Dipersunting oleh seorang pria miskin, berpendidikan rendah dan tak punya suatu keahlian yang patut dibanggakan akapah sebuah cita-cita seorang isteri di dunia? Namun kenyataannya itulah yang kualami. Aku menikah dengan seorang pria itu pada tahun 1997. Aku tak sempat melihat kondisinya matang-matang mengingat tingkat pendidikanku yang rendah, hanya lulusan SMA dan pondok pesantren. Aku tak layak untuk mencari pria yang sangat mapan.
Aku nikah karena ibadah. Aku tidak berharap lebih dari suamiku. Mendapat nafkah batin yang sempurna dan kebutuhan lahir tercukupi pun aku sungguh bersyukur. Suami yang setia menemaniku sampai akhir hayat adalah suatu hal yang mahal harganya bagiku.
Suamiku adalah anak bungsu di keluarganya. Kehidupannya memang lebih rendah daripada kakak-kakaknya karena suamiku diididik oleh orang tuanya untuk tidak berpendidikan terlalu tinggi supaya bisa menemani orang tuanya di kampung. Alhasil suamiku pun hanya “seperti itu”. Tak punya pangkat tinggi dan pekerjaan yang memadai. Ketika kakak-kakaknya sudah berpendidikan tinggi, mendapat pekerjaan yang elit, dan bertempat tinggal jauh di kota, suamiku hanya tinggal di desa menemani ibunya. Suamiku membuka bengkel kecil-kecilan di depan rumah.
Perasaan kecewa sempat mengganjal di hatiku ketika aku tidak bisa merasakan bulan madu yang mewah layaknya pengantin baru. Suatu ketika, suamiku menjumpaiku merenung dengan mukaku yang layu. Aku sangat menyesal ketika aku tertangkap basah mengeluarkan air mata. Detik itu aku dimarahi suamiku karena seolah-olah tidak bersyukur atas pendapatan suamiku yang super sederhana. Alhamdulillah, aku bisa menepis anggapan jelek itu dengan suatu hal lain. Aku sedang rindu orang tuaku di Jakarta, Pa. Sudah lama aku tidak menengoknya. Aku pun kembali terseyum di atas penderitaan. Aku jarang sekali makan enak ataupun diajak jalan-jalan ke kota, apalagi beli pakaian baru. Semenjak saat itu aku berusaha memperbaiki diri karena saat itu pula aku sedang hamil. Tidak baik jika si jabang bayi ini mendengar ayah dan ibunya bertengkar.
Aku mulai kembali mengulas kitab-kitab kuning yang dulu aku kaji di pondok. terlebih kitab-kitab fiqih wanita dan kitab tentang pernikahan. Aku pun memperbanyak membaca Al-Qur’an dan mengkhatamkannya beberapa kali selama hamil.
Alhamdulillah aku melahirkan seorang bayi laki-laki dengan proses normal. Bayinya pun berkulit putih, tampan, dan sehat. Bayiku ini mencairkan kegundahan rumah tangga. Setidaknya aku bisa banyak-banyak berdo’a untuk anakku supaya dikaruniai kecerdasan oleh Allah dan mampu menjadi pelita bagi orang tuanya.
Aku tidak merasakan kesusahan selama merawat bayi ini. Ia jarang sekali rewel. Saking imutnya, seringkali anakku digendong santri-santri ketika pengajian di masjid. Di umurnya yang ketiga dan empat, jika anak-anak lain suka jajan, anehnya anakku tidak ingin jajan. Ketika pedagang kaki lima atau jajanan lewat depan rumah, anakku suka menolaknya. Moal meser pa. (Tidak mau beli pa). Sebuah kebanggan tersendiri bagiku sekaligus rasa ibaku pada anakku. Aku tak melarangnya jajan. Namun anakku sendiri yang selalu tidak ingin jajan layaknya anak kecil lainnya. Alhasil aku pun tidak selalu keberatan dalam hal ekonomi karena tidak banyak tuntutan dari anakku.
Lima dan enam tahun usia pernikahanku, aku dikaruniai dua anak lagi. Ketiga anakku hanya terpaut satu tahun. Seperti biasa, dalam setiap kehamilan, aku selalu memperbanyak khataman Qur’an. Ketika anak-anakku sudah besar, ia selalu rukun dan jarang bertengkar. Hanya sesekali mereka bermusuhan dan itu menjadi hiburan tersendiri bagi aku dan suamiku.
Bertambahnya anakku tak lantas memperkuat kondisi ekonomiku. Lambat laun anak-anakku semakin tahu lemahnya ekonomi keluarga. Di usia ketujuh, anakku yang pertama sudah berinisiatif untuk berjualan di sekolah dan mengajak adiknya yang kedua. Aku bangga sekaligus tak tega. Tapi aku pun tak menolak tingkah anakku yang ingin berjualan. Aku hanya mengarahkan mereka cara membuat jelly untuk dijual. Adapun hasilnya biar mereka kelola. Namun ternyata hasil jualannyapun mereka serahkan kepadaku.
Ya Allah, terima kasih telah Kau karuniakanku anak-anak yang soleh. Semoga kesalehannya bisa mengangkat derajat keluargaku.
Di setiap malam, aku selalu mendo’akan anak-anakku. Dan aku selalu belajar untuk menjadi isteri yang sholihah. Berbagai buku aku baca dan kuamalkan. Alhamdulillah, sampai anak-anakku besar, aku dan suamiku tak nampak bertengkar di depan mereka walaupun kondisi ekonomi selalu menghantui. Sampai saat ini aku tidak pernah diajak suamiku berbelanja ke supermarket, ataupun ke sebuah wahana wisata, berpacaran romantis di sana. Ah, itu bayangan duniawi semata. Mendapatkan nafkah lahir dan batin pun aku sungguh luar biasa bersyukur. Aku pun rela menjadi isteri di bawah penderitaan ekonomi karena hidupku tak bertumpu pada duniawi.