Desir angin berembus menyapa Sani yang tengah menyendiri duduk di atas batang pohon ketapang yang tumbang ditepi pantai. Pancaran sinar surya menohok dan menembus ruas-ruas daun kelapa. Sebagian sinarnya jatuh mendarat di tubuh gelap pemuda yang sudah menginjak duapuluh tiga tahun itu. Cuaca terik membangkitkan hawa panas dari air laut yang tampak berkilau dari kejauhan. Hawanya tersapu pawana, lalu menyebar meningkatkan suhu panas di permukaan bumi. Aliran peluh mengalir membasahi pelipis Sani, tapi cairan itu tidak dihiraukannya. Dibiarkan peluh itu mengalir dan jatuh pecah di bajunya. Dua ekor burung camar yang tengah terbang di udara menghipnotis perhatiannya. Tampak burung-burung itu terbang berputar-putar sembari melirik sesuatu di permukaan laut. Barangkali mereka tengah mengintai mangsanya dari udara. Deburan ombak kecil berkejar-kejaran hingga akhirnya pecah di bibir pantai menyisakan buih-buih putih kecil. Rumput-rumput laut yang telah mati, ranting-ranting kayu pelbagai ukuran dan aneka ragam bentuk sampah plastik juga ikut serta diboyong ombak ke pantai. Sampah-sampah itu menjadi hiasan pasir pantai putih di kampung Sani.
Sani masih dalam keterhipnotisannya pada burung-burung camar yang tengah beterbangan itu. Nyiur masih bergoyang diterpa embusan angin yang kian kencang. Sekonyong-konyong Sani dikagetkan oleh gaungan azan dari masjid di kampugnya. Seketika ia tersadar bahwa sudah sekitar tiga jam ia berada di pantai. Hari sudah sore dan panggilan ilahi tengah berkumandang. Ada sesuatu yang mengetuk pintu hati Sani untuk bangkit dan berpaling dari tempat ia bersantai. Namun, dilain sisi ada sesuatu yang datang menghampirinya. Kakinya terasa berat untuk berangkat menunaikan seruan azan itu. Ia seolah tengah bertempur melawan dirinya sendiri. Hingga azan usai digemakan Sani masih belum beranjak dari zona nyamannya. Terbersit dibenaknya agar menunda datang pada sumber seruan itu. Beberapa saat berlalu seruan agar segera berdiri supaya salat berjamaah dikumandangkan. Lelaki jangkung itu masih saja berdiam diri di tempat hingga suasana pantai telah diramaikan oleh anak-anak kampungnya yang datang untuk bermandi air laut. Sani pun turut serta dalam keramaian hingga lupalah ia dengan seruan ilahi itu. Anak-anak bermain penuh riang. Gelak bersahut-sahutan menyemarakkan sore hari. Mentari mulai kembali merangkak ke peraduannya meninggalkan mega jingga kemerah-merahan di langit Lamanaga sebelum anak-anak kampung itu bertolak ke rumah masing-masing.
Suasana gelap menyelimuti Lamanaga. Ayam-ayam telah kembali ke atas pohon tempat bertengger menghindari predator saat mereka tidur. Suara jangkrik satu demi satu saling bersahutan. Remang-remang lampu jalan menghiasi jalan beraspal yang kian hancur dimakan zaman di kampung itu. Seruan ilahi berkumandang kembali. Anak-anak kecil berlalu-lalang menuju masjid sambil mendekap alquran di dada. Beberapa orang dewasa ada yang mengenakan sarung mengendarai motor bersama istri mereka menuju masjid. Suasana tentram hadir di hati Sani menyaksikan aktivitas warga yang tengah berlangsung di depan rumahnya. Ada hasrat dalam dirinya untuk begabung bersama mereka. Hadir rasa rindu yang begitu dalam menohok lubuk jiwa pemuda berhidung pesek itu. Sekonyong-konyong samar suara menyambar indra pendengaran Sani. Diedarkan pandangannya sembari mencari sumber suara itu, tapi tak didapatinya. Semakin lama suara itu kian terasa dekat dan bertambah besar.
“Sani… Sani,” teriak seorang lelaki bersepeda dari jauh sebelum akhirnya tiba di bawah pohon kelapa pinggir jalan tepat di depan rumah Sani. Melihat pemuda dari teras rumah Sani segera menyahut.
