Dimana Hadiahku?

Langit berkelap-kelip mengutarakan gemilang indahnya malam. Bulan kedinginan di peluk gelapnya langit ibu kota. Malam yang cerah di sejukki kumamdang adzan isya mengingatkan. Sungguh suasana yang indah bagi jutaan makhluk yang memang Allah sayang.

Bukankah, Allah memang menyayangi seluruh makhluknya?

Ya. Tapi, tidak denganku. Kenapa? Karena aku adalah Salma yang suka sekali menolong banyak orang.

Namun, justru Allah membenciku. Bagaimana mungkin aku yang hobi menolong ini, justru dibiarkan sendiri, di tinggalkan dalam sedih? Segala yang ada padaku dibiarkan pergi tanpa permisi, jangankan mengucap salam. Memeluknya untuk terakhirnya saja … aku tidak bisa.

Dua bulan lalu, api bertamu tanpa permisi singgah di istanaku. Berhasil menghanguskan rumahku yang berharga milyaran itu. Juga dengan Ayah dan Ibu yang tiada harganya. Aku yang kala itu tengah pergi untuk acara bakti sosial, hancur lebur, di lebamkan ujian.

Kenapa semua itu datang saat aku tengah berbuat baik? Apa Allah tak menyukai aku berbuat baik, hingga mengambil orang tuaku?

Telah kucoba pahami cara Allah menyayangiku, namun semua tetap tampak semu. Hanya luka hati yang memenuhi. Aku marah. Aku terluka dengan takdir yang Allah beri.

Dan kini, kuputuskan bahwa aku berhenti menolong. Karena tak ingin sesuatu kembali terenggut tanpa izin.

Sekarang, tak pernah kupercayai lagi bahwa berbuat baik pada orang lain sama saja berbuat baik pada diri sendiri. Ataupun, hadiah orang yang berbuat baik tidak ada yang lebih pantas kecuali kebaikan untuk dirinya sendiri. Aku selalu berbuat baik, tapi dimana hadiah kebaikanku? Apa kepergian orang tuaku adalah sebagai hadiah?

Kuusap tetes-tetes bening di pipi. Mengingat kejadian itu, membuat jantungku kembali terhunus. Jasad Ayah dan Ibu bagai terpampang didepan mata tak berbentuk lagi. Aku menggigil perih, menangis pilu bertumpu pada jendela gubuk yang sudah peyot.

Sungguh menyedihkan, dulu aku hanyalah pesinggah di gubuk ini, tapi kini … akulah pemilik gubuk ini. Dulu aku yang menolong orang-orang yang tinggal di gubuk ini, sekarang … akupun juga butuh di tolong.

Aku beranjak dan membujurkan tubuhku di sudut ruangan. Aku tetap meraung, hingga keempat bocah; dua laki-laki, dua gadis, datang menghampiriku dengan khawatir.

“Kakak, apa Kakak baik-baik saja?” tanya Kiya yang mengusap lenganku.

Aku menggeleng. Enggan menjawab dengan kata. Aku sudah biasa menangis setiap kali teringat takdir jahat itu. Aku sungguh rapuh.

“Kak, bagaimana jika kita sholat isya terlebih dahulu? Mungkin dengan sholat, Allah akan menenangkan hati Kakak, dan mengabulkan doa-doa Kakak.” Aldi menawariku. Sebuah tawaran unik hingga membuat tangisku terhenti, aku bangkit dan terduduk. Kupandangi wajah usia tujuh tahunnya yang masih begitu polos. Oh, wajar saja dia tak mengerti pelik dunia ini.

Kubentak dia. Menjawab segala opini khayalannya. Karena kenyataannya, Allah tidak menyayangiku. Dan, sholat tidak membuatku tenang. Aku hanya akan semakin terluka mengingat betapa taatnya aku dulu, namun berbanding terbalik dengan takdir yang Allah beri. Dia begitu ketakutan. Dan sejak saat itu, tak ada lagi yang berani bicara padaku.

