Aku Panutan Adikku

Siang itu udara Kota Semarang tidak terlalu panas. Angin berhembus pelan menggoyang dedaunan. Mendung tipis berarak sejajar membentuk lukisan alami keindahan ciptaan Tuhan. Puas menghirup udara di depan rumah, aku kembali masuk ke ruang kerja.

Oh iya, namaku Tomy. Seorang penulis lepas untuk beberapa media online. Tak ada yang istimewa dari pekerjaanku. Setiap hari didepan komputer hanya untuk menulis sebaris, dua baris berita. Namun aku menikmati pekerjaan itu.

Hari itu aku tidak keluar untuk berburu berita seperti yang biasa aku lakukan. Aku sedang malas untuk kemana-mana. Penat sisa perburuan kemarin masih cukup terasa di tulang-tulangku yang makin tua. Usiaku saat ini 35 tahun. Mungkin tidak terlalu tua, namun yang jelas kondisiku sudah tidak seperti jaman usia belasan.

Hari itu aku memutuskan untuk menulis saja di rumah. Sambil menunggu kedatangan anak semata wayangku pulang sekolah. Tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan betapa aku mencintai anakku satu-satunya itu.

Baris demi baris, lembar demi lembar halaman sudah aku selesaikan. Tapi si Alik (panggilanku untuk anak semata wayangku) tidak kunjung nampak. Biasanya jam 11 siang dia sudah sampai dirumah dan mulai berebut laptop denganku. Tapi ini sepi saja tiada jeritan kecil tanda pergulatan kami berebut perkakas kotak dengan layar menyala didepannya.

Semangatku menulis mulai mengendur. Konsentrasiku berpaling pada pintu kayu yang terbuka, memisahkan antara ruang tengah dengan ruang kerjaku. Tak kurang dari 5 kali dalam 10 menit ini aku melirik pintu bergagang mengkilat, menerobos ruang tengah tempat biasanya si hidung pesek kesayanganku lewat.

“Kemana dia?” gumamku dalam hati. Helaan nafasku cukup dalam, sedalam harapanku pada kedatangan bocah cilik yang selama ini meramaikan rumah kecilku. Aku sandarkan kepalaku di meja kerja, tempat laptop jadul selalu bertengger. Aku pejamkan mataku rapat-rapat untuk menghilangkan sedikit kepedihan yang mendera setelah berjam-jam menatap  monitor laptop.

“Dug…dug…dug” suara langkah kaki beradu lantai keramik. Aku terkaget dan segera menengok kearah sumber suara. “Eh…eh… kok nyelonong aja?” cetusku menghentikan langkah kaki itu. “He…he… Assalamualaikum…” bocah mungil itu menyeringai dan menghampiriku untuk bersalaman.

“Nanti pinjam laptopnya ya, Bapak” kata Alik sambil menyandarkan tubuhnya manja ke kursi yang aku duduki. “Eit, ngga bisa. Harus melewati 3 pertanyaan dari penjaga laptop dulu, hahaha” jawabku berlagak seperti seorang penjaga benda pusaka yang tidak mudah untuk dilewati.

“Ah… Bapak, ngga seru” katanya kecewa. “Loh kalau mau sesuatu, berusaha dong, Intan payung..” ungkapku menggoda bocah kecil itu dengan sebutan seperti karakter Ehsan di tayangan “Ipin Upin”. “Bapak itu to intan payung” sanggahnya tidak terima. “Tapi pertanyaannya jangan susah-susah ya” pintanya memelas. “Ok, tapi sebelumnya Alik ganti baju dulu” tegasku menerima permintaan bocah berambut lurus itu.

Dengan secepat kilat dia berangsur dari ruang kerja menuju kamarnya untuk berganti baju. Tidak berselang lama, bocah yang tadinya memakai baju sekolah lusuh karena keringat berganti dengan baju cerah dan berbau wangi. “Loh ngga mandi?” sergahku. “Kelamaan pak penjaga laptop” katanya beralasan. “Ayo sekarang kita mulai saja” lanjutnya dengan berlagak Power Ranger saat mengeluarkan jurusnya. “Oke…” Jawabku singkat.

“Seorang muslim sehari harus melakukan sholat sebanyak berapa kali?” aku memulai pertarungan dengan bocah kesayanganku itu untuk memperebutkan hak sementara memakai laptop jadul. “Hehehe… itu gampang!” serunya mengagetkanku karena lengkingan suara khasnya. “5 kali” sebutnya mantap.

“Good… Selanjutnya, kapankah seorang muslim harus berpuasa sebulan penuh?” tanyaku kepada Alik yang sedari tadi tersenyum bangga karena dapat menjawab pertanyaanku. “Em… sebentar, biar saya berfikir dulu” jawabnya dengan logat melayu seperti Ipin Upin yang biasa ditontonnya melalui televisi. “Ah… saya tahu, saya tahu… Bulan puasa, kan?” jawabnya mantap.

“Salah, Bulan Ramadhan…” jawabku. “bulan Ramadhan kan buat puasa. Jadi sama saja” katanya berargumen. “Ya, tapi namanya bukan bulan puasa. Tp Bulan Ramadhan, Lik” balasku tidak terima. “Nah maksudku Bulan Ramadhan. Karena pada 1 bulan itu untuk puasa, bolehlah aku sebut bulan puasa. Orang-orang juga bilang bulan puasa” terangnya tak mau kalah. “Okelah…okelah. Tapi besok lagi harus sebut Bulan Ramadhan” kataku mengalah.

“Selanjutnya, pertanyaan terakhir. Jika orang tua adalah panutan anak, kakak adalah panutan bagi? Tanyaku sedikit bersayap. “Panutan… em…” jawabnya sedikit terhenti. Seperti ada keraguan di hati anak tunggalku ini. “panutan…a… adik, Bapak” jawabnya lirih sambil menatapku dalam.

Seketika itu keheningan cepat menyelimuti kami. Aku hanya tersenyum tipis menatap kebingungan yang sedang melandanya. Entah tatapannya menandakan paham maksudku, atau justru karena hening ketidakyakinan akan jawabannya. Dalam panjangnya keheningan kami, suara adzan Dhuhur berkumandang. Dan “hore… wes bedhug (sudah dhuhur- Bhs. Indonesia)” sontaknya ceria mendengar panggilan berbuka baginya yang masih berpuasa batas “dhuhur”.

Aku tertawa lebar melihat gaya manja dan cerianya. “Lik, seorang kakak harus bisa jadi panutan adiknya” kataku menghentikan teriakan girangnya. “Alik biasanya puasa “dhuhur”. Kalau Alik punya adik, kenapa tidak mulai berlatih puasa “ashar”?” kataku melanjutkan. “Tapi aku kan ngga punya adik?” tanyanya kepadaku. “Alik akan punya adik sebentar lagi” jawabku dengan mengangkatnya kepangkuanku. Dia menatapku kembali.

Aku ambil kertas foto USG istriku semalam. “Lihat ini. Ini foto adik masih di perut ibu. Dulu Alik juga sama di perut ibu, seperti adik” jelasku kepadanya. Diambilnya kertas itu dari tanganku. Ditatapnya kertas itu dalam-dalam. “Aku akan jadi panutan bagi adikku” katanya dengan nada pelan. “Alik akan puasa “ashar” dari sekarang, Bapak” ucapnya sambil melihatku.

Kami saling tersenyum. “Tapi sekarang, Alik mau sholat dhuhur dulu” katanya sambil merosot dari pangkuanku. “Eit, Sun (istilah untuk cium) sek to (Eit,cium dulu dong)” kataku menggodanya. “Ah, Bapak… “ jawabnya manja sambil menyambarku dengan ciumannya.

Oleh: Bastomi

Dari: Tembalang, Semarang

Bastomi


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *