AKU LEBIH BURUK

AKU LEBIH BURUK
Rosa Indah Dewantari

Jemariku mengetuk-ngetuk meja kayu yang ada di depan gadis itu, sedangkan ia sibuk dengan abu rokok yang berterbangan tertiup angin. Kami terlibat percakapan yang dingin, saling memaki namun tak saling mengerti. Bagaimana mau mengerti? Sudah satu jam kami duduk berhadapan dalam satu meja, namun tidak ada satu katapun yang terucap. Pertengkaran dalam hati mungkin cocok kusematkan pada situasi semacam ini. Sungguh, aku lebih senang melihatmu berbicara dengan cepat seraya berkedip lucu daripada hanya diam mengacuhkan seperti ini.
“Baik, bisa kamu jelaskan?” tanyaku akhirnya. Gadis itu menjentikkan puntung rokoknya, tepat ke arah tong sampah di seberang meja. Matanya masih menerawang kosong. Menembus jantungku yang masih berdetak menahan kecewa di hadapannya. Jauh dalam hati aku memaki-maki. Mengapa sendu matanya masih saja membuatku tak mampu berpaling, gelayut ujung kerudungnya tertiup angin bergoyang beberapa kali. Dia masih diam.
“Aku memintamu ke sini untuk memberi penjelasan kepadaku, jangan diam saja!” rutukku dalam kebimbangan. Dia menoleh sebentar dan mengambil satu batang rokok lagi untuk dihisapnya.
“Cukup! Aku pulang,” gertakku. Dia membanting batang rokok itu tepat di hadapanku. Aku terkesiap, gadis itu menangis.
***
Gadis periang yang selalu bersamaku itu sudah menjadi sahabat, bahkan kuanggap saudara sejak kami masih kecil. Selain rumah kami yang hanya berjarak beberapa meter saja, kedekatan di antara keluarga kami pun terjalin erat. Orang tuanya sering menitipkan gadis itu di rumah keluargaku, ketika mereka bekerja. Ya. Kedua orang tuanya adalah seorang yang menurutku sangat sibuk. Ibunya adalah seorang pebisnis yang sering bepergian ke luar kota bahkan luar negeri, sedangkan ayahnya adalah seorang dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit yang ada di kota kami. Meskipun mereka sibuk, namun mereka selalu menyempatkan untuk bermain dengan gadis itu dan bersilaturahmi dengan kami.
Kehidupan kami normal-normal saja. Dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan yang menjunjung tinggi agama dan moral, menjadikan kami remaja yang dekat dengan agama. Mengaji, sembahyang, puasa, telah kami lakukan sejak kecil. Kami pun aktif dalam berbagai organisasi keagamaan yang ada di daerah tempat tinggal kami. Gadis itu, dia adalah sosok gadis yang periang dan mudah akrab dengan orang lain. Selain itu, dia juga seorang yang mempunyai banyak sekali ide-ide yang bahkan tidak terlintas dalam pikiran teman-temannya. Hal inilah yang membuatnya diterima sehingga ia mempunyai teman yang sangat banyak. Berbeda denganku yang cenderung pemalu dan hanya diam ketika tidak ada yang mengajak berbicara.
Gadis itu mempunyai suara yang merdu. Beberapa kali mengikuti perlombaan Musabaqah Tilawatil Qur’an, gelar juara selalu disandangnya. Tutur katanya yang lemah lembut serta keta’dziman yang selalu dia tunjukkan, benar-benar membuatnya menjadi sosok gadis yang sempurna. Di usia kami yang kini telah beranjak remaja, rasa kekagumanku padanya perlahan berubah menjadi rasa ingin memiliki dan menjaganya. Dalam koridor Islam tentunya. Maka sebisa mungkin aku pun tetap dalam batas-batas kewajaran ketika bersamanya.
Gadis yang sangat santun, begitu penilaianku kepadanya selama ini. Hingga di suatu malam, sekitar pukul sebelas, aku melihat seorang perempuan yang sedang berkumpul bersama beberapa temannya. Di sebuah kedai kopi, yang aku tahu di sana selalu menjadi tempat favorit untuk nongkrong anak-anak nakal. Yang membuatku sampai saat ini kecewa adalah ternyata gadis yang sedang menghisap sebatang rokok, menghembuskan kepul asapnya perlahan, dan tertawa-tawa lepas itu adalah sahabatku.
Semenjak itu, aku memutuskan untuk berhenti berbicara padanya. Panggilannya kuacuhkan. Ketika dia datang ke rumahku pun aku tidak mau menemuinya. Aku benar-benar kecewa. Sikapku yang demikian ini berlangsung hingga beberapa bulan lamanya. Aku egois? Kurasa tidak. Aku pikir bahwa akulah orang yang paling tahu tentangnya, ternyata tidak. Entah bagaimana dan apa yang ada dalam pikirannya, namun aku telah benar-benar kecewa.
Hingga terdengar kabar bahwa kedua orang tua gadis itu memutuskan untuk bercerai. Sontak aku terkejut. Aku tidak pernah mendengar keluarga itu ribut-ribut, namun tiba-tiba bercerai? Ada apa ini sebenarnya. Bagaimana dengan keadaan gadis itu. Aku menjadi sangat-sangat khawatir. Maka segera kuraih ponsel dan memintanya untuk menemuiku dan menjelaskan semuanya kepadaku.
Dia datang. Gadis itu memenuhi permintaanku untuk datang.
***
Sudah satu jam kami duduk berhadapan dalam satu meja, namun tidak ada satu katapun yang terucap. Pertengkaran dalam hati mungkin cocok kusematkan pada situasi semacam ini.
“Baik, bisa kamu jelaskan?” tanyaku akhirnya. Gadis itu menjentikkan puntung rokoknya, tepat ke arah tong sampah di seberang meja. Matanya masih menerawang kosong. Suara takbir menggema, malam ini malam terakhir di bulan ramadan. Dia masih saja diam.
“Aku memintamu ke sini untuk memberi penjelasan kepadaku, jangan diam saja!” aku semakin kesal.
Dia menangis.
Maka mulai mengalirlah cerita dari bibirnya, tentang keluarganya yang telah hancur, tentang dirinya yang tidak mampu untuk tetap baik-baik saja, tentang kekalahannya menahan diri agar tetap berada di jalanNya. Aku hanya mampu terdiam mendengarkan kata demi kata yang ia lontarkan di tengah sengguk tangisnya. Bagaimana kemudian aku tersadarkan bahwa dia tetaplah gadis yang aku kagumi terlepas dari semua sikap nakalnya sebelum ini. Aku seolah tertampar keras. Berkaca pada diriku sendiri yang dengan mudah menilai orang buruk tanpa tahu ada apa dan bagaimana sulitnya orang itu untuk bangkit dari keterpurukan. Lebih-lebih lagi aku tidak ada di sampingnya ketika ia benar-benar membutuhkan kehadiranku. Ternyata aku adalah seorang sahabat yang lebih buruk darinya.
Dia terdiam. Aku pun diam. Namun sesuatu telah tertancap kuat di hatiku, bahwa seorang yang alim pun belum bisa dikatakan alim jika ia masih saja menilai buruk kepada orang lain tanpa tahu keadaan yang sebenarnya, orang belum bisa dikatakan peduli jika ia mendengar satu hal buruk saja lantas menjauhi. Meskipun apa yang dilakukan gadis itu bukanlah suatu hal yang aku benarkan, namun aku tidak boleh lantas mengacuhkan. Aku seringkali sibuk berkata-kata, hingga lupa bahwa satu hal yang aku kerjakan adalah lebih baik.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *