Aku pikir keputusan untuk melakukan hal yang sangat bertentangan dengan pemikiran orang-orang terdekat disekitarku kala itu adalah hal yang harus kupikirkan beribu kali. Suatu pengambilan keputusan yang tidak sembarang untuk menerima suatu permintaan seorang pemuda yang memberanikan diri dengan hanya membawa sekaleng wafer dan berhadapan dengan seorang Bapak. Siapa yang menyangka, di pertemuan yang sangat singkat dalam sebuah pertemuan kelas, skenario yang telah dibuat oleh Yang Maha Pencipta terlukiskan.
Di usia yang masih terbilang muda, usia dimana seorang remaja yang beranjak dewasa, mulai meniti kariernya, meniti hidupnya dengan mandiri. Usia dimana banyak kalangan muda yang seusianya mulai serius dengan apa yang mereka kerjakan dan membuat cerita mereka sendiri. Tidak jarang ada yang langsung mencari kerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan setelah lulus, ada yang meniti bisnisnya mulai dari nol, ada pula yang melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Semua itu mereka lakukan untuk kepentingan mereka masing-masing kedepannya, bagaimana ingin membentuk diri masing-masing menjadi seorang yang mereka inginkan dan tentunya tak lupa untuk membahagiakan orang tua yang telah susah payah menyekolahkan mereka sejak kecil. Mungkin ceritaku tidak sama dengan mereka. Lebih tepatnya, sangat berbeda.
Ketika kebimbangan mulai mendatangiku kembali, teringat sebuah nasihat dari dosenku yang menjadi penghubung antara diriku dan dirinya. Kami memang tidak pernah berhubungan secara langsung ataupun tidak langsung. Kala itu memang Ia tidak bisa mengajar dan digantikan oleh pemuda tersebut. “Ketika kamu bimbang, istikhorohlah. Ibu juga mengingatkan beliau untuk terus beristikhoroh. Dengan begitu, Allah yang akan menuntun kalian berdua dan kamu akan segera menemukan jawaban dari-Nya.” Hadist Bukhari menyebutkan, “jika ada salah seorang di antara kalian memiliki niat dalam suatu urusan maka lakukanlah sholat sunnah sebanyak dua rakaat yang bukan termasuk dalam sholat wajib kemudian berdoalah kepada Allah SWT.”
Setelah beberapa kali sholat istikhoroh, Allah memberikan beberapa petunjuk yang seolah-olah mendukung dan memperlancar jalan kami untuk semakin Ia dekatkan. Dengan kesan baik yang keluarga intiku perlihatkan padaku karena melihat kesungguhan pemuda tersebut serta perilakunya yang tak banyak tingkah, dan agamanya yang baik, maka Aku melihat itu adalah sebuah tanda baik yang Allah berikan. Walau hanya bermodal motor honda bebek tua dengan menempuh jalan yang cukup jauh dari rumahnya dan rumahku, keluargaku samasekali tidak mempermasalahkannya karena kami tidak melihat seseorang dari hartanya namun hati, agama maupun akhlaknya. Pemuda tersebut menyetujui untuk menungguku sampai selesai menyelesaikan studi kuliah yang ku tempuh. Bahkan penghubung kami sempat membuat beberapa pertemuan denganku untuk membicarakan niat pemuda tersebut ke arah yang lebih serius yaitu khitbah/pinangan.
Aku benar-benar tidak mengira akan berjalan secepat ini, sejauh ini dan seserius ini. Di kalangan anak muda yang biasanya masih berpegangan tangan dengan kekasihnya yang berstatus belum halal serta budaya pacaran yang dianggap sebagai hal biasa, sementara diriku tiba-tiba ingin berganti status menjadi seorang istri dalam waktu yang singkat. Namun, setelah mengetahui hadis-hadis yang berkaitan dengan pernikahan, Aku mulai memahaminya dan berusaha menguatkan keputusanku.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga orang yang akan mendapatkan pertolongan Allah: (1) orang yang berjihad di jalan Allah, (2) orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya, (3) budak mukatab yang ingin membebaskan dirinya.” (HR. An-Nasa’i, no. 3218; Tirmidzi, no. 1655; Ibnu Majah, no. 2518. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah saw., pernah bersabda: “Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022).
Perjalanan kami memanglah tidak mudah. Banyak gangguan kerikil-kerikil kecil yang melanda kami. Salah satu gangguan yang mempengaruhi keputusanku yaitu perbedaan pendapat dari keluarga Ibuku yang mempertanyakan beberapa pertanyaan yang menyudutiku. Sudah tak terhitung berapa banyak tangisan air mata yang telah jatuh menyentuh pipiku dan membuat goyah keteguhan hatiku. Dan entah berapa kali ku mencoba menguatkan diri ini. Beberapa dari mereka bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan nanti jika sudah menjadi istri?”, “Apa kamu tidak mau melanjutkan kuliahmu atau mencari kerja? Kerja dulu saja, nanti susah kalau sudah punya anak.” Namun dengan beberapa petunjuk istikhoroh yang sudah kulakukan, serta orangtuaku yang mendukung kami, maka keputusanku sudah bulat. Aku yakin Allah bersamaku. Keyakinanku dan keyakinannya berujung pada waktu dan tempat dimana pemuda tersebut membacakan hafalan Q.S Ar-Rahman yang menjadi salah satu mahar yang kupinta dihadapan Allah SWT. Saat itu juga, untuk pertama kalinya kami bersentuhan tangan, dengan tanganku mencium tangannya setelah satu tahun lamanya kami melewati masa-masa penantian dan perbaikan diri. Seperti berbuka puasa dalam waktu yang lama, memang terasa menahan rasa sakitnya perut yang kosong, namun Allah menjanjikan nikmat-Nya yang kita rasakan ketika kita berbuka puasa bukan?
Warna-warni pernikahan kami dimulai. Pernikahan bukan semata-mata dunia fantasi ataupun cerita dongeng pangeran dan putri yang selamanya bahagia. Namun walaupun duka dan rintangan dalam rumah tangga selalu saja ada, itu hanyalah bumbu-bumbu kecil yang Allah berikan pada kita. Terbayang kan jika makanan tidak ada bumbu sama sekali? Pasti rasanya hambar. Maha Adilnya Allah yang menjanjikan setelah kesulitan pasti ada kemudahan, dan Ia tidak mungkin menguji hamba-Nya melewati batasnya. Maka pewarnaan dalam rumah tangga dirasa nikmat jika kita bisa belajar untuk sabar dan menerima apa adanya pasangan kita dan mempelajari setiap pelajaran masalah demi kebaikan selanjutnya.
Ujian-ujian yang Allah datangkan padaku dimulai ketika pemuda yang kini menjadi suamiku menemukan bahwa ada tanda-tanda kehamilan pada diriku. Dan memang benarlah Allah telah mempercayakan dan menitipkan sebuah janin pada rahimku tidak lama setelah kami menikah. Hatiku seperti ingin melompat kegirangan begitu pula suamiku. Di saat yang bersamaan pula, pertanyaan-pertanyaan dalam diriku bertanya “Apakah Aku sudah siap menjadi seorang Ibu? Bagaimana Aku bisa mendidik anakku kelak di usia yang semuda ini. Bagaimana kata orang nanti.” . Dan hal yang serupa pun terjadi berulang. Komentar-komentar pun bergelimpangan. Pernyataan yang menyakitkan yang pernah ku dengar salah satunya seperti, “Usia 21 tahun kok sudah hamil? Harusnya kuliah saja lagi, belajar lagi.”, “Emang mau jadi emak-emak dia.”, “Wah, kamu jadi ibu rumah tangga sekarang ya.”, “Entah apa yang anakmu lakukan, kegiatannya apa saja sekarang selama sudah menikah? Kita kan harus terus mengasah otak, jika tidak lama-lama bisa pikun.”. Kata-kata itu terlontar oleh mereka, disengaja maupun tidak disengaja terdengar olehku. Amarah yang telah terpendam lama dalam diriku akhirnya muncul seperti panci yang berisi air panas yang ingin meledak karena telah lama tertutup sehingga terlontarlah kata-kata dalam hatiku “Memangnya ada apa dengan emak-emak? Ada apa dengan ibu rumah tangga? Apa ibu rumah tangga tidak bisa berkarya? Serendah itukah mereka mengaggap keberadaanku yang memilih jalan ini? Toh semua wanita tentunya akan menjadi calon Ibu yang mengandung dan membesarkan anak.”. Mungkin bagi mereka biasa saja, bagiku? Seperti seseorang yang sangat bahagia baru mendapat hadiah besar tiba-tiba saja hadiah itu dicaci maki oleh orang-orang yang tidak disangkanya,
Di kala perih hati melanjutkan hari-hari dengan omongan-omongan yang sangat menggangguku, Aku sangat bersyukur dipertemukan dengan suamiku yang penuh kasih sayang dan memberikan perhatiannya padaku. Tentunya Ia mengetahui kejadian-kejadian pilu ini karena memang kami masih tinggal satu atap dengan nenekku. Sehingga tidak heran jika ada saja komentar yang datang silih berganti. “Sayang, tak usah sedih. Air matamu terlalu mahal untuk mereka. Mungkin mereka memang belum mengerti. Sabar sayang, pekerjaan yang paling mulia dan jihad seorang wanita adalah melayani suaminya, terlebih mendidik anak-anaknya menjadi anak yang saleh/salehah. Sejak awal kita bertemu, Aku melihat sosok seorang wanita yang lebih dewasa dari orang-orang seumurannya. Dan ternyata benar, kamu menghadapi masalah ini dengan berlapang dada. Anugerah terbesar yang Allah telah kasih pada kita adalah janin yang sekarang ada di rahimmu sayang. Maka jangan pedulikan kata-kata negatif mereka. Aku yakin kamu akan menjadi Ibu yang luarbiasa.”
Setiap diriku mengingat hal pilu tersebut, Aku ingatkan diriku kembali pada kata-kata suamiku. Walaupun mereka menganggap rendah diriku dengan keputusanku saat ini, suamiku benar-benar melihatku apa adanya dan selalu melihat kelebihanku sehingga perlahan kepercayaan diriku mulai terbentuk kembali. Hingga pada bulan suci Ramdahan, Allah telah mempertemukanku dengan dua orang yang membuat mata hatiku terbuka.
Sore menjelang maghrib, Aku berada dalam salon muslimah. Pertama kalinya diriku memanjakan diri ke salon karena suamiku yang ingin menyenangkan diriku saat hari ulang tahunku. Saat itu, seorang wanita muda yang melayaniku tengah mengajakku berbicara. Aku pun tak menyangka jika ternyata wanita tersebut telah menikah dan mempunyai seorang anak. Ternyata umurnya hanya berbeda satu tahun lebih muda dariku. Ia menceritakan tentang anaknya yang telah berumur sekitar tiga bulan. Aku pun berusaha menangkap hikmah dan hidayah-Nya pada saat itu. Dan perjalanan penangkapan hikmah dan hidayah-Nya berlanjut ketika suamiku mengajakku sholat isya dan tarawih di masjid.
Pada suatu malam di bulan suci Ramadhan, ketika kami tengah selesai berbuka puasa diluar dan lanjut ingin menunaikan ibadah sholat isya serta tarawih di masjid yang kami temukan di jalan, seorang Ibu yang sangat baik hati telah Allah dudukkan tepat disampingku. Di tengah rintik hujan dan ketenagan malam, hanya saf paling belakang yang kutemukan kosong di sebelah Ibu tersebut. Aku pun mengikuti imam shalat isya di rakaat ke-2. Setelah selesai, Ibu yang baik hati itu berkata, “Nak, ambil saja sajadah dibelakang untuk menutupi keramik yang terlihat itu.” dengan penuh perhatian beliau menunjukkan jarinya kearah keramik yang kududuki tanpa sajadah tersebut. Aku pun mengambil dan meletakkan sajadah diatas keramik tersebut dengan menolak terlebih dahulu namun Ibu itu memaksa.
Imam masjid masih melakukan ceramah antara Isya dan tarawih. Ibu tersebut kembali menoleh kearahku. Selanjutnya kami berdialog diantara jeda doa tarawih.
“Kamu darimana nak? Lewat saja apa memang tinggal dekat sini?”
“Saya lewat saja Bu, bukan tinggal di daerah sini.”
Ibu itu melontarkan beberapa pertanyaan kepadaku. Seolah Allah ingin membuka mata hatiku untuk menerima hikmah dan hidayah-Nya saat itu juga ketika Ibu tersebut menanyakan pertanyaan dan menceritakan kisah anaknya padaku.
“Kamu sudah menikah?”
“Sudah Bu. Kami baru menikah Desember tahun lalu.”
“Usiamu berapa nak?”
“Masih muda Bu, hehe. Saya masih 21 tahun.”
“Muda banget ya.. Saya punya anak dua. Dua-duanya perempuan. Yang paling besar umur 24. Tahun depan umur 25. Dia mau ambil s2 rencananya tahun ini. Tapi belum menikah.. Dia bilang targetnya sih tahun depan mau nikah. Kasihan anak saya sudah beberapakali pacaran tapi kurang cocok. Saya dan anak saya juga melihat kebanyakan mereka berlagak sombong seperti orang punya. Padahal keluarga saya hanya lulusan PNS, bagaimana nanti kalua kami dihina? Memangnya kamu sudah berapa lama pacaran sama suamimu dulu? Kenal dimana?”
“Oh… Saya tidak pacaran Bu, kami ta’aruf. Waktu itu beliau menggantikan dosen saya yang tidak masuk, Hanya melihat Saya sekali saja bu, langsung mau serius dengan Saya lewat perantara yaitu dosen saya sendiri.”
“Oh…. Anak saya juga sebenarnya sudah capek pacaran. Dia bilang mau ta’aruf aja. Emangnya gimana nak ta’aruf itu?”
“Maa Syaa Allah.. Sudah benar anak Ibu. Kasihan anak Ibu kalau pacaran. Nanti tidak ada kepastian dari laki-lakinya. Ta’aruf itu bisa Ibu minta tolong Ustadz untuk carikan yang cocok sama anak Ibu. Nanti bisa lewat CV, ditulis biodata misal sifat, pendidikan dan lain-lain. Kalau serius, laki-laki tersebut nanti bisa datang ke rumah Ibu dan memberitahu maksud tujuannya ke Bapak/Ibu.”
“Iya nak ya.. yang penting ahklak dan sifat ya. Oh begitu ya nak.. Makasih ya nak.. “.
Karena tarawih tersebut 23 rakaat dan perjalanan yang akan ditempuh panjang, maka Aku pun pamit pada Ibu tersebut sambil berkata, “Semoga anak Ibu akan segera mendapatkan jodoh yang terbaik dan saleh dari Allah ya Bu..”. Ibu tersebut melontarkan senyumannya sambil membalas perkataanku, “Terimakasih ya nak, Aamiin.. hati-hati nak..”.
Sejak saat itu, Aku pun tersadar. Bahwa tidak mengapa menikah muda. Bahkan mungkin banyak yang telah mempunyai anak ketika usianya masih muda seperti wanita yang melayaniku di salon tempo hari. Selama untuk meniatkan karena ibadah, karena ingin menyucikan diri, menyempurnakan setengah tiang agama, walaupun belum siap finansial tapi percayalah pada rezeki-Nya yang telah ditetapkan. Walaupun telah menjadi istri dan calon ibu di usia yang masih muda ini, tidak ada salahnya untuk terus berkarya. Ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan yang tidak terpandang. Dari seorang Ibulah lahir generasi anak-anak bangsa yang cerdas, saleh/salehah nan mulia. Semua perlu dukungan antar pasangan masing-masing. Dan untuk setiap ujian yang mendera, sekali lagi kuteguhkan niatku, ku usap air mataku, ku lihat dukungan orang sekitarku yang masih menyayangiku dan tentunya selalu mempercayai bahwa Allah akan selalu ada bersamaku kapanpun dan dimanapun.