HIJRAH
Tidak habis pikir dengan sikap gadis cantik sebelah rumahku. Semenjak ia mengenakan jilbab yang syar’i dan sesekali memakai cadar, ia lebih sering menutupi diri dan menjauh dari orang sekitar.
Zahratun Nisa, gadis cantik yang baru saja menemukan jalan yang baru. Jalan yang sepi. Jalan yang rawan. Jalan yang penuh dengan rintangan. Lihat saja perkembangannya, apakah ia benar-benar hijrah atau pura-pura hijrah.
Mengingat kejadiannya di masa lalu, ia adalah seorang primadona di komplek A. Apalagi ayahnya seorang pengusaha sukses di Cirebon dan ibunya seorang komite sekolah di salah satu sekolah di Cirebon. Jaringan mereka berdua tentu sangat luas.
Nisa, biasa orang-orang memanggil. Ia adalah gadis yang pintar, unik, suka bergaul, dan cantik. Namun, sifatnya yang mudah percaya kepada orang lain dan keras kepala membawanya ke dalam jurang kehidupan. Sangat disayangkan, setiap malam ia selalu pergi ke diskotik dan pulang dengan keadaan mabuk begitu yang biasa aku lihat setiap hari.
Namun, akhir-akhir ini ia berpenampilan tidak biasa dengan sebelumnya. Tubuhnya tertutup rapat dengan kerudung dan gamis panjang yang ia kenakan. Bukan hanya tubuhnya yang ditutup, pemikirannya juga tertutup.
Suatu ketika, aku melihat ia duduk di taman sebelah Komplek A sembil menyibukkan dirinya dengan membaca buku Islam. Dari judulnya, aku sudah menyimpulkan kalau buku yang ia baca adalah buku yang radikal. Tapi, tidak semua buku yang bertajuk radikal isinya radikalisme. Ada juga yang isinya malah mengesankan. Ah, aku buang pikiran itu jauh-jauh.
“Mohon maaf, boleh aku duduk di sini?” ujarku.
“Tafadhol,” ia mempersilahkan aku duduk, tanpa melihat wajahku.
“Lagi apa?” tanyaku sambil duduk di sampinya, sedikit berjauhan.
“Baca-baca buku aja,”
“Buku apa?”
“Islam,”
“Coba ceritakan isi dari buku itu,” aku berusaha untuk memancing hatinya.
“Untuk apa? Aku sama kamu beda pemahaman!” ia menatap wajahku dengan serius.
“Aku dan kamu itu manusia. Punya akal. Punya pikiran. Kenapa kamu menganggap aku tidak sepemahaman denganku? Nis, hijrah itu baik. Tapi, lebih baik lagi kalau kamu tidak menutup diri kamu sendiri hanya karena aturan yang belum tentu membawa kamu ke Surga.”
“Kamu salah, Ham. Islam mengajarkan kepada kita supaya tidak bergabung dengan orang-orang kafir. Tapi teman-teman kamu banyak orang kafir,” wajah Nisa serius, matanya melotot.
“Stop! Mereka yang tidak beragama Islam bukan kafir! Kamu perempuan, Nis. Seharusnya kamu punya perasaan, sakit disebut kafir. Sakit! Jangankan mereka yang kau sebut kafir, aku saja merasa sakit dengan sebutanmu ke mereka. Islam mengajarkan kita ke perdamaian bukan permusuhan,” aku berusaha untuk membuka hati dan pikiran Nisa. Namun, ia tetap bersikeras dengan penjara akalnya.
“Pada zaman Rasulullah, orang kafir diperang tapi kamu malah bersahabat. Kamu ini bagaimana?”
“Pada zaman Rasulullah, orang-orang yang tidak memeluk agama Islam karena menentang agama Islam. Maka dari itu, pasukan Islam langsung memerangnya. Sekarang coba lihat, apakah mereka mengganggu kita? Apakah mereka melecehkan kita? Nis, Indonesia ini negara yang bermacam-macam agama. Oke, agama Islam termasuk agama yang mendominasi. Tapi apakah pantas kita berlaku seperti itu? Bahkan bukan hanya kepada mereka, kepada sesama muslim saja kamu perang. Astaghfirullah..” tanganku refleks mengelus dada.
“Kamu membela mereka?”
“Aku tidak membela. Ini bentuk toleransi kita kepada agama yang lain. Sudah saatnya kita bersikap dewasa,”
“Daripada kamu memancing emosiku, lebih baik kamu pergi! Pergi dan jangan dekati aku lagi,”
“Astaghfirullah, Nis. Hijrah yang kamu lakukan ternyata merubah segalanya. Astaghfirullah..”
“Assalamu’alaikum!” Tanpa ada kata-kata ia langsung pergi meninggalkanku. Ia yang menyuruh aku pergi, ia sendiri yang pergi.
Dari cerita di atas, aku menyimpulkan bahwa Islam itu mengajarkan kepada kita untuk saling bertoleransi, saling menghargai, selagi mereka tidak menganggu orang Islam. Toh, Indonesia adalah negara Pancasila. Ketuhanan yang Maha Esa. Mari berubah!