Cinta dalam Ruh Ramadhan
TaqabbalAllahu minna wa minkum taqabbal yaa Karim. Suara itu mulai terdengar pada bulan yang penuh berkah ini, yaitu Bulan Ramadhan. Bulan yang mulia bagi seluruh umat manusia. Sejak kejadian meninggalnya calon suamiku 3 tahun yang lalu pada bulan yang sama, Bulan Ramadhan. Aku masih belum sanggup menerima kenyataan yang menurutku pahit ini. Terkadang setelah kejadian tersebut, aku seperti manusia yang tak punya Tuhan. Keimananku terasa berkurang, Ibadah jarang ku lakukan. Ya Allah sungguh durhakanya aku sebagai hambaMu. 3 tahun berlalu aku tak pernah berpikir untuk mencari pengganti Mas Rizal. Beberapa kali orang tuaku mengenalkan aku kepada salah satu anak dari temannya, tapi aku mengatakan “aku belum siap untuk menikah”. Hanya keterpurukkan yang aku alami 3 tahun ini, karena memang sampai saat ini aku sangat mencintai Mas Rizal melebihi cintaku kepada diriku sendiri, Maaf untuk kekeliruanku ini Mas, tapi sungguh aku tak bisa melupakanmu. Hingga pada akhirnya aku memilih untuk pergi mencari jati diriku yang sebenarnya. Mungkin, jika ku tak di Indonesia. Aku akan cepat melupakan Mas Rizal, kekasihku itu. Aku pergi ke Paris untuk meneruskan studi ku disana. Berharap kenangan pahit itu hilang. Aku ingin mengubah semuanya yang buruk menjadi baik. Bertaubat di negara yang minoritas Islam ini. Kenyataannya orang tuaku tak mengijinkan. Tapi, aku membujuk mereka dengan alasan aku ingin melupakan kenanganku selama di Indonesia dan berjanji untuk tetap menjaga apa yang ada pada diriku dan agamaku. Akhirnya mereka mengijinkan.
Hari-hariku selama di Paris masih sama seperti di Indonesia. Bayangan Mas Rizal belum saja menghilang dari pelupuk mata. Elyza, teman sekuliahku yang selalu ada disaat aku membutuhkan pundak untuk menangis. Dia tak seiman denganku, namun dalam agamaku toleransi terhadap sesama itu perlu. Dia begitu baik, sudah seperti saudara. Dia adalah pengganti dari orang tuaku yang jauh.
Pagi ini, Paris sedikit mendung. Dibalut dengan Ramadhan yang telah tiba. Aku dan Elyza berniat untuk ke perpustakaan mencari referensi untuk tugas kami besok lusa.
“Kita naik bus aja yaa, Za.”
“Oke deh. Aku juga ngga mau kalo sampek nanti kehujanan.” Ucapnya seraya memakai jaket bulu berwarna hitam itu. Udara memang cukup dingin sehingga membuat kami pergi dengan baju tertutup. Hijab denganku namun bukan dengan Elyza.
“Ahh, manja amat sih. Princeskuu ini.” Ucapku sambil menggenggam tangan sahabatku itu. Elyza hanya tersenyum. Bus sedikit penuh sehingga membuatku sesak. Awal ramadhan seperti ini memang banyak sekali godaan menghadang. Mulai dari pandangan mata, mencoba menahan amarah dan semua yang hal yang dapat mengurangi pahala puasa. Untuk saat ini hanya aku saja yang puasa, mungkin suatu saat nanti Elyza bisa menemaniku puasa dan berhijab. Aaamiin.
“Panas sekali disini Nda, gara-gara banyak penumpang ini yaa.” Ucap Elyza dengan melepas jaket bulu miliknya. Memang hari ini mendung, namun di dalam bus terasa panas karena penuh dengan penumpang. Aku hanya tersenyum melihat tingkah temanku itu.
“Aku nggak bisa bayangin kamu ya, Nda. Panas-panas begini puasa. Oh No! entah aku harus minum berapa kali untuk mengganti semua ion dalam tubuhku. Hahahha…”
“Hehehe, kamu ni Za bisa aja. Namanya puasa itu juga udah niat, jadi bagaimanapun godaannya yaa tetep dijalani. Semua hanya ingin mencari Ridho dari-Nya.” Balasku panjang lebar.
“Hemm, gitu yaa Za. Kalo di aku Kristen Katolik, diwajibkan puasa hanya pada masa pra-paskah. Kamu! 1 bulanan puasa. Oh my God.”
“Begitulah indahnya perbedaan, meskipun kita berbeda keyakinan. Setidaknya silaturahmi tetap berjalan. Iya kan Za?” Tanyaku seraya mendekatkan wajahku tepat di depan wajah Elyza.
“Iya-iya betul itu. Thank’s yaa Nda, you are my good friend. sorry if I often make you upset.” (kamu teman baikku. maaf kalau saya sering bikin kamu kesal) Ucap Elyza seraya memeluk tubuh mungilku itu. Banyak yang tidak percaya jika umurku memang 24 tahun, karena masih terlihat seperti baru masuk kepala 2.
“Yes, you are welcome. I am very thankful you have become a very good friend of mine.” (Ya, terima kasih kembali. Saya sangat berterima kasih Anda telah menjadi teman baik saya. ) Sahabat itu memang harus begitu, saling menyayangi, menjaga segala rahasia yang perlu dirahasiakan. Tidak sampai berniat untuk menusuk dari belakang. Sekitar 15 menitan bus serasa milik kita. Para penumpang terlihat membicarakan. Tak lama kemudian, bus berhenti. Namun tidak berhenti di tempat biasanya. Pandangan para penumpang menuju depan bus.
“Sorry, what happened, sir?” Tanya salah satu penumpang bus.
“There seems to be an accident, so I’m sorry the trip seems to stop here.” (Sepertinya ada kecelakaan, jadi saya minta maaf karena perjalanan sepertinya berhenti di sini) Ucap pak kondektur bus.
Para penumpang merasa kecewa, namun tidak ada pilihan lain untuk tidak berhenti disitu. Aku dan Elyza keluar dari bus dan berniat untuk melihat kecelakaan tersebut. Kulihat wartawan sedang sibuk mewawancarai saksi yang melihat kejadian saat itu. Kulihat kembali police line yang mengitari tempat kejadian. Darah berceceran dimana-mana. Entah kecelakaan macam apa, sampai korban meninggal. Setelah itu aku dan Elyza keluar dari kerumunan para penglihat. Orang lalu lalang meminta pertolongan untuk memindahkan jenazah korban. Saat kami meneruskan perjalanan yang tak terlalu jauh untuk ke perpustakaan, tiba-tiba seseorang mengambil tasku. Seketika itu aku berteriak.
“Help me, help me. Pickpocket.” (Bantu aku, bantu aku. Pencopet) Pandangan orang-orang disana menuju ke sumber suara yang tercipta dari teriakkanku. Salah satu wartawan yang sempat ku lihat tadi mewawancarai saksi terlihat berlari mengejar pencopet itu. Alhasil, dia berhasil mengambil kembali tasku itu. Tapi kulihat sepertinya dia sedikit terluka. Dia menyerahkan tas dan berkata “Hati-hati” Laki-laki itu memakai topi hitam. Yang kulihat dia bukan asli negara Paris
“Mas.. mas.. terimakasih.” Ku hampiri dia. Kemudian topi itu dibukanya, memperlihatkan wajah yang tidak asing untuk ku lihat. Tapi entah dimana.
“Terimakasih, sudah menolong. Bentar-bentar kayaknya aku pernah lihat kamu yaa? Tapi dimana?
“Mungkin di Universitas Jakarta dulu, pas waktu tes.” Ucapnya memberi ingatan kembali. Dulu memang aku sempat tertarik di Universitas Jakarta, namun takdir berkata lain.
“Oh iyaa, Mas Fais. Kok di Paris? Ngapain?”
“Iya, kayaknya aku sama kayak kamu. Ngga keterima dan akhirnya pergi ke negara orang. Hahaha.” Balas Fais santai.
“Hemm, udah nih ngobrolnya, panas tau.” Kata Elyza sambil mengkipasi leher dengan tangannya sendiri.
“Hehehe, iya-iya maaf Princessku” Ku lihat wajahnya sedikit sekali ada senyum.
“Gini aja. Kalian tukeran nomer aja. Biar tambah deket.” Goda Elyza.
“Ihh, apaan sih kamu Za. Malu-maluin.” Timpalku.
“Udah ndak apa-apa. Boleh minta no. hape kamu?” Tanyanya. Ku kira dia tidak akan menuruti apa yang dikatakan Elyza, tapi not really. Aku menuliskan no. hapeku lalu berpisah.
Kita meneruskan pencarian buku untuk referensi tugas besok lusa. Tak lama kemudian buku yang kita cari sesuai daftar pustaka sudah ditangan. Kita memutuskan untuk kembali pulang. Jam tanganku menunjukkan pukul 12 siang, terdengar sayup-sayup dari jauh suara adzan. Aku meminta izin untuk sholat sebentar di Le Grand Mosquee de Paris atau Masjid Agung Paris. Temanku mengiyakan. 30 menit berlalu, aku dan Elyza sampai di apartement tempat kami tinggal. Namun berbeda kamar.
Klik…. Ku lihat di layar hape pesan masuk dari nomer yang tak ku kenal. Setelah ku buka ternyata dia Mas Fais. Setelah kejadian tukar nomor. Kami semakin dekat. Perhatian Mas Fais begitu membuatku mengubah perasaan ini. Perasaan yang dulu ada hanya untuk Mas Rizal, kini rasa itu kembali lagi untuk mengisi ruang hati yang sempat hampa. Kami sering menceritakan pengalaman masing-masing, dari pertama kali ke Paris hingga pengalaman yang memang sulit dilupakan. Sempat aku bercerita tentang ketidaksiapanku untuk membuka hati kembali karena trauma. Mas Fais berusaha mengubah ketidaksiapan itu. Dan dia berhasil. Dia lelaki yang baik, seiman denganku dan memiliki tanggungjawab terhadap wanita. Sungguh, semakin lama rasa ini memupuk.
Suatu hari aku menceritakan semua perasaan ini kepada orang tuaku, mereka meresponnya dengan baik. Namun, aku bilang. Kita hanya dekat, aku ngga pernah tau apa Mas Fais memiliki rasa yang sama sepertiku. Kata ibu, biarlah Nak, jika waktunya telah tiba dan kamu berjodoh pasti akan dipertemukan. Aku hanya mengiyakan. Semoga saja begitu Ya Allah. Aku selalu berdoa, jika memang Mas Fais adalah yang terbaik untukku, dekatkan. Jika tidak, maka jauhkan dengan cara yang tidak menyakitiku. Mas Fais memang tidak pernah mengatakan dia mencintaiku, tapi bentuk perhatian dan apa saja yang dilakukan untukku membuat aku semakin yakin Mas Fais memang memiliki rasa yang sama.
Satu tahun berlalu, aku dan Mas Fais hanya berteman. Begitu menyiksa rasanya memendam rasa, menyimpan rindu yang semakin menggebu. Memasuki Ramadhan tahun 2018 Mas Fais menyatakan sesuatu yang sudah lama aku nantikan. Menyatakan sesuatu yang membuatku ingin berkata pada dunia bahwa aku sangat bahagia.
“Nda, sebenarnya Mas sudah lama ingin mengatakannya.” Ucap Mas Fais sembari duduk di sampingku di taman dekat Masjid Agung Paris. Kami bertemu setelah Mas Fais mengirimkan pesan ingin bertemu denganku. Seketika itu jantungku terasa berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku hanya menggangguk mencoba memahami apa yang dikatakan Mas Fais.
“Kita kan udah kenal lama, sering bareng. Ada sesuatu yang tak biasa Mas rasakan saat deket sama kamu Nda. Dan ternyata, ini adalah rasa yang dikirim Allah untuk mengisi hatimu yang sempat hampa.” Aku menunduk, entah apa yang kurasakan saat ini. Bahagiakah? Atau sebaliknya. Tapi kurasa ingin sekali aku terbang melayang. Ku lihat Mas Fais merogoh saku kanan kemejanya. Lalu dia keluarkan sebuah kotak merah kecil yang sedikit membuatku terkejut. Apa Mas Fais ingin melamarku? Ya Allah, bagai bunga ditaman yang sedang bermekaran dihatiku saat ini.
“Dua tahun itu sudah cukup untuk Mas melihat semua darimu, mulai dari sikap, sifat sampai perilakumu. Mas juga ngga mau cinta ini ternoda dengan hal yang remaja sering lakukan. Mas ingin menikahimu Nda. Apa lamaran Mas kamu terima?” Kata Mas Fais sembari menyerahkan kotak merah kecil itu. Terlihat cincin emas yang berbentuk love di dalamnya. Aku diam. Tak mampu menjawab.
“Kenapa diam Nda? Kamu menolak?” Ucap Mas Fais. Ku lihat raut wajahnya yang berubah sedikit kecewa. Aku ketawa melihat perubahan raut wajahnya.
“Ahh, kamu goda aku ini ceritanya.” Ucap Mas Fais seraya ingin memelukku, tapi tak jadi. Karena dia faham batasan muslim yang belum menikah itu seperti apa. Aku mengangguk sebagai tanda menerimanya. Ku lihat Mas Fais memperlihatkan bahagianya dengan kedua tangan mengusap lembut wajahnya. Bersyukur atas semua doa-doa yang mungkin dia panjatkan terkabulkan. Ahh. Mas Fais kamu mengerti saat itu aku ingin sekali menceritakan pada dunia bahwa aku sangat bahagia mendengar ungkapan seperti itu darimu.
“Jadi benar Nanda menerima lamaran Mas?” Tanya Mas Fais kembali.
“Iya Mas Fais, Nanda menerima dengan tulus lamaran Mas.” Jawabku tersipu malu.
“Alhamdulillah.” Aku tersenyum melihat tingkah Mas Fais yang sangat bahagia itu.
Saat ramadhan memasuki malam 21, Mas Fais dan keluarga pergi ke rumahku untuk melamar dan menentukan hari pernikahan kami. Saat itu memang aku sedang memasuki liburan semester 3. Jubah warna coklat dan hijab pink bermotif bunga kukenakan untuk menyambut mereka. Suasana hatiku saat itu SubhanAllah, ingin rasanya melayang-melayang ke angkasa, menari bersama burung yang terbang bebas.
“Anak ibu sudah cantik” Ku lihat ibuku dari cermin yang tengah menungguku untuk keluar menemui Mas Fais dan keluarganya.
“Ihh. Ibu, jangan gitu. Nanda jadi malu kan.” Kataku seraya menghampirinya.
“Maafin ibu yaa Nak kalo ibu punya salah. Semoga dia kelak bisa menjadi imam yang baik untuk putri ibu ini.” Ucap ibu seraya mengelus kepalaku. Ku lihat mata sayu itu sedikit mengembun.
“Aamiin. Nanda juga minta maaf. Nanda sering buat Ayah sama ibu kepikiran. Nanda sering ngga nurut.” Jawabku. Tak terasa mataku mulai menghangat. Ibu hanya mengangguk dan akhirnya aku jatuh dalam pelukan perempuan yang sangat ku cintai itu.
Acara malam itu berjalan lancar. Semua seisi rumah juga keluarga Mas Fais mengucap syukur atas nikmat yang di berikan Allah saat itu. Hari pernikahan kami jatuh pada syawal ke 10, dimana itu adalah hari yang dulu memang aku inginkan untuk melaksanakan pernikahan. Memang cepat sekali, namun pihak keluarga menginginkan pernikahan ini agar segera dilaksanakan. Alhamdulillah sampai hari H semua berjalan dengan lancar. Gaun warna putih ku kenakan. Dari dalam kamar ku dengar suara tamu undangan yang membuatku menjadi gugup. Aku berdoa, semoga Mas Fais lancar saat akad nikah nanti.
Akad nikah baru saja selesai, terharu. Ingin rasanya aku menangis karena bahagia. Mas Fais mencium keningku setelah cincin dikenakannya ke jari manisku. Kemudian memasuki acara resepsi. Kami bagaikan raja dan ratu sehari. Mas Fais terlihat tampan dengan kemeja warna coklat keemasan itu. Ahh, Mas Fais tak henti-hentinya aku bersyukur atas hadirnya dirimu di hidupku.
Ramadhan saat itu membawa berkah banyak untukku, mulai dari aku mengubah hidup yang dulunya buruk menjadi lebih baik lagi. Melupakan segala kenangan yang pahit tergantikan oleh dia yang begitu manis. Ketahuilah, Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Allah memberikan cobaan karena dia ingin hamba itu kembali kepadanya. Allah rindu doa malam kita, Allah rindu tangis kita. Nikmatilah hidup selagi nafas masih berhembus. Tetap bersyukur atas apa yang diberikan-Nya.
4 COMMENTS
Good job?
Recommended banget untuk yang mencari referensi tentang keberagaman
Mantulll
SEMANGKA