(1)
Saya seorang guru Biologi di sebuah SMA Swasta. Sebagaimana guru pada umumnya, rutinitas saya mempersiapkan pembelajaran, mengajar dan mendidik siswa di kelas, melakukan evaluasi, serta rapat mingguan dan bulanan.
Bedanya, SMA tempat saya mengajar berbasis Boarding. Jadi, seluruh siswa diwajibkan tinggal di ma’had (asrama). Secara kebetulan, karena saya memiliki latar belakang pesantren; ketika wawancara penerimaan pegawai baru, yayasan menempatkan saya di dua tempat: reguler (sekolah) sekaligus ma’had. Jadi, setiap pagi usai shubuh sampai jam 6.15 saya mengajar ngaji Quran di Ma’had, jam 07.00 – 14.00 mengajar di sekolah, dan jam 17.00 – 20.00 memaksimalkan waktu di ma’had lagi, kecuali hari Minggu – reguler libur.
Hari-hari pertama di Ma’had terasa berat sekali. Bukan karena saya tidak suka mengajar Al Quran, tetapi lebih pada adaptasi yang harus saya lakukan di lingkungan baru itu. Terlebih lagi ada aturan bahwa semua pengajar di Ma’had harus mabit (menginap) 3 hari dalam seminggu.
Bagi saya, bulan pertama rasanya benar-benar sulit. Sampai saya berpikiran untuk resign dan mencari tempat baru. Saya hanya tidak terbiasa hidup di bawah kekangan, sama tidak terbiasanya saya dengan cara memerintah yang dilakukan lewat kode. Barangkali memang sudah dari sananya saya ini tidak peka. Jadi, entah itu hanya perasaan saya, atau memang kenyataannya demikian – rasa-rasanya apapun yang saya lakukan menjadi tidak cukup benar di ma’had. Dan pada awal masuk kerja itu juga, saya mulai merasakan bahwa dengan beberapa orang – kepentingan lebih berbicara daripada sebuah ketulusan.
..
Beruntung sekali, saya menemukan salah seorang rekan yang bisa menjadi teman berlari. Namanya Ustadzah Yeni, dia dua tahun lebih muda, tetapi kedewasaannya di atas saya. Yang paling menenangkan, ketika bersama Ustadzah Yeni pembicaraan kami menjadi tidak banyak madhorot. Kami berbicara seperlunya tentang orang lain, selebihnya kami memilih untuk fokus membicarakan diri sendiri dan target ke depan. Di akhir pembicaraan, kami selalu mencoba untuk mengambil hikmah untuk perbaikan ke depan. Dan yang terpenting, kami mencoba untuk memupuk rasa ikhlas dalam melakukan pekerjaan. Karena tanpa ikhlas, rasanya sulit untuk dapat maju tanpa embel-embel.
Jadi, entah bagaimanapun lingkungan yang ada, kami mencoba saling menguatkan dan saling memahamkan bahwa manusia memang tidak bisa dipaksa untuk sama. Dan di sinilah, kita memerlukan pentingnya peranan rasa toleransi terhadap sesama. Perlu keterbukaan-hati untuk menerima perbedaan dan hidup berdampingan. serta perlu pembiasaan, agar lisan tidak terbiasa mencela keburukan orang sementara kita luput terhadap keburukan diri sendiri. Dari sini, saya benar-benar belajar banyak hal. Terutama dalam menahan emosi dan menata hati.
..
Enam bulan rasanya berlalu begitu saja. Padahal di awal, saya tidak yakin bahwa saya akan sampai pada bulan ketiga. Status saya sudah bukan lagi guru magang, melainkan guru kontrak. Pada tengah semester itu, sebenarnya pikiran untuk resign masih sering menghantui. Tetapi Bapak menguatkan dengan berbagai petuah-petuah. Kata Bapak, bekerja bukan hanya tentang menghasilkan sesuatu nduk, tetapi bekerja adalah proses belajar yang dibayar. Ingat! Dulu waktu kuliah, kamu belajarnya harus bayar, berapa itu per semester. Nah sekarang, kamu bisa belajar dari pengalaman langsung, yang lebih riil, dan dibayar pula. Maka dari itu coba dijalani dulu dan disyukuri.
