Terus merapal dzikir bibirku bergetar, hati ini rasanya ngilu. “Laa yukallifullahu nafsan Illa wus’ahaa” ku yakinkan diri bahwa Allah tidak akan pernah menguji manusia melebihi batas kemampuannya. Kukuatkan hati, agar tidak underestimate pada kemampuan diri. Allah tidak salah dan tidak akan pernah salah memilih pundak untuk diletakkan masalah padanya. Tapi duhai Dzat Yang seluruh hidupku ada dalam genggamanNya, sungguh saat ini, sekarang ini saja hamba merasa hamba tidak kuat.
“Kandungan yang ini harus kita jaga ya dek” ucap suamiku, merangkul pundakku sambil mengelus jabang bayi yang ada di rahimku.
Aku mengangguk memutar badan, menyembunyikan wajah senduku di dadanya, mengurai air mata sepuas yang aku mau dan ia dengan sabar mengusap-usap puncak kepalaku. Dukanya sama dengan dukaku, aku tahu itu. Di hadapan kami terbaring jasad kaku, wajah mungil seolah tertidur tenang, hangat tubuhnya bahkan belum sepenuhnya hilang, tapi tak ada lagi hembusan napas tanda kehidupan disana. Hari ini, telah Allah kukuhkan statusnya sebagai anak surga.
Innalilahi wa Inna ilaihi Raji’un, telah berpulang anak pertama kami.
__ __ __
Rasa sedih pasca kehilangan anak ditambah mood swing yang alami dialami oleh seorang ibu hamil muda, Bismillah! aku hanya meminta dikuatkan untuk berdamai dengan keduanya. Kalau dituruti rasanya ingin terus “dimanja” oleh ketersiksaan mendalam, mengikuti lidah yang masih tak mau disentuh makanan, atau terus mengurung diri dari kehidupan sosial seperti yang sudah kulakukan seminggu belakangan ini. Tapi aku harus memaksakan diri untuk bangkit, menyadari hidupku masih harus dan terus berlanjut. Ada nyawa dalam rahim yang harus kujaga, ia jauh lebih penting dibanding menuruti seluruh emosi jiwa. Aku juga ingin nanti bertemu anak surgaku, jadi menjalani hidup dengan baik sesuai arahanNya adalah opsi tunggal yang aku punya.
Kuraih ponsel membuka aplikasi pesan, puluhan pesan masuk disana, isinya masih seragam seputar ucapan duka dan menguatkan. Hanya kubaca tidak bisa kubalas karena air mataku sudah menggenang lagi. Beralih ke sosial media, baik Facebook atau Instagram isinya juga sama, masyaAllah banyak sekali ternyata yang peduli. Banyak diantara mereka juga yang meminta maaf karena tidak bisa berhadir di hari duka, aku tidak keberatan karena memang di hari duka itu tidak banyak pihak yang kami kabari, hanya kerabat dan teman yang benar dekat.
Hanya saja diantara sekian banyak pesan itu, diri ini lumayan terusik dengan pesan-pesan “penyemangat” berbunyi, “Yang sabar ya, semoga segera Allah berikan ganti”. Seketika kuusap perutku, senyum tapi agak getir. Mereka semua memang tidak tahu kalau-kalau sudah Allah titipkan adiknya almarhum bahkan sebelum almarhum pergi. Di hari duka pun sama, ibu-ibu tetangga yang bertakziah menyalami, memeluk, beberapa bahkan juga mengelus perutku dan tak jarang juga memberikan kalimat “penyemangat” sejenis, “Alhamdulillah ya Nak, langsung Allah kasi ganti, sehat-sehat ya Nak”.
Tidak, tidak ada yang salah dengan ucapan mereka, bisa jadi karena aku masih dalam fase kelewat sensitif sehingga kata “pengganti” yang mereka sematkan pada bayi dikandungan ku terasa menyakitkan. Masih segar rasanya diingatan tanggapan berbeda yang ku dapat ketika orang tahu aku hamil saat almarhum anakku masih hidup.
“Lo, ibu mau periksa hamil? Itu kan anaknya masih kecil” petugas puskesmas seolah langsung menghardik saat pertama kali aku memeriksakan kandungan. Aku tak bisa menjawab banyak hanya mengangguk.
“Makanya ibu KB, itu kasian anaknya masih kecil, nanti bisa tidak terurus” tambahnya lagi, dan aku tetap diam menunggu pulpen ditangannya siap menuliskan namaku di buku registrasi, lantas berlalu pergi ke ruang pemeriksaan.
“Eh, hamil lagi? Kemarin sesar kan lahirannya? Apa gak bahaya itu?” tanggapan seorang teman saat mendapat kabar kehamilanku.
“Iya, tapi namanya juga Allah yang kasi, berarti Allah tahu aku mampu” balasku.
“Hm… Tapi resikonya tetap tinggi lo, kemungkinan besar pasti operasi lagi nanti” tandasnya. Mungkin memang tanpa niat apa-apa tapi jadi seperti apa-apa di telinga ibu hamil muda.
Dua tanggapan berbeda dari situasi berbeda atas kehamilan dari orang yang sama. Kontras, itu yang kurasa. Tidak ada yang salah sebenarnya dari keduanya, hanya tanggapan standar dari orang yang tidak mengerti situasi secara menyeluruh.
Bagi seorang ibu setiap anaknya pasti istimewa. Bagaimana mungkin seorang ibu tidak menyukuri sebuah kehamilan hanya karena jarak kehamilan yang berdekatan dan bagaimana mungkin pula jika kemudian kehamilan itu dianggap “sekedar” ganti, penghibur saat sedang kehilangan. Tidak adil rasanya menganggap kedatangan yang satu adalah pengganti dari kepergian yang satunya. Pun hakikatnya memang yang telah pergi selamanya tidak akan terganti. Cinta dan rindu ini tetap akan sama berapa dekade pun berlalu. Segala ingatan dan kenangan bersama anak pertamaku pun akan tetap abadi tersimpan di sanubari.
Ponselku berdering, nada khas jika ada pesan dari suamiku.
Suami : [dek, mau makan apa?]
Alhamdulillah, Allah memilihkan pendamping sebaik suamiku untuk menemani melewati masa-masa sulit ini. Ia tak banyak bicara, tapi segala tindak tanduk perbuatannya cukup untuk menenangkan dan menyenangkan hati istrinya. Semua pekerjaan domestik rumah tangga ia yang handle selagi istrinya berduka, pun memang ada calon kehidupan baru yang harus bersama kami jaga.
Aku : [makan di luar boleh mas?]
Suami : [mau makan dimana?]
Aku : [makan bebek boleh?]
Suami : [boleh, Adek siap2lah]
Bergegas bangkit dari tempat tidur, aku mendatangi nakas, memilih gamis dan jilbab ternyaman. Kuelus lagi perutku perlahan penuh kasih sayang mengajak penghuni rahim ini berkomunikasi.
“ Nak, dalam umurnya yang singkat telah abangmu pahatkan banyak kenangan dalam hidup ummi. Ummi pun tak sabar untuk bisa segera bersua denganmu dan memahatkan kenangan baru tanpa mengikiskan sedikitpun kenangan tentang abangmu. Karena bagi ummi Nak kau bukan pengganti”.