Menjadi cucu perempuan tertua keempat di keluarga membuat saya kecil hanya bergaul dengan beberapa saudara sepupu saya. Tentunya tidak dengan cara orang dewasa. Mereka menularkan beberapa lagu yang kini dikenal dengan K-Pop. Tumbuh besar dengan lagu-lagu yang selalu membayangi saya membuat saya sedikit fanatik. Hingga saya besar dan memiliki beberapa teman yang sama fanatiknya.
Ketika itu saya SMP. Tabu rasanya bernyanyi keras-keras di antara orang lalu-lalang menggunakan bahasa asing di telinga mereka. Pandangan mencela dan cibiran terus timbul di belakang kami. Kami tahu, namun berusaha menutup mata. Sampai kemudian, kami dihantam keras. Dengan banyak pengajaran yang membuat kami sadar bahwa kefanatikkan itu menjerumuskan kami.
Banyak orang membenci kami. Tidak cukup teman, guru-guru sama tidak sukanya. K-Pop di mata mereka benar-benar kuman yang harus dijauhi. Sekali lagi, kami masih menutup mata, telinga, semua indra yang kami punya. Sampai kemudian, berita-berita mengenai bencana alam mulai merebak. Membuat kami was-was dan takut. Hingga sebuah tujuan kami dapatkan.
Hijrah.
Adalah satu kata yang menggambarkan semuanya. Semua yang kami lakukan untuk membebaskan diri kami. Di tengah-tengah bibir manusia yang tak percaya. Di tengah fitnah yang menyertai. Di tengah ujiang-ujian yang Allah berikan. Kami berusaha keras membangun benteng. Sebuah tameng kuat yang tak ‘kan menggoyahkan iman kami.
Semua itu tidak mudah. Hijrah yang kami lakukan tidak semudah yang orang bayangkan. Tetapi, kami punya satu sama lain. Belajar mendalami agama bersama. Belajar bagaimana seorang muslimah bertingkah. Belajar untuk tidak melakukan hal-hal yang tak disukai Allah SWT. Segalanya tentang belajar.
Memiliki ijazah madrasah bukan berarti seseorang itu tahan akan maksiat. Sholat lima waktu tidak cukup bila bibirnya masih sering mengumpat kasar. Proses adalah hal yang kami butuhkan. Dan belajar, menjadi hal terdepan yang pasti kami lakukan.
Sudah kukatakan hijrah yang kami lakukan tak semulus jalan tol.
Pada waktu itu, di Bulan Ramadhan yang penuh berkah. Guncangan berat menimpa kami. Aib yang sudah karam, kembali diangkat. Aib yang mati-matian kami tenggelamkan. Aib yang tak seharusnya diungkit. Kami paham betul tingkah kami pada waktu itu sangat tidak baik. Apalagi patut dicontoh. Tetapi, tidakkah mereka melihat jelas niat kami? Lalu, apa yang mereka lakukan sekarang?
Terkadang seorang yang lebih tinggi derajatnya, tidak peduli apa yang kami lakukan. Semua itu tetap salah di mata mereka. Allah Maha Memaafkan. Tetapi, mereka. Yang sama-sama makhluk Allah, dengan beraninya menguak aib sebagai sesuatu yang sangat disalahkan. Dan ketika suatu doa yang mereka siratkan tentang bencana untuk kami, patutkah diucapkan?
Meski begitu, kami tetap kembali pada niat kami. Hijrah adalah kunci supaya kami bisa merubah semuanya. Kembali ke jalan Allah. Kepada suri teladan kami. Terlahir kembali menjadi muslimah yang taat pada Tuhannya. Bersama-sama.
Tegal, 4 Juni 2019
1 COMMENT
Keep istiqomah ya kak ?