“Oh… ternyata kamu Din. Ada apa?” teriak Sani sembari menebarkan senyum ramah kepada lelaki itu.
Lelaki bersepeda tua itu adalah sahabat Sani. Usianya sepantaran Sani dengan postur tubuh 165 cm lebih pendek dari Sani. Udin bersahabat dengan Sani sejak mereka duduk di bangku SMP. Pemuda berkulit gelap itu memiliki bentuk tubuh atletis dengan berewok menghiasi wajahnya yang bulat.
“San, ayo kita pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Memangnya kamu tidak dengar suara apa yang bunyi tadi?”
“Itukan suara kamu.”
“Iya… aku yang memanggilmu tadi. Tapi, yang aku maksud itu bukan suaraku. Apa kamu tidak dengar suara azan tadi?”
“Masa, suara azan sebesar itu aku tidak dengar. Memangnya kenapa?”
“Hmmm… ayo kita ke masjid! Sudah masuk waktu magrib sekarang.”
“Iya… aku tahu. Nanti aku salat di rumah.”
“Haaa… kamu sedang ada halangan? Kayak perempuan saja. Lelaki itu wajib salat di masjid. Ayo cepat ganti pakaian kamu. Aku tunggu di sini.”
Sekonyong-konyong bangkit rasa jengkel di hati Sani mendengar untaian kata gurau sahabatnya itu. Ia merasa kelaki-lakiannya direndahkan. Namun, di satu sisi rasa malas menyelimuti dirinya untuk berangkat ke masjid. Golakan rasa bercampur aduk seolah berperang di batin Sani.
“Kamu pergi saja ke surau duluan, nanti aku susul,” teriak Sani penuh kejengkelan.
“Susul besok maksudmu? Ingat, bulan ramadan sudah di depan mata. Mau sampai kapan kamu bermalas-malasan menunda salat? Ayo kita berangkat sekarang. Ajal tidak mengenal penundaan, bro.”
Ucapan Udin ihwal ajal begitu menohok lubuk jiwa Sani. Ia membatin mencerna perkataan sahabatnya itu. Kata-kata Udin laksana tamparan keras bagi Sani yang telah lama berpaling melupakan-Nya. Sekonyong-konyong pupus rasa jengkel yang bersemayam di dada Sani. Timbul rasa malu kepada sahabatnya itu karena selalu mencari-cari alasan ketika diajak salat. Wejangan Udin menggetarkan hati Sani untuk segera bergegas ke surau.
“Kalau begitu, tunggu aku ganti pakaian dulu. Kita pergi jalan kaki saja. Sepeda kamu titip saja di rumahku. Kamu bisa simpan di teras depan rumah.”
“Baiklah. Sehabis salat kamu jangan buru-buru pulang.”
“Ada kegiatan apa setelah itu?”
“Kita dengar tausiah dari ustaz sembari menunggu salat isya.”
“Oh, nanti aku kondisikan kalau begitu”. **
Suara riuh bergema usai salat magrib di masjid berlantai dua. Anak-anak kecil mengubah suasana masjid begitu ribut. Mereka berkejar-kejaran mengitari pilar masjid laksana tengah bermain kucing-kucingan. Di lain tempat ada yang saling membalas melempar sajadah seperti tengah bermain perang-perangan. Sekonyong-konyong seorang lelaki paruh baya beranjak dari barisan keempat, lalu menghampiri anak-anak itu dengan wajah yang tampak gusar.
“Hoi… hoi…,” teriak lelaki itu.
Sekonyong-konyong anak-anak kecil itu berbalik ke arah sumber suara dengan air muka yang tampak takut dimarahi.
“Kalian mau diam atau tidak? lanjut lelaki paruh baya. “Nanti kupukul mulut kalian kalau tidak mau diam. Kalau mau bermain jangan di surau. Kalian tidak lihat orang-orang tua di depan sedang berdoa? Kalau selesai salat jangan bermain. Duduk diam, lalu ikut berdoa juga,” nasihat lelaki itu. Lelaki paruh baya diam sembari memperhatikan anak-anak yang telah duduk diam itu.
“Awas kalau kalian ribut lagi,” pungkasnya sebelum akhirnya kembali ke safnya semula.
Suasana kembali hening beberapa saat tatkala lelaki paruh baya itu masih berdiri dibarisan anak-anak. Sekonyong-konyong secara perlahan anak-anak itu mulai bermain dan membuat kegaduhan lagi. Namun, lelaki paruh baya tidak menghiraukan lagi kegaduhan mereka. Barangkali ia berpikir akan sulit menenangkan anak-anak bila bermain menjadi prioritas bagi mereka. Satu demi satu jamaah bertolak ke rumah masing-masing usai salat, termasuk anak-anak kecil itu. Hanya beberapa saja dari anak-anak itu yang masih berada di masjid sembari mengaji. Beberapa jamaah pun ada yang tengah rebah-rebah di karpet hijau masjid sembari bercerita bersama kawannya. Ada juga yang duduk sembari berkomat-kamit. Barangkali tengah berzikir atau mengulangi hafalan alquran.
Seorang lelaki berkacamata bangkit dari tempat ia menjadi imam salat magrib tadi. Sembari memekarkan senyum simpul, ia menyambut uluran tangan para bapak yang juga turut berdiri. Tampak mereka juga tengah membincangkan sesuatu. Sembari terlibat percakapan mereka duduk di depan mimbar masjid dan diikuti oleh jamaah lainnya. Barisan melingkar terbentuk dan dipimpin oleh lelaki berhidung mancung itu.
“Dia itu siapa?” tanya Sani.
“Dia itu ustaz yang aku bilang tadi. Orang-orang memanggilnya ustaz Abdullah. Dia juga seorang hafiz dari salah satu pesantren di tanah Jawa. Ustaz tiba di sini siang tadi dengan memboyong lima orang muridnya,” terang Udin.
“Oh… suaranya bagus ketika jadi imam tadi. Lalu di mana para santrinya?” tanya Sani.
“Barangkali masih di rumah ustaz,” jawab Udin. “Ayo kita ikut bergabung dengan mereka,” ajak Udin sembari berdiri menarik tangan Sani.
“Tunggu sebentar! Di mana rumah ustaz itu?” tanya Sani sembari menarik balik tangan Udin.
“Aku juga belum tahu. Barangkali di dekat rumah pak Saiful. Ahh… sudahlah jangan banyak tanya lagi. Ayo berdiri, kita gabung dengan jamaah lainnya. Kita dengarkan siraman rohani dari ustaz Abdullah,” paksa Udin sembari kembali menarik tangan Sani.
Para jamaah begitu khidmat mendengarkan tausiah yang disampaikan oleh ustaz Abdullah. Ustaz tampak begitu muda. Hidungnya yang mancung membuat ia tampak seperti dilahirkan dari perpaduan dua suku bangsa. Air mukanya menunjukkan usianya sepantaran Sani dan Udin. Barangkali dua atau tiga tahun lebih tua dari mereka. Dari tutur katanya yang teratur dengan materi yang disampaikan dengan apik menandakan ia memiliki retorika yang baik dan ilmu yang dalam. Seluruh jamaah yang ada tampak terpukau dihipnotis nasihat-nasihat agama yang disiarkan ustaz muda itu.
“Para jamaah yang saya muliakan, alquran yang berisi 30 juz dengan 144 surat dan 6.666 ayat merupakan pedoman hidup yang sangat penting bagi umat manusia. Bahkan tidak jarang, banyak umat Islam yang mampu menghafalkan alquran mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Maka dari itu, mari kita berlomba-lomba mencari rida Allah, salah satunya dengan menghafal alquran dan menjalankan segala yang diperintahkan serta menjauhi segala yang dilarang Allah” terang ustaz.
“Jamaah yang berbahagia, sesungguhnya menghafal alquran itu adalah ibadah, di mana pelakunya mengharapkan wajah dan pahala Allah di akhirat, bukan untuk mengharapkan pujian di dunia.. Tanpa niatan ini seseorang tidak akan mendapatkan pahala bahkan akan disiksa karena memalingkan ibadah ini ke selain Allah Azza Wajalla,” tutur ustaz penuh keseriusan.
“Seharusnya penghafal alquran jangan meniatkan dalam hafalannya manfaat dunia yang dihasilkan karena hafalannya bukan barang dagangan yang dijadikan bisnis di dunia. Hafalan itu adalah ibadah yang dipersembahkan di sisi Allah,” lanjut ustaz.
“Begitu banyak keutamaan yang Allah berikan bagi mereka yang menghafal alquran dan mengamalkan segala yang Allah firmankan dalam kitabNya itu di kehidupan sehari hari. Salah satunya adalah Allah akan memakaikan kedua orang tuanya sebuah mahkota di hari kiamat nanti. Cahaya mahkota itu lebih terang dari cahaya matahari,” jelas ustaz.
Penuturan ustaz begitu menghunjam kalbu Sani. Terbayang kelakuannya yang selalu membangkang terhadap kedua orang tuanya. Selama ini hanya kesusahan yang ia berikan kepada mereka. Tersadar ia belum menjadi anak yang berbakti untuk orang tuanya. Sekonyong-konyong butiran air mata mengalir di pipi lelaki bujang itu. Segera ia menyeka air mata itu sebelum ada yang melihatnya. Ia menunduk memikirkan dosa-dosanya yang telah menggunung sembari telinganya terus aktif mendengarkan tausiah ustaz.
“Maha Suci Allah dengan segala sifat keagunganNya yang memberikan anugerah mahkota keagungan itu kepada para orang tua yang anaknya rajin membaca alquran dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Maka dari itu, mari kita bersama-sama menjadikan hal itu sebagai motivasi agar selalu patuh kepada perintah Allah supaya menjadi hamba-hamba yang bertakwa kepada Allah,” tegas ustaz sebelum mengakhiri tausiahnya.
Malam semakin gelap usai salat isya. Rembulan tampak malu bersembunyi dibalik awan menutupi sinarnya yang anggun. Bintang-gemintang hanya beberapa saja yang berkerlip menghiasi malam di Lamanaga. Laron-larong tengah asyik berpesta diremang lampu jalan setapak. Dua pemuda berkulit gelap berlalu melintasi jalan itu dengan mengenakan peci hitam bergantungkan sajadah di pundaknya. Sekonyong-konyong seekor anjing hitam berekor buntung mengagetkan mereka ketika berlari melintas di hadapan mereka.
“Bangsat… anjing buntung! Mengagetkan saja binatang itu,” umpat Sani spontan.
“Ha.. ha.. ha.. sabar. Namanya juga hewan lewat tidak ada permisi. Nasib baik anjing itu hanya berlalu saja. Bagaimana tadi kalau dia mengejar kita? Pasti bukan hanya bangsat saja yang kamu sebut. Ha.. ha.. ha..,” respon Udin merasa lucu.
“Astaghfirullah…. astaghfirullah… astaghfirullah… sudah jadi kebiasaanku selalu mengumpat, bro. Aku terkadang berkata kotor kalau aku kaget atau jengkel. Aku rasa kebiasaan ini sudah bersemayam di alam bawah sadarku. Selalu saja secara spontan terlontar perkataan kotor seperti tadi contohnya,” sahut Sani menyesal.
“Itu artinya kamu harus membiasakan untuk tidak berkata kotor lagi, bro. Aku yakin sebelum kebiasaan kamu ini muncul, kamu tidak terbiasa mengumpat. Kata orang, biasa karena biasa,” tegas Udin menasihati.
“Kamu benar, bro. Dulu aku tidak seperti ini. Kebiasaan ini muncul ketika aku sudah mulai putus-putus mengerjakan salat. Barangkali dari faktor pergaulanku juga yang salah. Selain itu, aku juga sudah terpengaruh dengan sosial media. Waktu kuhabiskan berjam-jam hanya untuk berselancar di dunia maya di dalam kamar. Aku juga sudah tidak pernah lagi mengaji. Rasanya hatiku sudah dipenuhi titik-titik hitam,” tanggap Sani penuh ketidaktenangan.
“Bagus kalau kamu sudah menyadari kesalahanmu, bro. Mumpung masih ada waktu, ayo kita perbaiki lagi amal ibadah dan tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah,” ajak Udin.
“Kamu benar, bro. Rasanya hidupku tidak berguna karena jauh dari Allah. Aku lebih dekat dengan iblis. Akhirnya kemaksiatanku merajalela dalam kesendirianku,” jawab Sani sedih.
“Kalau boleh tahu, kenapa kamu menangis ketika mengikuti tausiah ustaz di masjid tadi?” tanya Udin penasaran.
“Sejujurnya, aku tersentuh dengan nasihat beliau, bro. Apalagi menyangkut orang tua. Aku merasa belum menjadi anak yang berbakti bagi orang tuaku. Aku sering membangkang ketika mereka menyuruhku mengerjakan sesuatu. Aku begitu sedih tadi, makanya aku tidak mampu membendung air mata,” tutur Sani terenyuh.
“Barangkali semua anak seperti itu, bro. Aku pun kadangkala membangkang kedua orang tuaku. Meskipun begitu kita sebagai anak harus tunduk patuh kepada orang tua untuk kebaikan,” balas Udin sembari merenung.
“Mungkin begitu, bro. Barangkali kita bisa menerapkan apa yang disampaikan oleh ustaz Abdullah tadi,” ungkap Sani.
“Yang mana, bro,” tanya Udin penasaran.
“Itu… menghafal alquran dan menjalankan segala apa yang termaktub di dalamnya,” jawab Sani penuh semangat.
“Hmmm… kamu benar, bro. Tapi ingat, kita niatkan karena mencari rida Allah, bukan pujian orang atau segala hal yang menyangkut keduniawian lainnya,” balas Udin mengingatkan.
“InsyaaAllah… kita bisa melaksanakannya, bro,” jawah Sani menyemangati.
“InsyaaAllah… aamiin,” jawab Udin mengaminkan.
“Sekarang sudah pukul berapa, bro? Aku tidak membawa handphoneku,” tanya Sani.
“Sama, bro. Aku juga tidak bawa. Barangkali sudah pukul sepuluh lewat sekarang. Kampung juga sudah sepi. Anjing buntung tadi membawa hikmah juga, bro. Gegara anjing itu kita kembali teringat akan dosa-dosa kita. Sebaiknya kita pulang sekarang. Kalau tidak ada yang dikerja lagi di rumah alangkah baiknya langsung tidur saja agar bisa bangun salat subuh sebentar,” tutur Udin mengajak.
“Oke, bro. Aku juga akan atur jam alarm agar tidak bangun telat. Usai salat subuh sebentar jangan langsung pulang,” ajak Sani.
“Kamu mau tidur di masjid setelah salat subuh?” tanya Udin sembari terkekeh-kekeh.
“Bukan itu maksudku, bro. Kita mengaji setelah salat. Aku akan bawa alquran yang kubeli di toko buku tiga tahun silam. Selama ini alquran itu hanya jadi hiasan di lemari buku di kamarku,” ajak Sani.
“Subhanallah… hidayah ini,” sahut Udin terheran-heran sembari memekarkan senyum bahagia.
“Tausiah ustaz tadi rasanya menohok lubuk hatiku, bro. Apalagi bulan ramadan sebentar lagi tiba. Aku tidak mau selamanya berkubang dalam kemaksiatan yang selama ini kugeluti. Semoga Allah mengampuni segala dosa kita, bro,” ungkap Sani penuh harap.
“Aamiin. Aku sebagai sahabatmu turut senang mendengarnya, bro. Semoga kita selalu istikamah di jalan kebaikan hingga akhir hayat,” jawab Udin mendukung.
“Aamiin. Kita berpisah di sini, bro. Assalamu’alaikum,” pungkas Sani mengakhiri.
“Waalaikumsalam,” sambut Udin. **
Hawa dingin menyelimuti kampung Lamanaga. Air embun membasahi atap seng masjid Al-Mumin di pagi buta. Tetesan demi tetesan air itu jatuh ke tanah tepat di bawah atap membentuk kolam-kolam kecil di tanah. Percikan air bercampur tanah cokelat memercik ke dinding luar masjid. Percikan itu sedikit membuat corakan di dinding putih masjid bagian bawah dekat tanah. Laron-laron tampak sudah berkurang meramaikan remang lampu jalan. Ayam-ayam mulai saling bersahutan menggemakan kokokan tanda pagi menjelang. Kumandang azan subuh menggema di kampung Lamanaga dan sekitarnya. Satu demi satu suara muazin bersahutan memanggil hamba-hamba Allah yang masih terlelap dibuai mimpi. Hanya beberapa orang jamaah saja yang baru hadir di masjid ketika Sani dan Udin datang.
“Dari sejak SD sampai kita sudah beranjak dewasa seperti sekarang, orang-orang di kampung kita ini masih belum banyak yang datang meramaikan masjid, bro,” tutur Udin.
“Aku duga masyarakat di kampung kita ini sudah insaf, bro. Aku begitu tidak mengetahui kondisi masjid ini karena sudah lama aku tidak memakmurkannya. Rupanya orang-orang yang datang salat masih orang-orang yang dulu, pun safnya sangat jarang memenuhi saf pertama,” respon Sani.
“Semoga Allah menurunkan taufik dan hidayahNya di kampung kita ini, bro,” harap Udin.
“Aamiin. Semoga Allah mengijabah doa-doa kita,” pungkas Sani.
Kumandang ikamah menggema memanggil hamba Allah untuk menyembahNya. Namun, buaian mimpi berselimut hangat di pagi buta yang dingin mengantarkan orang-orang kian terlelap pulas. Hanya belasan orang saja yang datang menunaikan panggilan untuk menyembah Sang Khalik. Suara lolongan anjing saling bersahutan ketika seruan ikamah dikumandangkan. Entah mengapa mereka melolong. Ayam-ayam juga berkokok begitu keras seolah-olah hewan-hewan itu tengah berkompetisi memperdengarkan suara termerdu mereka. Ikamah berhenti, kokokan dan lolongan hewan itu kian menghilang hingga lenyap. Ustaz Abdullah memimpin jalannya salat subuh. Lantunan firman-firman Allah terdengar begitu merdu ditartil ustaz muda itu. Iramanya yang merdu menohok lubuk jiwa membuat para jamaah begitu tenang menghayati dan mendengar setiap ayat-ayat suci alquran. Langit sudah mulai tampak membiru ketika salat usai. Bintang kejora masih tampak bersinar menggantung di langit. Cahaya rembulan sudah mulai redup dan bersiap kembali ke peraduannya. Para jamaah ada yang bertolak ke rumah masing-masing dan yang lainnya masih tetap di masjid. Mereka menyibukkan diri dengan ibadah lainnya di pagi hari. Di sudut dinding dekat lemari tempat alquran disimpan, dua orang pemuda berkulit gelap duduk bersila sembari melantunkan ayat-ayat alquran di hadapan mereka. Masyarakat sudah mulai ramai berkativitas usai Sani dan Udin mengaji.
“Lama juga kita mengaji, bro,” tutur Udin sembari melihat jam dinding yang sudah pukul enam lewat.
“Iya, bro. Sudah hampir setengah tujuh. Berarti kita mengaji sekitar satu jam,” balas Sani.
“Sepertinya kita harus membiasakan diri untuk selalu mengaji, bro,” ajak Udin. “Kita amalkan apa yang disampaikan ustaz di malam tadi,” lanjutnya.
“Aku setuju dengan itu. Semoga Allah meridai segala amal kebajikan yang sudah kita kerjakan.”
“InsyaaAllah, bro. Kita baca, pelajari dan amalkan segala yang termaktub dalam alquran. Kita ajarkan alquran kepada yang belum tahu membacanya.”
“Iya, bro. Seyogianya setiap kita saling membantu dalam kebaikan. Dengan begitu semoga kita bisa memiliki amal jariah salah satunya dengan mengajarkan alquran kepada mereka yang belum bisa membacanya. Allah bersama orang-orang yang menolong agamaNya. Sewaktu kita berpisah di persimpangan jalan malam tadi, aku masih memikirkan apa yang di sampaikan ustad Abdullah, bro. Apa mendapat motivasi dari apa yang beliau sampaikan.”
“Apa itu, bro?” tanya Udin penasaran.
“Sudah barang pasti kita sebagai anak tidak akan mampu membalas seluruh jasa-jasa orang tua kita, bro. Apalagi jika mengingat dosa-dosa kita pada mereka yang begitu banyak. Aku berpikir karena kita tidak bisa membalas jasa-jasa mereka, kenapa kita tidak berusaha membahagiakan mereka di akhirat kelak, bro, meski itu tidak bisa dibandingkan dengan pengorbanan mereka mengasuh kita sejak kecil hingga dewasa seperti sekarang. Ayo kokohkan niat di hati dan kita hafal alquran serta mengamalkan apa yang Allah perintahkan. Semoga Allah memakaikan mahkota yang sinarnya lebih terang dari matahari kepada kedua orang tua kita di akhirat nanti,” ungkap Sani penuh antusias.
“Aku siap, bro. Kita ajak teman-teman yang lain juga untuk menghafal alquran. Tapi ingat, bro, kita niatkan semata-mata untuk mencari rida Allah. Persoalan mahkota itu kita pasrahkan saja kepada Allah Yang Maha Kuasa.”
2 COMMENTS
maknyus, blog ini sangat membantu. saya jadi mengetahui banyak hal dari artikel ini. good job!!!
Terima kasih. Semoga bisa mengedukiasi.