Kami biasa memanggilnya Cak Pi’i. Usianya kira-kira 60-an tahun. Alumni sebuah pondok pesantren di Jombang. Nama aslinya Imam Syafi’i. Sebuah nama dengan dua harapan: saleh dan cerdas seperti pendiri mazhab fikih Syafi’iyah, Imam Syafi’i.
Takdir menuliskan Cak Pi’i menjadi imam shalat rawatib musholla kecil di gang rumah. Hampir lima waktu shalat rawatib, Cak Pi’i bertindak sebagai imam. Bahkan, kadangkala ia menjadi muadzin sekaligus imam. Tanpa honorarium satu rupiah pun. Gaya hidupnya bersahaja tidak seperti para ustadz yang kerap nonggol di televisi.
Profesi utamanya adalah penjual nasi di warung kecil di sebelah timur persawahan desa. Pelanggan warungnya adalah buruh sawah. Diperkirakan, bila sedang musim tanam padi penghasilan kotornya hanya 50 ribu rupiah. Bila sedang sepi mungkin hanya 10 ribuah rupiah. Bisa dibayangkan berapa rupiah yang masuk dalam kantongnya setiap bulan. Kurang dari cukup. Bahkan, Cak Pi’i bisa dikategorikan orang miskin.
Setiap kali bulan Ramadhan datang, ia menghadapi dilema antara menutup warung atau membukanya. Menutup warung berarti tidak ada uang masuk sama sekali. Padahal, harga kebutuhan pokok di bulan Ramadhan mengalami kenaikan. Belum lagi untuk keperluan lebaran. Pengeluaran semakin banyak.
Cak Pi’i tidak punya pilihan lain kecuali membuka warung. Bagi yang mengharamkan atau pun mengsyubhatkan membuka warung di siang hari bulan suci Ramadhan, perilaku Cak Pi’i itu melanggar syari’at, tidak islami atau bahkan mungkin terkutuk. Sebab, bukan saja memberi fasilitas orang bagi yang tidak puasa, melainkan membuka peluang orang tidak berpuasa. Karena itu, hukumnya haram. Ma adda ila haramin fa huwa haramun, sesuatu yang mendatangkan kepada haram maka berhukum haram pula. Demikian bunyi kaidah fikihnya. Sebagai alumni pondok pesantren, Cak Pi’i tentu sangat memahami hal itu.
Sebenarnya Cak Pi’i tidak ingin membuka warung kecilnya. Betul-betul tidak ingin. Hatinya bergejolak. Tapi, tidak ada pilihan lain. Warung tetap buka dengan ditutup kelambu. Demi sejumput uang yang mungkin sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar asap dapur tetap bisa mengepul di bulan Ramadhan. Tidak lebih lebih dari itu.
Cak Pi’i merupakan contoh tepat sebuah ‘profesi’ yang pernah disebut Gus Dur: kiai kampung atau desa. Tidak ada gaji bulanan. Terlebih lagi tunjangan hari raya. Tulus mengabdi, tanpa pamrih. Ia selalu ada untuk menjadi imam shalat rawatib dan tahlilan di gang rumah kami. Namun, perhatian kami kepadanya terlalu sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Oleh: Najib Abdul
Dari: Jombang