Cerita Puasa Pertamanya

Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan keenam kami bersama. Dari sekian Ramadhan yang kami lalui, bisa jadi ini Ramadhan yang berkesan dan penuh cerita. Ya, anak lima tahun saya yang sudah resmi bukan balita lagi Maret lalu, pada Ramadhan ini mulai belajar puasa dari subuh sampai dengan bedug Maghrib tiba. Walau memang hari pertama penuh drama, tapi berhasil melaluinya hingga hari kelima ini adalah suatu hal yang membuat saya terharu. Mudah-mudahan bisa sampai penuh 30 hari, tergantung nanti kondisinya. Mudah-mudahan sehat selalu.

Awalnya saya tidak berekspektasi dia bisa menjalani sampai dengan Maghrib tiba. Paling tidak target setengah hari saja, belajar membiasakannya untuk memenuhi rukun Islam yang ketiga. Tahun lalu, saya mengajari dia berpuasa setengah hari saja dengan waktu sahur saat sarapan. Dia masih sulit dibangunkan saat sahur, sehingga kami anggap saja waktu sarapan adalah waktu sahurnya. Dia cukup menahan lapar dan haus saat waktu makan cemilan karena sudah berbuka saat waktu makan siang.

Tahun ini, saya ingin ada peningkatan dari tahun lalu untuk puasanya. Paling tidak ikut sahur dan berpuasa setengah hari. Berbagai upaya saya lakukan untuk membuatnya semangat menyambut Ramadhan keenamnya ini. Mulai dari membacakan buku soal puasa sebagai rukun Islam ketiga, sounding terus menerus soal waktu puasa terutama waktu sahur ketika dia akan tidur malam, membuatkan lembar ceklis ibadah puasa Ramadhan, membuat prakarya bersama-sama untuk persiapan tarhib Ramadhan di sekolahnya, sampai dengan memperlihatkan tontonan Nussa dan Rarra yang menyampaikan pesan tentang puasa. Kebetulan Nussa dan Rarra adalah tokoh kartun yang dia sukai. Dia pun mulai menghitung mundur kapan puasa akan tiba. Kegembiraan dan ketidaksabaran menunggu waktu Ramadhan tiba tergambar di wajahnya. Ya, kami sungguh bergembira Ramadhan akan tiba dan berdoa semoga Allah sampaikan kami pada Ramadhan tahun ini.
Saat malam pertama Ramadhan tiba, dia begitu bersemangat untuk melakukan shalat tarawih meskipun hanya berjama’ah di rumah saja.

“Ibu, kenapa shalat tarawihnya banyak sekali ya?”, katanya saat sudah selesai tarawih dan witir.

“Iya, ibu kan sudah pernah kasih tahu kalau tarawih adalah shalat sunah di bulan Ramadhan. Hanya dilaksanakan di bulan Ramadhan, kita harus manfaatkan keistimewaan ini sebaik-baiknya. Jadi, kalau Ibra merasa raka’atnya banyak, artinya Ibra disuruh bersabar saat melaksanakannya ya. Karena dengan melaksanakannya, Ibra akan mendapat kebaikan dari Allah. Insya Allah”, kata saya mencoba menjelaskan panjang lebar.

“Berarti saat puasa Ramadhan, tiap malamnya kita shalat tarawih?”, tanyanya lagi.

“iya tentu saja, semoga kita dimampukan dan diberikan kesempatan ya Nak. Aamiin”, kata saya sambil berdoa dalam hati semoga semangatnya terus terjaga hingga akhir Ramadhan tiba.

“Aamiin”, ia pun ikut mengaminkan.

“Siap-siap tidur ya. Besok kan ibu mau bangunin jam setengah 4. Sahur pertama”, kata saya mengingatkan.

Saat sahur tiba, dia dibangunkan oleh ayahnya sementara saya menyiapkan santapan sahur. Tidak perlu waktu lama, dia segera bangun dan berwudhu. “Mau shalat malam dulu”, katanya. Dalam hati saya merasa lega, berdoa agar begini seterusnya saat dibangunkan sahur.

Drama dimulai saat jam kritis satu jam menjelang berbuka. Padahal saat waktu makan siang sudah ditawarkan untuk berbuka. Tapi dia menolak. “Berbuka kalau sudah Maghrib”, katanya yakin. Saat sudah jam lima sore, dia lupa akan perkataannya dan meminta makan serta minum. Saya alihkan perhatiannya dengan menonton dan bahkan kembali memperlihatkan video Nussa dan Rarra tentang puasa. Tetapi tidak bertahan lama, tangisnya mulai pecah.

“Nak, tanggung ya sebentar lagi. Setengah jam lagi tuh. Sabar dulu ya”, kata saya berusaha menenangkannya. Dalam hati ragu juga apakah akan mengikuti kemauannya dan memberikan makan dan minum.

“Ibranya sudah laper dan haus banget Bu”, katanya sambil menangis.

“Iya, tapi sabar sebentar dan tenang. Kalau menangis terus, keronggkongan Ibra malah tambah kering, jadi tambah haus”, tangisnya mulai melunak. Saya peluk dia erat-erat, hal ini cukup menenangkannya.

“Kok lama banget ya Bu berbukanya”, katanya. Saya jadi ingat saat belajar puasa waktu kecil. Persis apa yang dirasakannya saat ini.

“Tinggal 20 menit lagi kok, sabar ya. Tiduran aja dulu biar ga berasa ya”, kata saya dan dia pun sepertinya agak mengantuk meskipun tidak sampai tertidur.

Akhirnya adzan Maghrib tiba. Masya Allah begitu terlihat nikmatnya ia meneguk air putih yang saya siapkan. Kami pun berdoa dan berbuka bersama, lalu shalat Maghrib berjama’ah.

“Ibu, ternyata Ibra berhasil yaa”, katanya dengan penuh semangat saat selesai shalat Maghrib.

“Alhamdulillah. Ibra nya tadi bisa sabar ga makan dan minum sampai Maghrib. Besok kalau ga mau sampai Maghrib, gapapa kok. Setengah hari aja”, kata saya.

“Engga. Besok mau sampai Maghrib lagi”, katanya bersemangat.

“Beneran?“, Tanya saya ingin meyakinkan. Sebenarnya saya hanya mengetes jawabannya.

“Iyaaa Bu, Insya Allah”, katanya yakin.

“Okee. Tapi selain menahan haus dan lapar. Besok juga harus lebih baik yaa dalam menahan emosi. Ga kayak tadi, nangis-nangis. Nanti nilai puasa Ibra berkurang”, kata saya.

“hehehe, iya Bu”, katanya tertawa.

“Masya Allah, hari ini Ibra bisa merasakan orang yang kelaparan juga ya Nak”, kata saya.

“Iya Bu, kasian ya, apalagi anak-anak”, katanya.

“Iya. Makanya Ibra harus bersyukur yang banyak ya. Karena diberi kemudahan makan dan minum sama Allah”, kata saya.

“Iya Bu”, katanya.

“Besok kita berjuang sama-sama lagi yaa. Terima kasih sayang sudah berjuang hari ini, semoga Ibra semakin disayang sama Allah yaa”, kata saya.

Kami pun berpelukan erat. Ada rasa haru yang terselip, saya seka ujung mata yang sedikit basah. Betapa hari ini saya sangat bangga padanya karena melebihi apa yang saya harapkan dan bersyukur pada Allah yang telah memampukannya melewati hari pertama puasanya. Semoga Allah mampukan dan berikan kesehatan padanya hingga Ramadhan berakhir.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *