lupa aku sempurnakan alas kakiku dengan mengenakan kaos kaki.
Setelah aku memantapkan hati untuk menyambut jalan-Nya yang selama ini aku cari, aku rela kehilangan pekerjaanku sebagai sumber penghasilanku untuk saat ini. Tapi aku tahu, Allah pasti akan menggantikan pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. Yang terpenting bagiku sekarang adalah aku menemukan kenyamanan, ketentraman hati yang selama ini kosong, hampa, dan sunyi. Kenyamanan dan ketentraman hati yang aku dambakan ternyata dekat dengan Sang Penciptanya, bukan malah menjauhi-Nya. Mulai saat ini aku berjanji akan menjaga dan mempertahankan aqidahku sampai akhirat nanti. Amiin….
*
Satu tahun setelah aku hijrah, kini aku disibukkan oleh aktifitas kuliah semester tuaku yang semakin padat. Untuk pekerjaan sekarang ini, aku mengajar di bimbel tawaran dari teman kajianku dulu. Tujuh bulan yang lalu saat mengikuti kajian rutin setiap sabtu, aku tak sengaja berkenalan dengan teman kajianku yang sedang membutuhkan guru bimbel matematika dan dia menawarkanku untuk bergabung di bimbelnya. Alhamdulillah sejak saat itu aku mendapatkan penghasilan yang tetap, meskipun sedikit tapi cukup untuk kebutuhanku seorang diri. Selain itu aku juga bersyukur bisa berbagi kembali dengan anak-anak jalanan tiap akhir pekan, yang dulunya sempat terkendala karena penghasilanku yang surut.
Saat pertama kali ke markas mereka setelah hijrah, bojah-bojah kecil itu tidak mengenaliku sama sekali, mereka tidak menghampiriku seperti biasanya. Bahkan Ina bojah kecil perempuan polos yang paling dekat denganku saja sama seperti mereka. Namun, setelah aku mengucapkan salam dan menyapa mereka, mereka baru tersadar akan suaraku bahwa ini aku Adiba Lubna Putri, perempuan yang selalu berkunjung ke markas mereka dengan membawa makanan, perempuan yang selalu berpakaian rok selutut dan rambut sebahu yang digerai kini telah berubah.
“Masya Allah kakak, Ina kira tadi bidadari yang mau jemput Ina,” ucapnya polos tanpa berkedip sedetikpun memandangku. Itulah salah satu omongan dari mereka yang membuat hatiku trenyuh dan terharu. Hingga aku bertanya dalam diriku sendiri kenapa aku tidak merasakannya dari dulu? Meskipun demikian, tapi aku tetap mensyukurinya karena tidak ada yang perlu aku sesali. Masa laluku adalah pelajaran hidupku, masa depanku adalah menata hidupku yang baru penuh warna.
Aku menyudahi suasana bahagia hatiku ini dengan beranjak dari taman, tempat dudukku sedari tadi yang dijadikan sandaran untuk mengingat-ingat sedikit perjalanan hidupku satu tahun setelah aku hijrah. Namun, saat aku berbalik meninggalkan taman, tak sengaja bahuku tertabrak seseorang yang sedang berlari hingga aku jatuh tersungkur ke tanah.
“Astaghfirullohala’dziim…” aku kaget tubuhku tersungkur ke tanah, hingga aku sedikit menahan rasa perih yang tergores di telapak tanganku.
“Ya Allah Mba, Mba tidak apa-apakan? Maafkan saya, tadi saya sedang buru-buru.” Pria itu berjongkok untuk melihat keadaanku, hampir saja dia menyentuh tanganku, tapi aku bisa menghindar darinya. Sepertinya diapun tahu bahwa aku tak mau disentuh, alhasil dia hanya melihat gerak-gerikku saja untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Setelah aku bisa berdiri, meskipun masih menahan rasa perih yang menyapa kulitku ini. Aku berusaha untuk menetralkan wajahku, karena aku tidak mau merepotkan orang lain. Toh pria itu juga tadi bilang sedang buru-buru hingga tak sengaja menyenggol bahuku.