Dan setelah dipikir-pikir, Bapak memang benar. Berada di suatu lingkungan baru membuat kita bisa belajar banyak hal, manusianya, sistemnya, dinamika masalahnya, dan problem solvingnya. Banyak hal yang bisa kita pelajari. Meskipun dalam prosesnya kadang perlu nangis-nangis. Yang jelas, waktu itu saya menyimpulkan satu hal manis, bahwa saya akan tetap bertahan, pertama untuk anak-anak didik, dan kedua – untuk mensyukuri ni’mat Allah, karena bisa jadi tempat aku berada sekarang adalah tempat yang didambakan oleh orang lain, jadi karena saya sudah berada di sini dan menjadi bagian dari lembaga ini, saya harus bertahan dan terus mengabdi.
..
After the heart is setlled, saya pelan-pelan menyadari karunia Allah atas ternyata sangat besar. Semakin ke sini, saya merasa semakin beruntung dapat berada di tempat ini tanpa luput menyadari bahwa setiap tempat pasti ada hal baik dan hal buruk yang dapat kita ambil. Tentunya, mau fokus pada kebaikannya atau keburukannya itu sepenuhnya terserah pada kita. Jika fokus pada keburukan, maka sudah menjadi tentu bahwa hati akan terus merutuk dan menyalahkan. Tetapi jika fokus pada kebaikan, insyaallah hati akan bisa menerima dengan lapang kondisi apapun yang menimpa kita. Yang pasti, tidak sesuatupun lepas dari kuasa Allah. Jadi, saya merasa bahwa setiap masalah adalah pembelajaran.
(2)
Januari 2019 lalu, tepat di semester genap yang pertama bagi saya, sekolah memberi saya tugas untuk mengikuti diklat Kepala Laboratorium di Solo. Sertifikatnya untuk akreditasi sekolah 5 tahun mendatang. Awalnya, saya merasa berat di ongkos. Karena bisyaroh yang saya dapat dari mengajar sementara ini cukup untuk keperluan sehari-hari dan setor tanggungan sepeda. Bersyukur sekali, sekolah bersedia menanggung seluruh biaya diklat dan biaya hidup di Solo selama 2 minggu.
Bagi saya itu kesempatan yang langka, bisa belajar sekaligus jalan-jalan melihat kota yang sebelumnya belum pernah saya kunjungi. Setelah mencari informasi kos bulanan di Solo dan ternyata sudah terisi semua, akhirnya seorang teman menghubungkan saya dengan temannya di Solo, dan teman itu menghubungan saya dengan salah satu komunitas.
Komunitas itu menyebut diri mereka dengan laqob Hapfams, kepanjangan dari Happy Family. Kebanyakan dari mereka adalah penerima beasiswa Bhakti Nusa UNS. Jadi memang anggotanya mahasiswa-mahasiswi, kecuali sepasang suami-istri yang menjadi founder Hapfams, Mbak Tria dan Mas Sis.
Mereka sangat terbuka dengan orang baru. Tidak ada kesan bahwa saya adalah orang asing, mereka memperlakukan saya seperti keluarga, sampai selama saya di Solo, bajupun dicuci bersama-sama, siapa yang longgar dia yang mencuci. Jadi memang sistem keikhlasan berjalan sekali.
Karena dasarnya komunitas, pada waktu-waktu tertentu mereka mengadakan diskusi dan evaluasi di kontrakan putri, tempat yang saya tinggali. Dan mereka mempersilakan saya turut serta. Dari diskusi yang kebetulan saya ikuti, saya menjadi tercambuk untuk berlari lagi.
..
Dari diskusi itu saya menjadi tahu, bahwa mereka ternyata adalah mahasiswa-mahasiswa out of the box yang akan melakukan usaha gila dan melangitkan doa-doa untuk mencapai impian-impian mereka. Kebanyakan anggota Hapfams sudah pernah mengikuti pertukaran pelajar atau seminar ke Luar Negeri, baik dengan program yang fully-funded atau bahkan self-funded melalui fund-raising.
Waktu itu saya menjadi malu kepada diri saya sendiri. Saya sering mengatakan ingin dan ingin belajar ke luar negeri, sering ingin ini itu, tetapi ternyata memang usaha dan doa saya terhitung sangat kurang. Saya sering merasa sudah mencoba yang terbaik tetapi nyatanya I never broke my limit yet.
Bisa dibilang usaha saya kurang ‘gila’ dan terlalu monoton.
Maka melihat mereka berdiskusi malam itu membuat saya ingin menghidupkan mimpi-mimpi yang sempat pudar. Saya merasa bukan apa-apa dibanding mereka yang sudah melakukan banyak hal.