Esok paginya, aku mulai kehidupan baru. Kuberanikan diriku mencari pekerjaan. Sungguh kesulitan karena ijazahku hangus terbakar. Tapi, betapa baiknya Ibu Tinah—pemilik warteg mau memberiku pekerjaan sebagai tukang cuci piring di warungnya yang selalu ramai itu.

Ditengah pekerjaan, kulihat Dina. Dina adalah teman SMPku dulu. Dia gadis yang nakal. Dia muslim, beriman, tapi tak pernah sholat, atau melakukan ibadah lainnya. Kini, kulihat dia dibalik tirai warteg—pembatas antara dapur dengan tempat makan. Dia datang bersama seorang pria yang kuduga adalah kekasihnya. Banyak perubahan dalam dirinya. Tetap cantik, dengan tubuh mungilnya. Bedanya, lengannya yang mulus itu kini dihiasi tato dan rambutnya yang dulu hitam, kini berganti warna menjadi ungu.

Aku tak berani menemuinya, apalagi dengan keadaanku yang seperti gelandangan ini. Aku sungguh malu. Tapi, semua itu membuatku berpikir. Bagaimana mungkin Dina yang tak pernah beribadah itu, tetap bahagia? Kenapa Allah memberi kebahagiaan bagi hamba-Nya yang tak mau beribadah seperti Dina? Sedang aku…? Aku selalu beribadah, mentaati perintah-Nya, menjauhi apa yang Allah larang; tapi kenapa hidupku seperti ini? Mengapa berkebalikan?

Bukankah, seharusnya aku yang merasakan itu, karena kebaikanku? Akulah yang berbuat baik, lalu mengapa aku menangis karena hasil dari kebaikanku sendiri?

Kuremas lap di tanganku kuat-kuat. Aku menangis. Andai, dunia ini menyediakan lembaga pengadilan takdir, rasanya … aku ingin menuntut takdirku yang buruk. Meminta keadilan atas setiap kebaikanku.

Senja hampir memenuhi cakrawala ibu kota Indonesia sebelah barat. Kini, saatnya aku kembali ke gubuk dimana tempat segala kesedihanku di lengkapi disana.

Langkahku terhenti, seorang wanita lusuh bersama anaknya menghampiriku. Aku kenal mereka. Mereka adalah Bu Maryam dan anaknya, Adi. Mereka adalah pengemis yang dulu sering kubantu. Dia tersenyum. “Assalamualaikum, Kak Salma.”

“Waalaikumsalam.”

Bu Maryam mengeluarkan dagangannya. Menunjukkan padaku. “Kak Salma, mau beli barang saya?”

Kurogoh sakuku. Terdapat hasil dari pekerjaanku hari ini. Ingin kuserahkan pada wanita di depanku tanpa perlu membayar. Sayangnya, sisi iblisku sudah berbisik. Mengapa aku harus menolongnya? Jika aku menolongnya, kira-kira … apa yang akan Allah ambil dariku lagi? Tidak! Cukup orang tuaku. Tidak yang lain.

“Maaf, Bu. Saya juga lagi kesusahan buat cari makan. Eh, malah Ibu tawari mainan anak-anak. Mainan nggak bisa bikin saya kenyang!” bentakku dan berlalu pergi. Sungguh membuat darah naik, dalam keadaanku seperti ini. Terombang-ambing takdir buruk. Ditengah kebimbangan antara tetap percaya pada Allah, atau pergi meninggalkan-Nya. Semua masih pada batas bimbang.

Hampir tiba, seorang lelaki tua datang dengan botol berisi beras dan bernyanyi di depanku. Aku sungguh murka. Ini yang kedua kalinya, aku kembali mengamuk. Tanpa menunggu kakek itu menyelesaikan lagunya, langsung saja kuhempaskan botol yang menjadi pengiring lagunya. “Maaf, Pak. Saya nggak punya duit. Kalau Bapak ngamen buat cari makan, mending Bapak rebus aja tuh beras di botol. Lumayan!”

Aku melangkah pergi tanpa kendala lagi sampai di gubuk, istana yang selalu kumaki sebagai tempat pembawa sial. Penghuni gubuk sudah lengkap. Mereka tengah mengaji bersama. Biasanya, aku dulu yang mengajari mereka mengaji. Dan, ya! Itu dulu.

Paginya, aku kembali pada kegiatan yang kemarin kulakukan. Bekerja, dari pagi hingga sore. Semua berjalan seperti kemarin. Warteg terus mendapati keramaian sampai waktu zhuhur. Disaat itulah, aku diperbolehkan istirahat. Dan, istirahat kali ini, akan kugunakan untuk membeli es krim. Sudah lama aku tidak membiarkan lidahku dilumuri es krim.

Kumandang adzan semakin terdengar saja. Aku berhenti didepan masjid besar disisi kananku. Kutatapi sambil tersenyum miris. Masih terdapat luka akan kerasnya takdir.

“Andai Engkau menyayangiku, Ya Allah,” lirihku lalu kembali melangkah. Mungkin, jika takdirku tak seburuk ini, aku pasti sudah berada di masjid sepuluh menit sebelum adzan. Tapi, kenyataan menamparku keras. Dan, inilah hasilnya.

Tak kuacuhkan panggilan adzan zhuhur untuk yang kesekian kalinya. Entah kapan aku harus seperti ini. Aku tak tahu. Mungkin, sampai lukaku terobati. Dan akan terobati jika Ayah dan Ibu kembali. Sungguh sangat mustahil.

Langkahku kembali melaju, hingga terhenti lagi untuk kedua kalinya. Dari kejauhan, dapat kulihat seorang gadis kecil tengah memikul barang dagangan yang berupa piring-piring dari tanah liat. Aku semakin mendekat. Gadis itu telah lebih dulu memasuki gerbang masjid sebelah barat dengan dua tangannya yang hilang. Sungguh kasihan.

Kutertegun bergeming menatapnya yang tengah menaruh barang dagangannya. Wajahnya memang tak asing lagi, dan justru membuatku penasaran. Mungkin saja, gadis belia itu mampu membantuku keluar dari kebimbangan ini.

Langkah kaki ini menarikku masuk kedalam masjid. Mengambil wudhu dan menunaikan sholat zhuhur. Setelah selesai, kuhampiri gadis itu yang masih berdoa. Kudengar doanya baik-baik.

“Ya Allah, maafkan Bella, ampuni Bella, dan bahagiakanlah Ayah dan Bunda di alam kubur, Ya Allah. Sampaikan salam rindu Bella untuk mereka. Ya Allah, ambillah apapun yang Bella miliki. Tapi, jangan Engkau ambil kasih sayang-Mu pada Bella, Ya Allah. Terima kasih telah manaikkan iman Bella dalam ujian yang Engkau beri. Aamiin…”

Aku kembali dibuat membeku. Air mataku mulai mengalir membasahi mukena. Bagaimana bisa, gadis kecil ini begitu lapang dada menerima takdir buruk ini?

Bella mengangkat kepalanya yang tertunduk. Mata bulatnya berhasil menubruk manik mataku yang berair. Aku tersenyum, begitu pula dengannya. Ia bangkit dan melangkah pergi setelah melipat mukena. Ingin kukejar, tapi tangisku sudah lebih dulu pecah.

Siapa sangka, saat diperjalanan kembali ke warteg, kulihat Bella kembali. Kali ini, tak akan kubiarkan dia pergi sebelum menjawab sejuta pertanyaan dalam kepalaku.

“Assalamualaikum,” sapaku dengan ceria menatap Bella yang tengah melayani beberapa pembeli yang sedang melihat dagangan gadis itu.

Gadis itu terdiam sejenak, lalu menjawab salamku. “Waalaikumsalam, Kak Salma.”

Aku tertegun. Dia mengenalku? Bagaimana bisa? Bahkan, aku tak mengenalnya sama sekali?

“Kamu mengenalku?”

Bella mengangguk. “Mana mungkin, Bella tak mengenal wanita secantik dan sebaik Kakak.”

Eh? Cantik? Baik? Oh, andai ia tahu bahwa aku tengah kehilangan jati diriku. Andai ia tahu, bahwa aku telah terseret arus kebimbangan.

“Kakak ingin—” Kata-kataku terhenti karena mendengar suara pengamen. Oh, betapa terkejutnya aku, bahwa pengamen itu adalah lelaki tua yang kemarin kuhardik.

Tak berani berucap kata. Kulihat Bella mengeluarkan dompet kecilnya. Menumpahkan segala sisa uang yang hanya terdapat dua ribu rupiah dan memberikannya pada si Kakek tanpa berpikir.

Bella tersenyum melihat satu pembeli pergi tanpa jadi membeli. Kesempatan ini kugunakan untuk meminta sedikit waktunya. Oh, beruntung! Dia tak menolak.

Kami terduduk dibawah pohon terdekat. Disana, kumulai menceritakan kisah tragisku. Hingga keadaanku yang terombang-ambing seperti ini.

Kuajukan pertanyaan pertamaku. “Mengapa Bella tetap beribadah kepada Allah, sedangkan Allah telah merenggut segalanya dari Bella? Apa Bella tak terbesit amarah pada takdir yang Allah beri?”

Bella mengangguk. “Bella pernah menolak takdir ini. Bahkan, Bella pernah mengadu tak terima atas takdir ini pada Allah. Tapi siapa sangka, Allah menjawab segala rasa tak terima Bella dengan mendatangkan Kakak sebagai penyumbang panti dan memberi kami motivasi.” Aku sungguh tertegun. “Sejujurnya, Bella juga tak menyangka bila Kakak justru kehilangan diri Kakak sendiri dan berada ditengah kebimbangan.”

Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa mendengarkan. Ternyata benar, memotivasi diri sendiri, lebih sulit dibanding memotivasi orang lain. Bella kembali melanjutkan. “Kakak mengatakan, bahwa Allah mempunyai cara sendiri untuk menyayangi hamba-Nya yang taat. Dan aku anggap inilah kasih sayang Allah. Dengan memberiku ujian ini. Dengan begitu, keimananku akan naik satu tingkat, dan aku lebih dekat lagi dengan Allah. Lagipula, untuk apa Bella marah? Bella tak berhak.” Bella menggeleng. “Tangan, kaki, Ayah, Bunda, jagat raya ini adalah milik Allah. Jika Allah mau mengambilnya, kenapa harus marah dan menolak? Bukankah semua ini hanya titipan?”

Aku bungkam. Kata-katanya benar. Dan bodohnya aku yang tak pernah terpikirkan akan hal itu. Bella kembali berkata. “Bella sendiri sungguh sangat bersyukur. Diberi izin hidup, izin untuk beribadah, bernapas dan membantu banyak orang. Bella ingin menjadi seperti Kakak yang suka sekali membantu.”

Akhirnya, tangisku pecah. Kututupi wajahku yang penuh malu dan dosa. Bella menyandarkan kepalanya diatas kepalaku. Mengelus puncak kepalaku dengan pipinya.

“Kakak, Bella tahu yang Kakak alami sungguh berat. Sedih boleh, Kak. Tapi, jangan sampai Kakak kehilangan iman kepada Allah. Allah itu Maha Pengasih, bahkan setelah beribu dosa kita perbuat setiap saat, Allah tetap memberi kita kesempatan untuk bertaubat dan menuju kemenangan dan kebahagiaan melalui kumandang adzan.”

Ketenangan mulai merambati hatiku yang setiap harinya penuh kegelisahan dan kesedihan. Aku mulai mengajukan pertanyaan terakhir. “Lalu, kapan Allah akan membalas kebaikan hamba-Nya yang taat? Dan kenapa harus diuji dengan hal takdir buruk seperti ini?”

Bella tersenyum lembut. “Kakak tak perlu risau. Allah tak pernah tidur. Dan malaikat tak mungkin lupa mencatat amal manusia. Jika Kakak tak dapat hadiah kebaikan di dunia, Kakak akan mendapat hadiah kebaikan di akhirat. Itu pasti. Sebab, Allah sendiri yang menjaminnya dalam Al-Quran Surat Ar-Rohman ayat enam puluh, yang artinya: Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.”

Bella melanjutkan. “Dan Allah menguji setiap hamba-Nya itu, karena Allah ingin lebih dekat lagi dengan hamba-Nya, dan ingin meningkatkan nilai seorang hamba dihadapan Allah. Sama, seperti ujian sekolah. Yang lulus akan naik kelas, dan yang tidak lulus, akan tinggal kelas. Itu berarti, hidupnya tak pernah berkembang.”

Dan akhirnya, kupeluk tubuh mungil yang selalu tegar itu. Menangis di pundaknya. Kini, semua berubah. Aku yang dulu begitu menyesali telah berbuat baik karena dibalas dengan takdir yang buruk, mulai mengerti dan menyesali semua itu. Hampir saja aku kehilangan imanku karena hati serakahku yang menginginkan kehidupan yang begitu manis selalu.

Sekarang, disinilah aku. Di panti Citra Kasih. Tempat Bella tinggal. Aku ingat panti ini. Ini adalah panti dimana aku kerap kali menyumbangkan hartaku dan menjalankan bakti sosialku. Aku tersenyum melewati gerbang. Semua mata tertuju padaku. Mata anak-anak yang tengah menyantap makan siang.

Mereka berlari sambil meneriaki namaku. Aku berlutut dan memeluk mereka bersama. Aku tertawa lepas. Ini pertama kalinya aku tertawa setelah kehilangan orang tuaku. Aku bahagia.

“Assalamualaikum, Kak Salma.” Bu Citra menyapa di atas kursi rodanya. Dialah pengurus panti yang menurut cerita Bella, Bu Citra mengalami kelumpuhan—hingga membuat Bella memaksa ingin bekerja.

“Waalaikumsalam.” Aku menyalaminya. “Maaf, Salma datang tak bawa apapun.”

Bu Citra tertawa. Ia menyuruh anak-anak untuk kembali pada makan siang mereka—termasuk Bella. Dan, aku hampir terlonjak mendengar cerita Bu Citra.

“Terima kasih atas bantuan Kak Salma waktu itu. Alhamdulillah, Panti ini tidak hanya menampung anak yatim-piatu saja, tapi juga menampung para gelandangan yang tak punya rumah. Seperti mereka contohnya.” Bu Citra menunjuk. Dan dari sekian banyak orang yang ditunjuk, terdapat dua orang yang kukenali. Bu Maryam dan putranya, Adi.

Kuhampiri mereka. Dengan senang hati, mereka menyambut kedatanganku. Seakan, tak pernah ada kejadian menyakitkan yang terjadi diantara kami.

“Kak Salma, terima kasih, ya. Atas sumbangan Kak Salma waktu itu, Adi bisa sekolah kembali.” Aku tersenyum cerah mendengar penuturan Bu Maryam. Kutatap Adi yang tiba-tiba sibuk mencari sesuatu di tasnya.

Bocah lelaki itu memberikan selembar kertas padaku. Kubuka lebar kertas itu. Air mataku menitik kembali. Sebuah kertas dengan gambar diriku dengan tulisan kapital di bawahnya: KAMI SEMUA SAYANG KAK SALMA.

Aku tersenyum. Kuperiksa luka di hatiku. Hilang seketika. Kini, aku mengerti. Allah mengambil cinta kedua orang tuaku. Tapi, Allah memberi cinta yang lainnya.

Dan, telah kutemukan hadiah atas kebaikanku. Kebahagiaan.


Penulis

6 COMMENTS
  • Vira Septiyaningsih
    Reply

    Cerita yang bagus, apalagi cerita ini sesuai bgt sm seleraku. Cerita yang puitis tp tetap mudan dipahami:)

  • Azzumawardhani Almi
    Reply

    lovely

  • Reza
    Reply

    Saya suka cerita,karena begitulah Allah mempermainkan hati Kita dengan segala kekuasaanNya Dan kasihNya. Sunggu menginsipirasi

  • Syaheera
    Reply

    Bagus bgt ceritanya… ?

  • shif_
    Reply

    Aku suka banget sama cerpennya,bagus sekali,yaaaa gk tau knp aku suka banget sama cerpen iniii. Luuvvv?

  • Wafi
    Reply

    Cerpen nya bagus dari sisi latar, alur,dan nasihat yang terkandung diolah pokoknya. Lanjutkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *