AHOK dan ( sebuah esai tentang esai )
Oleh : Jaja Suharja , Penulis Lepas, Alumnus Fisip Universitas Lampung
Dunia islam di Indonesia pernah ‘diseret’ ke ranah politik hanya oleh satu kata ‘pakai’ diantara kata ‘dibohongi’ dan ‘Al Maidah’. Seorang ahli bahasa , Rahayu Surtiati yang didatangkan tim kuasa hukum Ahok menyatakan bahwa, ucapan Ahok, ‘dibohongi pakai surat Al-Maidah, tidak berarti ada kebohongan dalam surat Al-Maidah’ ( itulah satu babakdi persidangan ke-15 kasus Ahok). Sebelum drama panjang Ahok bergulir, penulis pernah mendekonstruksi ‘Ahok dalam sebuah esai tentang esai’. Bahwa ada persoalan serius atas diamnya ulama yang tanpa kritisisme dan hanya menyeret video Ahok ke dalam ranah politik. Apa itu? Pertanggungjawaban dirinya ( ulama) di mahkamah Allah. Dan penulis menempatkan Ahok di dalam esai itu sebagai orang yang teraniaya dan mengadu pada tuhannya.
Dramaturgi dari imajiner sebuah esai itu berasal dari sini :
“Ahok diputuskan bersalah dalam gelar perkara ‘dugaan penistaan agama’ digedung mabes Polri” (penulis bertanya retoris sebelum demo ‘411’ terjadi sua hari kemudian). “The End of Ahok?” Ancaman demo ‘411’ seolah peluru yang siap menembus jantung Ahok. Tapi, Ahok adalah ‘meta-wacana’ yang tak menghabis . Penulis ingin mengisi sebuah ruang yang lain dalam ‘meta-wacana’ – Ahok sebagai yang tertuduh!
Jujur , sebuah cerpen telah menginspirasi penulis , berjudul ‘Ternyata Ahok Masuk Surga’ karya Joko Arizal (diterbitkan ‘Qureta.com, 11 Oktober 2016). Menjadi hal kontradiktif dari sanksi sosial yang tersematkan pada Ahok.Demikian simpulan amanat dari cerpen diatas yang ebgitu menohok pada ‘yang umum’ dalam kerumunan amarah dalam balutan politis kelompok kekuasaan dan banyak kepentingan.
Esai ini serupa cerpen diatas. Imajiner biografis seorang Ahok yang menulis esai. Dimulai dari penyidik mabes Polri yang dinilai Ahok tidak adil. Kemudian tergambar filmis – Ahok yang down atas putusan pengadilan tersebut ‘menghilang’ beberapa hari dari Ibu kota ( lebih dramatis jika digambarkan Ahok diculik oleh sekelompok orang tak dikenal).
Kemudian keluar klarifikasi bahwa, ‘Ahok bukan diculik namun ‘diamankan’ tim sukses dari ‘Rumah Lembang’. Ada yang bilang, ‘Ahok pergi ke jawa menemui penyair sufistik Emha Ainun Nadjib. Katanya pada esais drop out UGM itu, Ahok akan melakukan serangkain diskusi hingga tiga minggu kemudian ‘berjejak’ atas lahirnya sebuah esai yang ternyata menggemparkan ‘jagat pikir’. Esai Ahok itu, “Mendemo Tuhan” – berkisah tentang perasaan Ahok yang merasa difitnah oleh orang-orang yang ‘meng-up-load’ video Ahok dan menyebarkannya ke medsos ( hingga kegaduhan berbuah fitnah, tumbuh,berkembang dan menjadi ‘kemarahan terorganisir’ dan ‘diaminkan’ sebagai sebuah fatwa bersama bernama ‘ulama dalam sebuah community’ disbeuah bangsa pluralis atas satu agama dalam keberagaman faksi dan juga diramaikan oleh suara para ‘kiayi layar kaca’.
Ahok dalam esainya tersebut meminta keadilan, “tuhan, jika saya mati kelak dan menemui-MU dan atas izin-MU itu, benar, saya masuk neraka.Namun, masukkanlah tubuh saya kedalam neraka itu bersamaan dengan orang-orang yang disebut sebagai ‘ulama’ atau kiayi ‘layar kaca’ yang telah ikutserta membiarkan fitnah pada saya itu tumbuh, berkembang dan menjadi. Jika menurut-MU tuhan, benar, mereka memfitnah saya. Jangan permudah para ulama dan kiayi itu masuk surga . Kekejaman pada saya saat di dunia juga harus ditanggung para ulama, kiayi, rasakan di mahkamah kebenaran sesungguhnya ( di hadapan-MU). Bukankah ulama yang ingkar pada kebenaran agama juga layak masuk neraka? Saya meminta keadilan-Mu , tuhan!”
Demikian salah satu bunyi esai yang ditulis Ahok itu. Bertutur dalam kecerdasan logika bahasa ( esai Ahok itu menjadi ‘trending topic’ sosial media sebagaimana kasusnya dulu). Roda nasib berputar. Kadang diatas kadang dibawah.Berputar lagi, lagi,lagi dan lagi. Penggalan doa Ahok itulah yang menggetarkan publik. Terutama pada mereka yang disebut Ahok sebagai ulama dan kiayi ‘layar kaca’. Esai yang ditulis dalam kepolosan hati seorang Ahok dan mampu menggetarkan hati dan iman seseorang yang berharap banyak bisa masuk surga dengan mudah. Ia ( para ulama, kiayi) merasa esai Ahok itu telah mengancam eksistensi status sosialnya di dunia sebagai ulama – yang semestinya, bisa langsung masuk surga. “Seorang kafir seperti Ahok bisakah doanya diterima sang khaliq?”
Begitu ucap bibir yang bergetar dalam kegentaran jiwa yang sangat ingin masuk surga.
‘Ulama dan kiayi itu lebih dekat dengan tuhan, tidak mungkin tuhan mengabulkan doa Ahok yang kafir!” Suara lain terdengar jumawa.
“Sudah jelas-jelas Ahok yang bersalah dan para ulama dan para kiayi itu itu membela ayat tuhan. Jadi, tidak mungkin tuhan membela Ahok!” ( tapi selalu ada yang satu, yang lain dari yang lain. Sebuah argumentasi yang membuat mulut terkatup). “Apakah perspektif kebenaran tuhan bisa disamakan dengan kebenaran versi manusia? Pun, itu berasal dari bibir orang yang disebut ulama atau kiayi!”
Suara-suara menjadi resepsi atas esai seorang Ahok. Esai yang diam-diam ‘dibenarkan’ ( bisa saja dimata tuhan, Allah SWT, Ahok yang benar dan para ulama dan atau kiayi ‘layar kaca’ itu yang salah). Bandar Lampung, November 2016-Mei 2019.