Bismillahirrahmanirrahim (Cerita Anak-anak Pondok)

Malam Jum’at adalah malam istimewa. Konon pada hari dan malam Jum’at itu, amal ibadah kita dilipatgandakan pahalanya. Namun, bagi kalangan santri, istimewanya malam ini adalah karena pada malam Jum’at, kebetulan ada kiriman ambeng dari salah satu santri yang menghendaki ngirim do’a.
“Ayo kita tahlilan sebentar,” ucap Kang Faza setelah kegiatan jama’ah sholat isya’ di Pesantren. Setelah memastikan semua anggota jama’ah kumpul, segera Kang Faza memimpin tahlilan dan do’a. hadiah fatihah pada arwah yang dikirim.
“Kang Irfan…, itu dibagi nasi sama lauknya jadi tiga kelompok!” ucap Kang Faza. “Memang ada apa dengan angka tiga?”, Kang Faza suka sekali membagi apa-apa menjadi tiga. Padahal jumlah kami ada sepuluh orang lebih. Di bagi lebih banyak lagi kan echo (enak). ”Dalam hati Kang Irfan membatin.
“Ayo dimakan!”. Kami segera membentuk laskar departemen perbadokan. “Kang Azis!, sama aku disini,” lanjut Kang Faza. Biasanya Kang Azis, adalah yang paling klenyam_klenyem untuk urusan ini. Kami tidak bisa kebagian jika dia beraksi. “Nih telor dan rica-rica untuk Kang Azis, nih untuk Kang Dimas, nih untuk Kang Ammar, nih untuk Kang Dwi. Baca basmalah dulu ya!”
“Kenapa Kang, kok lagi-lagi baca Basmalah? Kemarin pas mau nyari Jembak, Kang pesen baca basmalah, mau manjat kelapa, juga gitu, mau ke warung basmalah lagi.” Tanya Kang Dwi Si activice religious problems.
“Dimakan dulu, habis makan aku kasih cerita.” Pungkasnya. Kami pun makan dengan lahap. Sesekali Kang Faza berujar, “Lauknya jangan dihabisin dulu,” “Yang nggak habis bawa sini,” ucapnya lagi. Kami pun sadar untuk berbagi, karena di kelompok Kang Faza ada empat orang dan ketambahan Kang Azis.
Memang, beginilah kami diajarkan menjalin keakraban. Yakni dengan makan bersama (seketel, selengser), tidak ada yang pakai sendok, muluk semua. Kang Faza suka melucu kalau pas begini, kami pun aktif, suka saling menggojlok. Bagi kami, Kang Faza adalah sosok yang mengayomi.
Kami yang baru saja menyelesaikan makan, segera menuju padasan untuk cuci tangan sekalian berwudlu, persiapan mengikuti kegiatan al-Barzanji.
“satu adalah permulaan, dua adalah perulangan dan tiga adalah penyempurnaan,” ucap Kang Faza mengawali pembicaraannya. “tadi kalian berwudlu, masing-masing basuhan diulang berapa kali?” “Tiga” jawab kami serempak.
“kalau kalian mencoba, apa saja, pekerjaan, usaha, amalan dan lainnya, biar yaqin diulang berapa kali.”
“Tiga Kang! Kalau udah tiga kali, ternyata gagal ya nggak jodoh. Tapi kalau berhasil ya berarti jodoh.” Ucap Kang Dimas.
“Ya udah. Itulah arti tiga, sempurna. Itulah arti tiga, Yaqin. Yaqin salah, atau Yaqin bener.. he he, yaqin berhasil atau yaqin gagal…” “dan tentunya kalian juga sudah tahu, Allah Swt. Suka yang ganjil-ganjil,” Lanjutnya kata Kang Faza.
“Kang…! Joko Sembong Bawa Golok, Kog Nggak Nyambong. Kan tadi katanya mau cerita,” lagi-lagi Kang Dwi nyletuk.
“Iya..ya.. nanti Aku ceritakan.” Ucap Kang Faza sambil melirik Kang Irfan yang mantuk-mantuk.
Kang Faza menarik nafas dalam, matanya meredup, lalu bibirnya bergumam,
***
Orang Jawa memiliki tradisi menaruh sepiring nasi dan lauk yang ditaruh di pojok rumah apabila ada anggota keluarganya yang wafat. Konon itu istilahnya namanya sebagai sajian, jika sewaktu-waktu arwah yang mati berkunjung.
“Bagaimana hukumnya?” Tanya seorang kepala Kyai.
“Silahkan. Tapi mbok yo jangan hanya satu piring. Buat 40 piring.”
“Ya, terus 40 piring itu ditaruh di mana saja?”
“Undang tetangga. Beri tiap orang satu piring.”
“Yang di pojok rumah bagaimana?”
“Satu piring ditaruh.”[]


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *