Sebuah Kisah di Pelabuhan

“Ini terakhir!” Teriak seorang pria dengan kumis lebat yang mengoper karung – karung dari kapal kepada kuli panggul yang berserakan di depannya. Para kuli berebut ingin mengangkat karung tersebut. Karung – karung itu berisi barang yang akan dipasok ke toko – toko kelontong di pusat kota nantinya.
Peluh menetes dari rambut Pak Kresno yang dengan gigih sambil gemetar mengangkat karung dengan beban 20 kg tersebut dari kapal ke truk yang berjarak beberapa meter dari sana. Tangannya menggenggam erat karung tersebut agar tidak terjatuh dari pundaknya. Pundak dan punggung bagian bawahnya terasa sangat kaku menahan beban seberat itu. Sementara, kakinya terus melangkah dengan gesit, meski tetap kalah gesit dibanding rekan – rekannya yang lebih muda darinya.
Matahari menyengat dengan teriknya di Pelabuhan Tanjung Priok. Membuat kuli – kuli panggul di sana selalu terkuras energinya, terlebih dengan pekerjaan membawa barang – barang yang beratnya bisa belasan kilo. Tampak puluhan kuli panggul di sana berebut barang untuk dibawa setiap kali sebuah kapal berlabuh dan mengeluarkan muatannya. Mereka semua bersaing ketat, tidak ada seorangpun yang mengalah.
“Ini, Pak!” Pak Kresno menurunkan karung dari pundaknya ke atas truk pengangkut barang yang berjarak 100 meter dari kapal.
Seorang pria berwajah melayu tampak menghitung beberapa lembar uang lima ribuan. Wajahnya terlihat tegas dengan beberapa kerutan di dahi, sepertinya sudah berusia sama dengannya.
“Nih.” Katanya sambil memberikan tiga lembar uang lima ribu. Pak Kresno mengambilnya dengan cepat sambil mengucapkan terimakasih. Dimasukkan lembar – lembar uang itu ke dalam celananya yang makin tipis setiap harinya.
Baru pukul 11 siang, rasanya seluruh energi Pak Kresno telah habis dilahap teriknya matahari di Priok. Keringatnya tak henti – henti menetes ke baju kaos dengan gambar salah satu calon legislatif dari sebuah partai yang telah kusam terkena debu dan noda saat bekerja. Wajahnya tampak tidak segar, bibirnya sudah mulai pecah – pecah karena cairan di tubuhnya dirasa kurang.
Di sampingnya, tampak seorang pria yang lebih muda darinya 20 tahun meneguk air mineral dari botol kemasan. Pria itu memiliki tubuh yang tegap dan kekar, belum ada tanda tua seperti dirinya. Si pria tampak sangat kehausan sampai – sampai air satu liter hampir habis diminumnya. Pak Kresno tanpa sadar memperhatikan tegukan air yang seperti surga itu. Jika saja ia bisa, mungkin tenaganya akan kembali lagi dan ia mampu bekerja lebih keras. Ia hanya dapat menelan air ludahnya.
“Minum?” Pria di sampingnya menawarkan minum kepadanya. Meski tak saling mengenal, pria itu berbaik hati berbagi minum untuk Pak Kresno.
Pak Kresno memperhatikan botol air mineral yang terlihat sangat menggoda itu.
“Nggih, Kulo puasa.” Pak Kresno mengangguk sopan menolak tawaran dari pria tersebut.
Pria itu mengernyitkan dahi. Ia tertawa pelan.
“Ojo repot – repot. Kuli panggul kayak kita, mah, Gusti Allah ngerti!” Pria tersebut kembali meneguk air mineral itu sampai tetes terakhir, tetes surga yang tak dapat dirasakan Pak Kresno saat itu.
Pak Kresno menelan kembali air ludahnya. Benarkah itu? Benarkah kewajiban puasa padanya gugur karena ia bekerja sebagai kuli panggul? Entahlah, baginya, ia ragu. Ia takut Allah tidak memperbolehkannya berbuka. Tak ada pilihan lain baginya, ia harus membiarkan rasa haus terus menggerogoti tenggorokannya.
“Koe cuma nyusahin diri aja.” Pria tersebut berjalan menjauh dari Pak Kresno yang mematung. Tak menggubris sorot mata Pak Kresno yang menyimpan banyak pertanyaan pada Allah.
Pukul dua belas lewat tujuh menit, adzan Dzuhur berkumandang. Pak Kresno, laki – laki yang sudah berkepala lima itu, menyeret tubuhnya yang semakin layu ke masjid pelabuhan. Tatapannya remang – remang di bawah teriknya matahari kota Priok. Dengan sandal jepitnya yang telah setipis tubuh tuanya, ia berjalan dengan langkah hampir sempoyongan.
Gusti, HambaMu datang..


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *