Arti Sebuah Keikhlasan

Keikhlasan. Sebuah kata yang bermakna besar bagiku. Hari ini, aku belajar lebih banyak tentang keikhlasan. Aku menjadi wali nikah dari orang yang pernah mengisi hatiku ini. Aku bangga karena telah menjadi bagian dari salah satu memori terindahnya. Begini cerita lengkapnya.

Cerita ini berawal dari saat aku berusia 17 tahun. Dia dan aku berada dikelas yang sama, XI IPA. Ada sebuah lomba yang diadakan oleh OSIS disekolahku. Lomba itu adalah lomba Cerpen. Aku mengikuti lomba itu. Dan, meskipun aku tidak menang, namun itulah awal dari semua cerita yang aku buat selama ini.

Sejak saat itu, aku sering menulis. Bahkan, sekarang pun, itulah hobiku. Saat semester 2, aku masih kelas XI saat itu, teman-temanku sering menjodohkanku dengan si Dia. Pada awalnya, aku hanya menganggap itu hal biasa.

Tapi, seiring berjalannya waktu, rasa itu mulai tumbuh. Entah kenapa, semakin hari, rasa itu semakin bertambah besar. Rasa itu adalah rasa cinta yang menggebu-gebu di dalam dada ini. Aku belum pernah merasakan hal yang seperti itu sebelumnya. Mungkin aku pernah menyukai seseorang.

Namun, ini benar-benar berbeda. Rasa ini tetap bertahan, bahkan ketika aku lulus dari sekolahku pun, rasa itu tetap ada dihati ini. Jika biasanya rasa suka hanya bertahan selama beberapa hari atau minggu saja, berbeda dengan cinta yang bisa bertahan hampir di seumur hidupnya.

Dan kurasa aku mengalami itu. Sayangnya, rasa itu tidak berbalas. Ketika aku mengatakan rasa itu kepadanya, dia justru marah-marah kepadaku. Dia membenciku. Percayalah. Itu benar-benar sakit. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang retak dan hancur didalam hati ini.

Aku ini laki-laki. Meskipun hatiku sakit, tidak akan ku biarkan seorang pun tahu isi hatiku. Percuma saja memberitahukan pada orang lain. Bukannya menyembuhkan, justru membuatnya lebih parah. Karena itu, aku tetap diam, meskipun batin ini sudah tidak kuat lagi menahan beban sebesar itu.

Ketika kelulusan tiba, semua perempuan dikelas kami menangis terharu. Mereka seolah-olah tidak rela jika harus berpisah dengan sahabatnya. Sedangkan kami para laki-laki justru tampak bergembira. Dari mereka, aku belajar tentang bagaimana makna persahabatan yang sesungguhnya.

Tidak terasa, sudah 10 tahun berlalu semenjak kejadian itu. Kini, aku sudah berusia 27 tahun. Aku sudah menyelesaikan kuliahku dan bekerja menjadi wali nikah di kantor KUA kotaku. Sama seperti orang yang baru saja bekerja, aku juga mengalami rasa gugup. Tugas pertamaku adalah menjadi wali nikah dari pasangan yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan tempatku bekerja.

Ketika aku melihat biodata keduanya, aku mengenali calon istrinya. Dari nama dan fotonya, aku tahu dia adalah teman lamaku. Akupun bergegas menelpon Dia. Dan itu sebenarnya adalah pertama kalinya aku menghubungi Dia dari sejak SMA sampai sekarang.

Dari Dia yang nun jauh disana, hanya suara yang menghubungkan kami berdua. Dia ternyata tidak pernah berubah. Tetap dengan suara imutnya yang begitu indah di telingaku. Dengan hanya mendengar suaranya saja, rasa itu pun kembali tumbuh. Aku memilih untuk tidak berbasa-basi.

Aku bertanya kepadanya, apakah benar Dia akan menikah? Dengan suara indahnya Dia menjawab, benar, dengan identitas calonnya yang masih dirahasiakan. Aku pun berpura-pura menebak siapa pasangannya itu, meskipun sebenarnya aku sudah tahu. Dia agak terkejut bagaimana aku bisa tahu siapa pasangannya.

Aku lalu berkata bahwa akulah yang akan menjadi wali nikah baginya. Dia terkejut! Tapi, dibalik keterkejutannya itu, Dia juga merasakan kebahagiaan. Karena Dia tahu dan begitu mengenal siapa aku. Diapun mengizinkanku untuk menjadi wali nikahnya. Kukira, Dia akan menolakku. Tapi ternyata tidak. Meskipun dulu aku pernah menyakiti hatinya, tapi Dia telah memaafkanku.

Dalam hati, aku merasa sangat bergembira. Belum pernah dalam hidupku, aku mendapat kegembiraan seperti ini. Semangat hidupku seolah-olah kembali lagi. Tanpa kusadari, aku sontak melakukan sujud syukur didalam ruangan kantor. Dan itu terjadi saat suasana sedang ramainya. Mereka tampak heran dan bingung saat itu. Aku tidak peduli.

Beberapa hari kemudian, dihari minggu, tepat tanggal 10 Muharram dalam kalender hijriah, hari yang membahagiakan itu pun datang. Semua orang nampak senang dan bahagia. Aku bahkan rela datang lebih awal saat acara masih belum berlangsung. Jadwal akad nikahnya akan dilangsungkan jam 8 pagi. Aku datang jam 5 pagi kerumahnya.

Tempat pelaksanaanya di rumah mempelai wanita. Jujur saja, rasa bahagia, haru, gugup, dan lainnya bercampur aduk didalam diriku. Semua dekorasi sudah disiapkan sejak sehari sebelumnya. Mempelai wanita sedang dirias. Kalian tahu berapa waktu yang dibutuhkan untuk meriasnya, kan?

Ketika itu, Dia memperbolehkanku untuk masuk kedalam ruang riasnya. Hanya aku dan Dia saja yang berada diruangan itu. Kecantikannya tidak berubah. Dia tetap saja sama seperti 10 tahun yang lalu. Menurutnya aku tampak keren dengan mengenakan jas dan celana hitam itu. Tidak lupa, dia juga mengomentari peci hitamku itu.

Aku balas komentari dia. Menurutku, riasan yang dia pakai terlalu tebal. Kalau untuk resepsi, wajar-wajar saja sebenarnya. Tapi ini baru acara akad nikah. Seharusnya dia berias seperlunya saja. Tidak usah terlalu tebal. Dia nampak sudah cukup anggun dan cantik dengan jubah pengantin putihnya itu.

Pembicaraan kami terus berlanjut. Tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Para tamu mulai berdatangan. Aku dan Dia pun memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan kami. Aku lalu keluar dari ruangannya.

Saat aku keluar, aku kembali bertemu dengan teman-teman lamaku. Mereka banyak bercerita tentang kesuksesan dan pengalaman yang telah mereka lalui selama ini. Suasananya sudah seperti acara reunian bagi kami.

Salah satu anggota keluarga lalu memberitahuku, bahwa acara bisa dimulai sekarang. Aku pun izin pamit pada mereka. Para tamu dan mempelai pria sudah siap sejak tadi. Aku lalu duduk di tempat yang telah disediakan. Sebuah meja berisi dokumen pernikahan berada tepat didepanku kini.

Aku pun memulai acara dengan mengucapkan salam pembuka. Lalu aku memegang tangan mempelai pria untuk memulai acara akad nikahnya. Dari getaran ditangannya, aku tahu dia masih merasa gugup. Ini memang momen sekali seumur hidup dan menentukan kisah hidupmu berikutnya.

Aku lalu mengucapkan akad nikahnya terlebih dahulu, barulah dia mengatakannya setelahku.

“Dengan ini, saya nikahkan kamu dengan N.M. binti H.S. dengan maskawin seperangkat alat shalat, dibayar tunai.” Kataku kepadanya.

“Saya terima nikahnya, N.M. binti H.S., dengan maskawin tersebut, dibayar tunai!”

“Bagaimana saksi, sah?”

“SAAHHH!” Serempak hampir semua tamu mengucapkan kata itu.

“Alhamdulillah.” Aku pun berkata sambil mengusap wajahku.

Acara dilanjutkan dengan Khotbah Nikah dan Doa Penutup. Dengan begitu, acara ini pun selesai dilaksanakan dengan lancar dan baik. Semua orang, baik tamu undangan, keluarga kedua mempelai, mempelai wanita dan pria, bahkan juga aku sendiri. Kami semua merasakan kebahagiaan yang sama.

Mungkin inilah yang dinamakan “Keikhlasan Berbuah Kebahagiaan”. Untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan kebahagiaan yang sejati. Sudah banyak hal yang telah aku lalui, namun menurutku, tidak ada yang lebih membahagiakan dari ini. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang luar biasa. Sahabat-sahabatnya mengucapkan selamat kepadanya.

Jam 12 siang, acara berakhir. Resepsi akan dilangsungkan dirumah mempelai pria, 1 bulan lagi. Wedding Organizer sudah mulai merapikan semua dekorasi dan perlengkapan yang ada. Sedangkan Dia sedang beristirahat tadi. Mempelai pria masih tetap berada disana. Dia sedang berbicara dengan keluarga pasangannya.

Aku lalu minta izin kepadanya untuk menyita waktunya sebentar. Setelah dia mengizinkanku, aku membawanya ke ruang tempat si Dia istirahat. Dia masih berbaring diranjangnya. Dia tertidur dengan lelap. Nampaknya dia sangat kelelahan. Aku lalu berkata kepadanya.

“Sobat, tolong jaga dia. Jujur saja, aku pernah menyakiti hatinya satu kali. Aku melihat dia sangat menderita. Meskipun dia tidak menunjukkannya kepada orang lain, dari sorot matanya, ada sesuatu yang dia tahan. Aku tidak tega melihat dia seperti itu. Jangan pernah coba-coba sakiti hati dia lagi. Biar aku saja yang menanggung dosa yang telah ku perbuat kepadanya, kau tidak perlu.”

“Dan ingatlah, aku sudah menikahkanmu dengannya. Pernikahan adalah salah satu amanat dari Tuhan untuk manusia. Jagalah baik-baik amanah itu. Kau paham, kan?”

Orang itupun mengangguk, pertanda dia siap melakukannya. Setelah itu, aku pergi ke masjid yang tidak terlalu jauh dari lokasi akad nikah tadi. Azan Zuhur sudah berkumandang sejak tadi. Setelah berwudhu, aku melaksanakan Shalat Tahiyat Masjid dan Rawatib Zuhur sebentar. Tak lama setelah aku selesai shalat sunah, iqamah dikumandangkan oleh muazin. Akupun bersama jamaah yang lainnya pun menunaikan ibadah Shalat Fardhu Zhuhur.

Setelah selesai shalat, aku pun berdoa kepada Allah.

“Ya Allah. Engkau telah memilih hamba untuk menyatukan dua insan yang berbeda dalam satu ikatan. Limpahkanlah nikmat, rahmat, rezeki, dan ridha-Mu kepada mereka. Karena kebahagiaan hamba berada pada diri mereka.”

“Ya Allah. Luruskanlah niatku. Ikhlaskan hati hamba-Mu ini. Berikanlah kebahagiaan pada diri kami. Janganlah Kau beri cobaan yang memberatkan pada kami. Kami, para hamba-Mu yang lemah ini memohon ampunan dan rahmat-Mu, ya Allah.”

“Amin, ya rabbal alamin.”
XXX


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *