“Padahal dia pintar, tapi di mata kuliah Kalkulus dia dapat nilai E. Jangan-jangan selama ini modal menyontek doang.”
“Dia gak pernah aktif di kelas tapi nilainya A. Lah, aku yang aktif setiap saat cuma dapat nilai pas-pasan. Kan gak adil namanya.”
“Dapat magang di SMK ya? Sabar-sabar ya, katanya murid-murid di SMK bandel-bandel loh. Hahaha.”
“Kamu dapat dosen pembimbing Pak Joan?! Yang tabah ya, bapak itu katanya banyak tingkah. Kamu kayaknya bakal diperlama deh.”
“Kamu sebenarnya niat daftar ujian seminar proposal gak sih? Tadi masih bisa daftar loh, sekarang sudah full karena kamu kelamaan datang. Heran, kesempatan emas kok malah dibuang.”
“Jadi kamu enak banget ya, dapat dosen penguji cuma ngasih sedikit revisi, sudah gitu cepat ACC lagi. Iri banget, sumpah. Coba saja aku dapat kayak kamu, bahagia bangetlah hidupku.”
Pernah mendengar atau mengalami kejadian di atas? Aku yakin pasti setiap orang pernah mengalaminya, walaupun dalam konteks yang berbeda. Mungkin tentang pekerjaan, percintaan, pertemanan, keuangan atau hal lainnya.
Awalnya, akan muncul rasa dongkol dan marah. Karena secara tidak langsung mereka sudah menghakimi kehidupan kita, padahal mereka tak tahu apa-apa. Berkomentar seenak jidat seolah telah menjadi saksi hidup kita, padahal mereka hanya pelengkap sandiwara.
Selanjutnya, perlahan namun pasti kamu akan terpengaruh omongan mereka. Mulai memikirkan perkataan-perkataan yang tak jelas kandungan isinya, entah berupa ejekan, sindiran atau bahkan sumpah serapah. Bagi sebagian orang, mereka akan memilih untuk mengabaikan perkataan tersebut. Mereka akan mencoba berpikir positif, “Mendengar ocehan seperti itu hanya akan membuat sakit hati.”
Tapi, yakinkan kalian bahwa sebagian orang lagi akan berpikir demikian? Jawabannya tidak. Ada dari mereka yang terus memikirkan perkataan tersebut hingga tanpa sadar menimbulkan stres, frustasi bahkan merasa terpuruk. Parahnya, mungkin akan membuat nyali seseorang menjadi ciut, pesimis dan berpikir negatif. Intinya, menyerah duluan sebelum berperang. Mengerikan, bukan? Belum lagi, ada yang berpikir bahwa seseorang yang seperti itu adalah orang yang bermental lemah. Dan berkata, “Seharusnya mereka bisa menghadapinya, mencari solusi lain. Seandainya mereka bisa memilah dengan baik, pasti tidak akan seperti ini.”
Ayolah kawan, setiap manusia diciptakan dengan sifat yang berbeda-beda, bahkan anak kembar identik sekaliapun sifatnya juga berbeda. Selanjutnya, bagaimana bisa kalian menganggap kata seharusnya dan seandainya sebagai sebuah solusi sedangkan kejadiannya sudah berlalu?
Menurut pandangan pribadiku, kata seharusnya dan seandainya adalah kata terkutuk. Kedua kata itu hanya akan membuat seseorang mengingat kembali betapa sakit atau bodohnya mereka dalam mengambil keputusan atau melakukan suatu hal, hingga berujung pada keputusasaan dan menyalahkan diri sendiri atau orang lain. Lalu, apakah itu solusi? Tidak! Bagiku, satu-satunya solusi untuk menghadapi semua permasalahan adalah kalimat ini. “Setiap orang mempunyai rezeki masing-masing dan semuanya telah diatur oleh Allah”.
Itu rezekimu dan ini rezekiku. Allah Maha Melihat. Allah tahu sejauh mana hambaNya telah berjuang, apakah hanya sekedarnya atau sudah berjuang mati-matian. Allah tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, apa yang kita butuhkan dan mana yang hanya lewat sebagai hiburan. Allah sengaja memberikan cobaan karena Allah tahu bahwa kita bisa menghadapinya, mampu melewatinya. Allah ingin kita terus berharap padaNya, bukan pada ciptaanNya.
Mau mendengar jawabanku untuk semua ocehan di atas?
Allah tahu aku kurang mampu dalam mata kuliah tersebut, dapat nilai E artinya aku harus mempelajarinya lagi dengan lebih baik lagi.
Hanya Allah yang tahu betapa aku sangat aktif di malam hari untuk mengulangi materi dan selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Bisa dikatakan, mungkin ini hasil jerih payahku. Lalu, mereka tahu apa? Mereka tak tahu apa-apa.
Allah tahu kemampuanku dalam mengajar sudah cukup baik, tapi Allah tak ingin aku berada di level yang sama. Sehingga diriNya memberiku tantangan agar bisa naik ke level berikutnya.
Allah tahu apa yang terbaik untukku. Allah memilihkan seorang dosen yang benar-benar bisa membimbingku, yang mengajarkan banyak ilmu dan pengetahuan padaku agar kelak dapat kuterapkan di dunia kerja.
Allah tahu kapan waktu yang tepat aku harus mendaftar ujian seminar proposal. Allah ingin aku mempersiapkan diri lebih baik lagi.
Allah tahu seberapa besar perjuangan dan pengorbananku, seberapa kuat aku mampu menghadapi semuanya, seberapa sering aku berdoa di setiap sujudku, sehingga Allah memberikanku dosen penguji yang baik dalam penyampaikan dan memberikan saran serta dalam revisian.
Di akhir kata, satu hal yang perlu diingat. Kalian tak perlu iri dan dengki terhadap rezeki orang lain karena setiap manusia mempunyai rezekinya masing-masing. Percayalah, rezeki sudah diatur oleh Allah.
2 COMMENTS
Mantap kak, semangat ?
Mantap kak, semangat