“Iya tidak apa-apa, cuma lecet sedikit. Paling juga nanti sem…” ucapanku terpotong kerena melihatnya. Sosok yang hadir satu tahun yang lalu, yang telah menyadarkanku dari kekosongan dan kehampaan hatiku, dialah pria bertopi fedora yang sedang berada di hadapanku ini. Tak kusangka awal pertemuanku dulu mengantarkan kembali dengannya di tempat yang sama setelah berpisah.
“Kamu perempuan yang dulu pernah aku temui di sinikan?” katanya. Dilihat dari raut wajahnya, dia juga sama-sama kaget bisa dipertemukan kembali denganku di tempat yang sama. Mungkin yang membuat dia kaget itu perubahanku yang berbeda dari segi penampilan yang dulu.
Setelah sekian detik aku menatapnya, aku tersadar harus jaga pandangan karena syetan tahu celah mana yang bisa dia manfaatkan ketika hamba-Nya lengah.
Aku hanya mengangguk, sebagai jawaban dari pertanyaan pria bertopi fedora itu. Dulu ataupun sekarang pria itu masih sama, sama-sama memakai topi fedora mungkin bedanya sekarang ini dia tidak memakainya karena topinya dia pegang. Jadi aku sedikit kaget melihat wajah aslinya tadi, makhluk ciptaan Allah yang sempurna.
“Maaf aku tidak bisa lama-lama. Ini kartu namaku, kamu bisa menghubungiku untuk minta ganti rugi,“ ucapnya sambil menyodorkan kartu namanya.
“Tidak usah, nanti diobatin di kos juga sembuh,” jawabku.
“Lukamu itu takutnya infeksi. Kamu pegang kartu namaku, mau minta ganti rugi atau nggaknya terserah kamu untuk jaga-jaga,” berhenti sjejenak. “Sepertinya suatu saat nantipun Allah akan mempertemukan kita lagi, bahkan mungkin kita akan bertemu setiap hari. Kamu tunggu aku yah. Maafkan aku. Aku pergi dulu, Aassalamualaikum….”
“Wa’alaikumusalam warohmatullohi wabarokatuh,” jawabku dengan lirih. Keberadaannya sudah hilang entah kemana, namun perkataan terakhirnya masih terngiang di pikiranku. Otakku mencerna perkataan dia, tapi jawaban yang aku temukan tidak logis. Aku tidak mau menyimpulkan pendapatku sendiri sebelum ada bukti. Entahlah….
*

Allah, terima kasih untuk segalanya, terima kasih atas semua lika-liku hidupku yang penuh warna, terima kasih atas pertolongan-Mu. Tanpa badai kehidupan yang menghampiri diriku ini, aku tidak akan bisa berdiri sampai aku bisa tersenyum senyaman ini. Terima kasih Engkau telah membolak-balikkan hati hambanya, hati orang tuaku yang sekarang sudah dekat dengan-Mu dan mau menerima segala perubahanku yang baru. Yang aku pinta selalu untuk sekarang dan seterusnya, tetapkanlah hatiku ini, hati orang tuaku dan orang-orang tersayang di sekitarku untuk selalu dekat dengan-Mu dan tetap berada dijalan-Mu. Amiin.
Terima kasih beribu terima kasih, Engkau telah sempurnakan hidup dengan membina rumah tangga yang aku impikan sejak dulu. Pengeran yang telah engkau hadirkan dalam hidupku, pangeran yang awalnya aku pikir tak mungkin bersanding dengannya yang terlalu sempurna. Namun, hamba tetaplah hamba, tidak tahu rencana-Mu ke depannya, Tuhan Sang Pencipta. Diam-diam Engkau kabulkan permintaanku. Engkau datangkan pangeran impianku untuk mengkhitbahku dengan segala kesempurnaannya, hingga aku tidak bisa berucap apapun selain rasa syukur. Dia pangeranku pria bertopi fedora yang sekarang telah menjadi suamiku Ghibran Arfan Alhusain.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *