Apa yang akan kau lakukan untuk orang tuamu ketika masih mereka masih hidup? Jika mereka mendidikmu dengan benar, baik dan pantas, merawatmu dengan ikhlas, dan menjagamu dari membuka mata hingga kembali tertidur pulas, maka yang harus kau lakukan untuk mereka adalah, segalanya. Itulah yang dipikirkan Minah. Satu-satunya anak perempuan dari keluarga Pak Dumajid. Keluarga sederhana yang hanya tinggal kepala keluarga dan empat orang anak.
Pak Dumajid seperti gambaran keluarganya, sederhana. Sering terlihat pakai sarung kemana-mana. Perawakannya bersahaja walau dia bukan orang istimewa di sekitar desa. Lelaki dengan badan tegap dan kumis tipis itu punya empat anak sebagai tanggungan, dan Minah salah satunya. Perempuan tunggal, kesayangan. Tiga abangnya sudah menikah di usia muda. Umur 17, 18, dan 19 anak mereka sudah dua hingga tiga. Sehingga dirumah hanya tinggal Minah satu-satunya. Si bungsu yang manja, si bungsu yang merasa sudah dewasa walau sebenarnya baru beranjak remaja.
Besok usia Minah lima belas tahun. Sayangnya, kali ini ia tak bisa meminta hadiah dari Pak Dumajid, ayahnya.
‘Umur bapak tinggal 8 bulan lagi.’ Ujar laki-laki berjas putih yang tampak murung. Mukanya kusut terlatih menampilkan ekspresi duka.
Kakak ipar dari abang pertama Minah menangis tersedu-sedu. Suaminya berusaha menenangkannya. Disebelah mereka abang ketiga Minah tampak terpukul sambil menggendong bayinya yang kedua. Sedangkan abang kedua Minah beserta istri dan anaknya sedang ada di Malaysia, jadi belum tahu menahu tentang duka dalam yang sedang terjadi.
Diujung koridor rumah sakit, Minah tak ikut menangis. Toh ayahnya belum meninggal. Kenapa harus menangis sekarang? Dalam kepala Minah sibuk berhitung. Delapan bulan. Apa benar ayahnya akan meninggal delapan bulan lagi? Minah mengira-ngira. Delapan bulan, dua ratus empat puluh hari. Itu sisa waktu yang ia punya untuk membahagiakan ayahnya jika delapan bulan itu memang benar adanya.
Minah punya satu rencana. Membelikan hadiah untuk ayahnya. Hadiah terakhir. Sebuah arloji mahal yang sangat diinginkan Pak Dumajid sedari dulu. Demi bisa membeli arloji itu Minah sibuk mengumpulkan uang. Menurut perhitungannya ia harus bekerja serabutan selama dua ratus lima puluh hari untuk mendapatkan uang yang cukup. Sayangnya Pak Dumajid hanya punya waktu delapan bulan, dua ratus empat puluh hari. Minah memutar otak. Ia makin giat bekerja demi memangkas waktu.
Waktu makin berlalu. Sudah di bulan kedelapan. Minah gelisah, takut ayahnya wafat hari ini. Namun barusan ia mendapat telepon dari abangnya. Mereka bilang ayah Minah belum meninggal, perkiraan dokter meleset. Sudah dua ratus empat puluh hari, Ayah Minah masih bernapas. Walau dengan selang disana sini, walau dengan suntikan jarum setiap hari, jantung ayahnya Minah masih berdegup pelan setiap hari. Terbukti, dokter itu bukan Tuhan! Minah makin giat mengumpulkan uang. Tekadnya makin bulat. Keyakinannya untuk uang yang terkumpul dalam waktu dua ratus lima puluh hari makin menjadi-jadi. Dan benar nyatanya, di hari yang kedua ratus lima puluh, Minah berhasil membeli arloji untuk ayahnya.
Buru-buru Minah menuju rumah sakit untuk memberikan hadiah langsung pada ayahnya. Seperti dua ratus lima puluh hari yang tak terduga, yang terjadi di hari itu pun diluar dugaan. Minah tertabrak mobil. Arlojinya jatuh dan rusak berhamburan. Mobil yang menabraknya pergi tanpa tanggung jawab atas Minah yang lebih hancur dari pada arloji yang rusak. Minah hanya terluka sedikit. Dan beberapa detik kemudian, hatinya lebih terluka dari pada dirinya. Abang Minah menelpon, mengabarkan kalau ayah sudah kritis. Kesempatan Minah mungkin sudah berakhir. Untuk membahagiakan ayahnya, kesempatan itu mungkin tak akan pernah ada lagi. Minah meringkuk sendirian di jalanan. Pilunya tak tertahankan, kali ini ia harus meledak.
‘Ayahku sekarat!’ suaranya hancur.
‘Ayahku sekarat!’ suaranya lebur.
‘Ayahku sekarat!’ suaranya hancur, lebur dan terkubur.