(Dialah) Allah, tiada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakkal hanya kepada Allah. – (Q.S At-Taghabun: 13)
Hidup ini hanya kesementaraan. Allah itu Mahakuasa, Allah itu Mahabesar. Tidak ada yang lain. Dan, berserah pada Allah adalah salah satu usaha manusia.
Seharusnya sifat tawakkal bisa dengan mudah saya pelajari lewat buku pelajaran agama saat masih sekolah. Atau lewat pengajian di radio yang setiap pagi Bapak dengarkan. Tapi, saya justru belajar tentang itu semua lewat jalan yang berat.
Dua tahun lalu, saya sakit tipus. Dokter meminta saya dirawat di rumah saja. Istirahat total di rumah, tak perlu dirawat di rumah sakit. Saya harus benar-benar istirahat total, berbaring sepanjang waktu dan hanya beranjak saat ke kamar mandi saja. Begitu kata dokter dengan candaan di akhir.
Saat itu, desa saya tiba-tiba dilanda “kematian beruntun”. Dalam satu bulan, ada beberapa orang meninggal selang hitungan hari saja. Hampir setiap hari, saya mendengar siaran kematian di mushalla dekat rumah. Termasuk kematian Bu Lek. Beliau memang sakit diabetes. Tapi, setahu saya tidak separah itu. Suatu sore, beliau tiba-tiba pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Padahal paginya, beliau masih berbelanja dan memasak seperti biasa. Dua hari kemudian, beliau wafat. Kita semua terkejut.
Tak sampai seminggu, tetangga saya menyusul Bu Lek. Perempuan yang umurnya belum ada tiga puluh tahun, dan punya dua orang anak laki-laki yang masih kecil. Keluarganya sedang berencana pergi ke luar kota. Pagi hari suaminya pergi ke rental mobil. Perempuan itu masih berbelanja, lewat depan rumah. Siangnya, tiba-tiba dia pingsan. Suaminya belum pulang, orang tuanya yang membawa ke rumah sakit. Di perjalanan menuju rumah sakit, perempuan itu justru pergi ke alam lain. Di dalam tenang, dia wafat.
Sejak saat itu, saya tidak pernah merasa tenang. Saya selalu was-was. Sakit tipus belum juga sembuh, padahal obat sudah habis. Kesehatan yang belum membaik membuat saya khawatir. Saya tidak bisa tidur. Saya hanya tertidur selama satu jam saja setiap malam. Kemudian terbangun karena merasa takut. Takut akan kemantian. Takut kalau saya tiba-tiba bangun dan berada di alam lain. Saya benar-benar takut.
Saya mulai rewel dengan badan yang belum pulih. Saat suhu badan mulai naik, saya minta periksa ke dokter. Ada gejala pencernaan yang tidak beres, saya minta periksa lagi. Bahkan saya ganti dokter hingga lima kali. Saya berharap mereka menyembuhkan tipus itu secara total—menyelamatkan saya dari kematian. Tapi, tak satu pun dari mereka mendiagnosa sakit berlebih pada diri saya. Tes darah lagi dan lagi, hasilnya tipus saya sudah bersih. Tapi, saya merasa masih sangat sakit. Tangan saya gemetar saat ditegakkan. Saya berpikir bahwa sakit ini masih parah.
Di dokter yang terakhir, saya menemukan jawaban yang berbeda. Katanya, tubuh dan pikiran saya tidak sinkron. Tubuh saya diperiksa dan menunjukkan tanda-tanda yang baik. Jadi, beliau berasumsi bahwa yang sakit adalah “pikiran” saya. Saya bercerita kalau sering tiba-tiba terbangun di tengah malam. Kemudian tidak bisa tidur dan tidak ingin tidur. Beliau bertanya, apakah saya sedang banyak pikiran? Saya mengangguk karena sampai saat itu saya masih memikirkan tentang kematian yang tiba-tiba. Lalu, beliau menyarankan untuk shalat dan ngaji saat terbangun di tengah malam. Saya pulang membawa satu plastik kecil berisi vitamin dan menggenggam erat saran yang sangat berharga itu.
Di rumah, saya memberi tahu orang tua kalau sebenarnya tipus sudah sembuh. Dokter hanya memberi vitamin. Dan, kata dokter mungkin saya banyak pikiran. Bapak mungkin mengerti dengan “banyak pikiran” yang saya alami waktu itu. Bapak mungkin tidak tahu secara pasti apa yang membuat saya gelisah, tapi bapak tahu saya begitu mencemaskan sesuatu. Bapak bilang, urip kuwi kudu semeleh karo sing nggawe urip. Artinya hidup itu harus berpasrah pada yang memiliki kehidupan. Seketika, hati saya terkesiap. Kecemasan dan ketakutan yang berlebih telah membuat lupa bahwa Allah Sang Pemilik Hidup. Semua akan kembali pada-Nya, dan semua yang terjadi adalah kehendak-Nya.
Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya. Segala puji yang sebanyak-banyaknya bagi Allah SWT. Maha Suci Allah pada pagi dan petang hari. Aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan segenap kepatuhan dan kepasrahan diri, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah kepunyaan Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang tiada satu pun sekutu bagi-Nya. Dengan semua itulah aku diperintahkan dan aku adalah termasuk orang-orang yang berserah diri. (Terjemahan doa iftitah)
Lima kali sehari diucapkan dalam shalat. Lima kali dalam satu hari berserah diri kepada Allah, tetapi terkadang masih lupa bahwa hidup harus berserah pada-Nya. Saya bersyukur telah diberikan pelajaran itu lewat jalan yang berat. Lewat sakit yang membuat saya sadar bahwa hidup harus berserah diri pada Allah.
Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah menetapkan ketentuan bagi setiap sesuatu. – (Q.S At-Thalaq: 3)
2 COMMENTS
Betul yg dikatakan ortu. Urip kuwi semeleh. Namun sebelum semeleh, masih ad tahap lain yaitu ikhtiar. Ikhtiar semaksimal mungkin sebelum berserah diri. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (QS. Ar Ra’d 11)
kata Bapak PL sangat berkesan… memang benar adanya…
berserahlah karo aing nduwe urip.. karo sing nduwe kuoso… InsyaAllah lebih tentram memang.. tidak ada prasangka sama orang.. tidak ada marah sama orang… karena semua dikembalikan sama Allah…
nice PL tulisannya…