Allah benar-benar membelajarkan saya melalui kepergian saya ke Solo selama 2 minggu. Tidak hanya ilmu tentang Laboratorium, tetapi juga tentang banyak hal dari sisi kehidupan.
..
Mbak Tria, yang saya sebut tadi biasa dipanggil Umi oleh anggota Hapfams. Mbak Tria sosok yang merangkul dan menuntun, kalau salah – mbak Tria akan langsung bilang salah, kalau benar – Mbak Tria akan ngasih apresiasi.
Nah Mbak Tria ini punya orangtua yang kami panggil dengan sebutan Pae (baca: Pak-e). Pae ini hanya lulusan SD. Kalau Mae (ibunya Mbak Tria) sudah lama meninggal, dan sejak Mae meinggal itulah Pae memilih untuk hidup bersama Mbak Tria dan Mas Sis di Solo. Padahal dulu, ketika Mae masih hidup, Pae akan lebih memilih untuk tinggal di Palembang daripada tinggal bersama anak-anaknya.
Pae sudah sangat sepuh, bicaranya saja sudah berkurang kejelasannya. Tetapi semangat Pae untuk ke musholla mengalahkan semangat kita-kita yang masih muda.
Setengah jam sebelum waktu sholat wajib, Pae akan bergegas mandi, mengenakan baju koko, memakai wewangian, lalu berangkat ke masjid. Pae akan stand by di masjid sampai waktu sholat tiba, jadi ketika sudah waktunya adzan, Pae akan langsung adzan.
Warga sekitar kontrakan Hapfams tentu sudah tidak asing dengan suara Pae. Beliau sosok yang istiqomah dan ikhlas mengurus musholla. Beliau selalu wangi dan rapi ketika mau sholat, ndak Cuma sholat wajib, sholat sunnah pun sama.
Lalu suatu ketika mbak Tria bercerita, mungkin karena keistiqomahan dan keikhlasan Pae itulah mbak Tria bisa berada di posisi yang sekarang. Kata mbak Tria begini,
Pae nggak kenal Kick Andy, jadi Pae pasti ndak pernah minta anaknya buat masuk Kick Andy. Tetapi Allah mengizinkan saya untuk berkesempatan menjadi salah satu yang dihadirkan di Kick Andy. Allah juga mengizinkan saya untuk mencicipi banyak prestasi dan penghargaan-penghargaan. Allah menganugerahi saya ilmu. Itu semua tentu tidak lepas dari ikhtiar dan doa-doa Pae. Bisa jadi apa yang saya raih adalah balasan dari Allah atas keistiqomahan Pae dalam menyegerakan sholat. Jadi, bukan kita yang hebat, keren, cerdas, tetapi karena ada doa orang lain yang diterima dan bisa jadi bukan doa kita sendiri. Jadi, tidak peduli apapun status sosial kita, Allah menerima doa karena kesungguhan dan ketulusannya. Penuhi panggilan Allah sesegera mungkin, karena Allah akan memenuhi sesuatu yang bahkan kita sendiri ga bisa membayangkannya.
..
Sekali lagi, perjalanan saya ke Solo waktu itu benar-benar membelajarkan. Melalui tugas itu, Allah memperkenalkan saya dengan orang-orang yang bisa menjadi virus positif dalam hidup. Allah benar-benar maha Romantis telah menuntun saya melalui berbagai media pembelajaran yang mendewasakan. Dalam ketertatihan yang terkadang terlampau sering dan kekuatan yang berulang kali dihimpun – yang sejatinya juga milik Allah, saya mencoba selalu bersyukur, meski terkadang sulit. Saya selalu yakin bahwa Allah Maha memberi rizki kepada hamba-hambaNya, min haitsu laa yahtasib. Dan rejeki itu dapat berupa lingkungan yang baik, hati yang bersyukur, ilmu, dan Maal. Yang jelas, sebagai hamba, tugas kita hanya yakin bahwa Allah telah menyiapkan dan akan menetapkan yang terbaik untuk kita. Intinya, tetap lakukan ikhtiar dan langitkan doa, selebihnya biar Allah yang mengurus. Karena sungguh, tiada daya dan upaya kecuali milik Allah swt.
..
“Maka ingatlah Aku, Akupun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaKu dan janganlah engkau ingkar kepadaKu” Q.S 2:152
3 COMMENTS
Inspiring ??
Inspiring 🙂
Semangat ges