Manusia, diciptakan oleh Allah dengan berbagai cobaan dan tantangan hidup di dunia. Namun dibalik itu semua, akan ada hikmah yang terselip diantaranya. Allah pun juga akan senantiasa membimbing mereka dengan firman-Nya. Ini adalah kisah singkat ku tentang pertolongan Allah akan masalah yang dihadapi manusia. Semoga ini bermanfaat bagi kita semua.
Entah, berapa kali aku mendengar kata, bahwa manusia hanya bisa berencana. Aku yakin bahwa semua orang sadar, hafal dan mengerti akan hal itu. Namun seringkali kita mengabaikannya, karena merasa bahwa diri telah memiliki segalanya. Ya, itu manusiawi. Tapi ingat, hal itu benar-benar terjadi!.
Seperti Beberapa hari lalu. Aku dan ibu bangun lebih awal untuk menyiapkan makan sahur. Tak seperti biasanya, beliau terlihat lemas dan tak bersemangat. Kami berdua hanya diam selama menyisakan makanan itu, bahkan kediaman itu berlanjut hingga sahur. Entah sudah direncanakan atau apa, tapi ayahku pun hanya diam saat itu, tanpa sepatah kata. Dibawah lampu yang meredup dan angin bertiup kencang, dingin dan diam menghantam keluarga kecil kami.
Matahari mulai menyapa saat aku keluar rumah. Kurang lebih pukul 5 pagi. Aku mengambil sapu dan mulai membersihkan halaman. Disana, pada kursi di bawah pohon mangga depan rumahku, kulihat malaikat tak bersayap yang telah melahirkanku sedang melamun. Matanya memperhatikan satu persatu dedaunan yang tengah bergoyang karena alunan angin dan suara merdu burung-burung. Aku menghampirinya setelah selesai menyapu. “Ada apa Buk, kok melamun terus dari tadi?.” Tanyaku sambil memegang pundaknya. Kini pandangannya tertuju padaku. “Ah, engga.” Singkat, jawabnya sambil tersenyum padaku. Saat itu aku sangat yakin bahwa dibalik diamnya ibu, terdapat hal atau mungkin masalah yang beliau sembunyikan dariku. “Ayo masuk.” Ajaknya yang ku balas Dengan senyum meng-iyakan.
Sore hari menjelang. Seperti biasanya aku duduk di kamar dan membaca buku sambil duduk di sudut favoritku. “Nduk!” Tanyanya sambil membuka pintu. “Eh Iya buk?,” Beliau duduk di depanku. Menarik nafas beberapa kali sembari melihat wajahku dalam. Hingga tiba saatnya beliau berbicara. “Nduk, kamu tahu kan kalau sebentar lagi adikmu mau masuk SMP, kamu pasti juga tahu biayanya tak sedikit. Bapak lagi ngga punya uang, kebutuhan mau lebaran kan banyak juga.” Saat mendengarnya aku sudah menangkap sinyal-sinyal itu. Dan bom besarpun dijatuhkan, “Bagaimana kalau tahun ini kamu ngga beli baju dulu?.” Rambutku diusap olehnya. Aku tahu seandainya kepingan hati bisa dilihat. Niscaya beliau aku memungut kepingan hatiku yang hancur saat itu. Aku hanya diam selama beberapa saat, disusul bulir bening yang mulai luruh dan desiran perih hati seorang ibu. “Lho?.” Sahutku lirih kemudian. Cukup, satu kata itu dan ibuku sudah tahu bahwa hati putrinya kini tengah kecewa. Beliau pergi dan menutup pelan pintu kamarku.
Ya, mungkin terlihat sangat sepele. Dan aku terlihat sangat egois. Tapi, kekecewaan itu tak bisa aku sembunyikan. Tahun kemarin tak ada baju baru untukku. Dan bajuku dua tahun lalu sudah usang dan amat kecil, bisa dibilang sudah tak lagi muat. Tahun ini, aku punya harapan besar tentang sebuah baju baru, agar hari rayaku tak lagi sekosong tahun lalu. Namun pertanyaan ibuku, akankah itu menghancurkan semuanya?. Buku aku tutup. Merangkak ke atas kasur, dibalik selimut aku menangis sejadi-jadinya.
Keesokan harinya pukul 14.00 WIB. Saat aku dan adik tengah menonton TV. Pada salah satu Chanel TV swasta, aku melihat acara tentang para hafidz cilik yang berlomba hafalan Al-Quran. Subhanallah… Begitu merdu suara mereka. Begitu kuat ingatan mereka. Dan satu hal yang membuatku takjub, adalah ketaatan mereka pada orang tua diatas segalanya. Lalu aku?. Aku hanya seorang anak yang menjadi benalu nyata semata. Pada segmen akhir acara, oleh seorang anak dibacakanlah surah Ar-Ra’d ayat 22. Suara anak itu begitu merdu. Halus mengalun bersama burai air mata para pemirsa. Karena begitu penasaran akan artinya, lalu aku buka Al-Quran terjemah. Arti dari surah Ar-Ra’d ayat 22 tersebut adalah “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)“. Aku mulai menitihkan air mata. Ya Allah inilah jawabannya, dan hambaMu yang hina ini merasa berdosa.
Ini adalah bulan Ramadhan al-Karim. Seharusnya aku berbuat baik dan selalu ikhlas serta sabar menghadapi ujian. Namun justru, aku telah mengecewakan ibuku dengan menolak pertanyaannya hanya karena sebuah baju baru. Rezeki ada di tangan Allah. Dan kini Allah tengah menguji iman kami dengan rezeki itu. Air mataku terus mengalir. Ku peluk Al-Quran itu erat-erat. Ya Allah… Ampunilah hambaMu.
Aku berjalan menuju dapur dengan sembab dimataku. Kulihat lagi malaikat tak bersayap itu, tanpa pernah pamrih beliau selalu mempersiapkan segala sesuatu untukku. Hanya satu yang beliau minta, yaitu kesabaran ku. Dan aku menolaknya?, Betapa kotor diriku ini. Aku segera menghampirinya, “Buk.” Panggilnya lirih. Beliau menoleh dan aku mulai berbicara. “Buk, ngga papa kok kalau tahun ini aku ngga beli baju lagi, bajuku dua tahun lalu masih muat kok, masih bagus.” Beliau tersenyum lebar, seolah satu masalah yang menghantam bahunya telah terangkat. Senyum itu, senyum yang merekah dengan indahnya, hingga baju barupun tak sanggup menggantikannya. Diusapnya rambutku pelan, namun kali ini dengan raut kebahagiaan.
Aku rasa ini adalah hakikat sesungguhnya dari ‘Kemenangan Bulan Ramadhan’. Bukanlah kemewahan, bukanlah pakaian atau makanan. Melainkan kesabaran dalam kesederhanaan. Kini aku sadar, bahwa kita adalah manusia yang hanya bisa berencana dan Allah yang menentukannya. Tapi percayalah, bahwa rencana Allah adalah sebaik-baik rencana untuk manusia.