Perkara Adnan

28 Juni 2050
Avior berjalan menuju ruang kerjanya; sebuah laboratorium penuh dengan instrumen risetnya yang hanya menyisakan sebagian kecil tempat baginya untuk duduk dan meminum secangkir kopi,
“Hey, Avior! Selamat pagi!” Aistennya, Adnan menyapanya sambil melambaikan tangannya, dengan senyuman riang yang selalu tersungging di bibirnya dengan semangat.
“Pagi juga,” Avior membalas tanpa mengindahkan lambaian tangan Adnan dan mengaduk kopi yang berada di tangannya.
“Aduh, judes banget sih ‘bapak’ yang satu ini,” Adnan mendengus geli melihat kelakuan Avior, atasannya yang berlaku seperti bapak-bapak di usianya yang terhitung masih muda, baru dua puluh delapan tahun.
“Berisik,” Avior melempar pulpennya ke arah Adnan, yang tentu meleset, karena Adnan sudah kabur dari hadapannya.
Avior adalah seorang peneliti di bidang neurologi. Sebut namanya di kalangan dokter, maka mereka semua akan mengakui kehebatannya di bidang neurologi. Bukan tanpa sebab Avior dikagumi oleh banyak orang, melainkan karena salah satu terobosannya yaitu membuat android yang kemampuan otaknya melebihi kapasitas otak android pada umumnya. Android itu diberi nama Adnan.
Ya, Adnan adalah sebuah inovasi terbaru yang menjadi pembicaraan di kalangan khalayak umum. Adnan bisa dikatakan sempurna, mulai dari fisik, cara berpikirnya, cara bercandanya, hingga cara berbicaranya dengan manusia seperti biasa. Ia dibuat oleh beberapa peneliti yang handal di bidang-bidang yang berbeda, termasuk Avior. Adnan baru berumur satu tahun, namun jika disandingkan dengan manusia, penampilannya setara dengan anak laki-laki berumur lima belas tahun, dengan kapasitas otak yang jauh melebihi manusia, bahkan gawai tercanggih yang ada pada saat ini. Saking pintarnya, Adnan kini menjadi asisten Avior dalam proyek-proyeknya.
Adnan kini berada dalam tahap analisa, dan Avior memiliki tanggung jawab untuk mengumpulkan data tentang perkembangan yang terjadi dalam otak Adnan. Maka dari itu, Avior berkutat tiap hari di dalam laboratoriumnya untuk menganalisis data yang ada di otak Adnan, mencatat perubahan maupun perkembangan yang terlihat dalam otak Adnan.
Pada saat ini Avior menghela nafasnya dengan lelah, semalam ia tak tidur karena mengamati perkembangan yang ada dalam kepala Adnan yang hanya berupa kode-kode angka yang bisa membuat kepalanya seakan pecah. Gila juga aku lama-lama… Avior mendesah dalam hati.
“Hey, Avior!” Tiba-tiba Adnan mengagetkannya dengan menepuk bahu sang peneliti,
“Adnan! Kau membuat kopiku tumpah! Ah, kau mengganggu pagiku yang tenang,” Avior merutuk, mengambil tisu di samping mejanya untuk membersihkan noda kopi di mejanya, Adnan hanya tertawa tanpa dosa,
“Kan bisa bikin lagi, lagi pula aku tidak sebodoh itu untuk menumpahkan kopimu di bajumu, aku sudah memperhitungkan, hehehe…” Adnan kembali tertawa, membuat Avior menghela nafasnya. Kadang-kadang ia menyesal telah membuat makhluk hidup seperti Adnan. Eh, apakah Adnan makhluk hidup? Atau benda mati? Entahlah, Avior tidak tahu.
“Hey, jangan bengong lagi!” Adnan mengguncangkan bahu Avior,
“Iya iya sabar!” Avior mendecak kesal, menatap ‘bocah’ yang sedari tadi kerjanya hanya menyengir sambil menggaruk kepalanya.
“Hari ini ada apa aja, by the way?” Adnan bertanya kepada Avior,
“Ini,” Avior menjawab seraya memberi setumpuk berkas untuk diperiksa, Adnan membulatkan matanya,
“Banyak banget!” Adnan berkata setelah hening beberapa saat,
“Ya biarin aja, sebagai ganti kamu tadi ngisengin aku,” Avior menjawab, membuat Adnan memanyunkan bibirnya.
“Dasar menyebalkan.”
+0+
Siang telah datang, waktu istirahat pun datang. Avior dan Adnan pun pergi ke kafeteria untuk beristirahat dan makan. Ya, Adnan juga memiliki sistem pencernaan seperti manusia pada umumnya,
“Avior, Adnan, sini!” Seseorang memanggil mereka, tak lain dan tak bukan adalah Nashira, salah satu pengembang Adnan di bidang anatomi,
“Kak Nashira!” Adnan melambaikan tangan seraya berlari menuju wanita dengan pashmina berwarna kelabu, meninggalkan Avior di belakang.
“Kamu mau makan apa hari ini?” Nashira bertanya sambil mengusap surai warna hitam milik Adnan,
“Sama kayak kakak aja deh… Hehehe…” Adnan tertawa, membuat Nashira mencubit pipi Adnan dengan gemas,
“Bareng Nashira panggilnya ‘kakak’, kalau sama aku kok nggak panggil ‘kakak’?” Avior melipat tangannya di dada,
“Karena nggak mau,” Adnan meleletkan lidahnya sebelum berlari menjauhi mereka. Avior tak bisa berkata apa-apa, hanya menepukkan tangannya di keningnya,
“Apa yang aku masukkan ke otaknya waktu itu?” Avior bertanya pada dirinya sendiri, sedangkan Nashira hanya tertawa,
“Dia anak yang pintar, bisa belajar sendirinya,” Nashira menjawab, Avior hanya mendengus kesal dan duduk di seberang Nashira.
“Gimana, perkembangan otaknya?” Nashira bertanya,
“Stabil, dilihat dari datanya tak ada perubahan yang begitu drastis, stabil di rata-rata yang bagus,” Avior menjawab sekenanya. Nashira menganggukkan kepalanya, tanda mengerti, mereka pun terdiam kembali.
“Bagaimana dengan keluargamu?” Nashira bertanya,
“Ada apa dengan keluargaku?” Avior balik bertanya,
“Jangan pura-pura tidak tahu, aku mengenal baik keluargamu sejak kecil, kita tumbuh bersama,” Nashira memiringkan kepalanya. Avior mengusap wajahnya,
“Udah, nggak usah bahas mereka, aku cukup lelah mengurusi bocah satu itu,” Avior berkata. Nashira hanya tersenyum sedih, miris… Ia berkata dalam hati.
“Aku udah mesen makanan!” Tiba-tiba Adnan memotong percakapan mereka, Nashira tersenyum dan merangkul Adnan, mengajaknya duduk di sebelahnya dan mulai mengobrol. Meninggalkan Avior yang tampaknya sedang tenggelam dalam pikirannya.
“Kalian ngobrolin apa pas aku tadi pergi?” Adnan bertanya dengan penasaran,
“Nggak ngobrolin apa-apa, kenapa?” Avior bertanya,
“Jangan bohong, ah, tadi kalian keliatan ngobrol kok!” Adnan berkata, menarik ujung kemeja Avior,
“Nggak apa-apa kok, cuma basa-basi doang,” Avior menghela nafas, mengacak rambut Adnan, dan tersenyum kecil melihat android di sebelahnya yang sudah ia anggap sebagai adiknya.
“Oke,” Adnan mengiyakan, tidak yakin dengan jawaban Avior.
“Malam ini check up lagi?” Adnan mencoba mencari bahan pembicaraan,
“Pasti, kenapa memang?” Avior balik bertanya.
“Nggak apa-apa, nanya aja,” Adnan berkata sebelum menundukkan kepalanya, agak kecewa. Avior hanya tersenyum memaklumi, dan kembali menepuk kepala Adnan.
“Ayo!” Adnan tersenyum sebelum berlari ke arah ruang kerja Avior. Avior tertawa melihat kelakuan Adnan yang seperti anak kecil. Oh! Ia lupa, Adnan memang diciptakan layaknya anak kecil.
+0+
Malam pun tiba, Avior bersama beberapa bodyguard yang menjaganya berjalan dengan Adnan menuju ruang operasi untuk check up, seperti hari-hari sebelumnya.
“Sudah siap?” Avior bertanya,
“Sudah,” Adnan menjawab dengan yakin. Ia pun membaringkan tubuhnya di pembaringan dan menutup matanya. Perlahan-lahan ia merasakan tubuhnya melemah, dan seketika semua menjadi gelap.
Pada saat itu, Avior dan rekan-rekannya telah melakukan prosedur anestesi kepada Adnan, dan saat kesedarannya mulai menghilang, Avior mulai melakukan tugasnya. Prosedur anestesi dilakukan selayaknya dokter melakukan anestesi pada manusia, karena gelombang-gelombang elektron yang Ia menempelkan kepala Adnan dengan beberapa kabel, dan menghubunginya dengan layar hologram di depannya. Ia mulai menata data-data yang terkumpul dari kepala Adnan dalam layarnya sendiri,
“Ada perubahan?” Salah satu asistennya bertanya, Avior memiringkan kepalanya,
“Belum, masih stabil, tapi aku tidak yakin. Aku harus menganalisanya malam ini,” Avior menjawab, lalu mulai melepas kabel-kabel di kepala Adnan dan merapihkannya.
“Bawa dia ke ruangan biasa, dia bangun setengah jam lagi,” Avior memerintah perawat yang ada di dekatnya,
“Baik,” Perawat tersebut berkata dengan singkat dan mendorong kasur tersebut keluar dari ruang operasi,
“Avior, sudah selesai?” Tiba-tiba Nashira menghampirinya, Avior menoleh dan menganggukkan kepalanya dan berjalan bersama Nashira. Mereka berjalan dalam diam, menikmati keheningan di antara mereka. Avior menghela nafasnya, ingatannya kembali kepada masa lalunya, jauh sebelum ia menjadi seorang peneliti di sini.
+0+
“Avior! Shalat duluu! Udahan mainnya, udah maghrib!” Teriakan sang bunda bisa didengar dari dapur.
“Iyaa!” Avior berkata, lalu menaruh konsolnya di lantai, dan pergi ke kamar mandi untuk wudhu dan melaksanakan shalat di masjid.
“Bundaa! Aku ke masjid duluu! Bareng ayah!” Avior berkata sebelum melambaikan tangannya kepada bundanya.
“Iya, hati-hati ya!” Bunda berkata dan tersenyum kepada anak semata wayangnya.
“Ayo nak, nanti keburu qamat,” Ayah berkata sambil merangkul Avior, dan mulai berjalan ke masjid yang jauhnya hanya terpaut dua rumah dari rumahnya sendiri.
Percakapan itu terjadi tiap hari di rumah tangga keluarga Avior selama ia masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, bahkan sekolah menengah atas. Saat kuliah, Avior merantau dari Sumatera ke Jawa, tepatnya Bandung. Ia pergi bersama Nashira, sobat dekatnya sejak kecil.
Avior menjadi murid ‘panutan’ di kampus, parasnya yang menawan, tutur katanya yang tegas, dan otaknya yang sangat pintar. Ia adalah mahasiswa kesayangan para dosen di kampus, semua teman-temannya mengaguminya. Avior menekuni bidang neurologi, cita-citanya sejak kecil.
Namun hal ini membuat Avior kembali berpikir. Teknologi sedang berkembang dengan signifikan pada tahun itu. Teknologi melampaui batasan norma, tanpa ada hukum yang menjelaskan dengan pasti tentang teknologi yang terus berkembang bagai jamur di kayu yang sudah lapuk, baik hukum di Indonesia pada saat itu, maupun hukum di dalam agama. Avior ingat bagaimana ia bertengkar dengan Nashira di ruang rapat, keduanya saling berteriak satu sama lain, melempar berkas, melempar pulpen, melempar apapun yang bisa dilempar. Sejak saat itu, pertemanan Avior dan Nashira renggang, keduanya memiliki pemahaman yang bertolak belakang tentang teknologi.
Namun keduanya kembali bersama pada proyek Adnan. Nashira berurusan dengan anatomi sang android, sedangkan Avior bertanggungjawab untuk otak Adnan, tentang cara berpikirnya, tentang dirinya secara utuh.
“Aku berkontribusi di proyek ini bukan berarti aku setuju dengan semua perkembangan teknologi di dunia,” Nashira berkata suatu hari. Ia masih tidak setuju dengan adanya proyek membuat android yang kemiripannya dengan manusia bahkan mencapai 100%.
“Ini bukan zaman unta lagi, Nashira, berapa kali harus kubilang? Ini zamannya teknologi, tidak bisa disamakan dengan zaman dulu!” Avior mendengus, Nashira menghela nafas. Tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Proyek Adnan berjalan dengan lancar. Seluruh dunia tahu tentang inovasi android terbaru, walaupun hanya prototype. Ini merupakan terobosan bagi dunia teknologi yang sedang ‘panas’ di berbagai tempat. Satu hal yang membedakan Adnan dan android lainnya adalah kemampuannya dalam berpikir, yang sangat mirip dengan manusia. Adnan berpikir layaknya seorang anak berumur lima belas tahun, dengan kapasitas otak yang luar biasa, membuatnya menjadi android yang paling mirip dengan manusia pada zaman ini.
+0+
Nashira menepuk bahu Avior, mengejutkan lelaki yang tengah melamun di koridor,
“Melamun?” Nashira bertanya,
“Ng-nggak,” Avior menjawab, ah, kenapa aku gagap… Ia mendecak kesal dalam hati. Nashira tertawa, melihat tingkah laku ‘kolega’-nya yang lucu. Agak canggung memang, walaupun pertengkaran mereka sudah padam dari dulu, namun masih aneh rasanya berjalan bersama Avior,
“Mau makan, nggak?” Nashira bertanya, mencoba mencari bahan pembicaraan,
“Malem-malem gini?” Avior bertanya dengan heran,
“Lumayan, sambil ngurusin data kamu,” Nashira menjawab. Avior lalu menganggukkan kepalanya, lumayan lah, ada teman buat diajak ngobrol… Ia berkata dalam hati.
Nashira dan Avior akhirnya pergi ke kafeteria Research Center yang buka dua puluh empat jam, dan memesan makanan dan minuman.
“Jadi, gimana?”
“Gimana apanya?” Avior bertanya kembali,
“Keluarga kamu. Mereka satu-satunya yang kamu punya, dan kamu satu-satunya yang mereka punya, nggak baik mutus hubungan kayak gitu,” Nashira menjelaskan,
“Kamu nggak ngerti,” Avior berkata pelan,
“Apa yang aku nggak ngerti? Jelasin,” Nashira menatap Avior dengan tajam.
“Ayah dan Bunda bertengkar denganku lebaran kemarin, karena proyek Adnan, menurut mereka ini sudah melampaui batas,” Avior menjawab, Nashira tersenyum,
“Lalu? Mengapa kau tidak setuju dengan mereka?” Nashira bertanya,
“Cara berpikir itu kuno, jika bisa membuat dunia lebih baik dengan menciptakan Adnan, kenapa tidak? Dia hampir sama dengan manusia, tidak ada salahnya,” Avior menjelaskan. Nashira menganggukkan kepalanya,
“Hanya karena itu kamu tidak mau berhubungan dengan mereka lagi?” Ia bertanya,
“Ya, setiap aku menghubungi mereka, pasti mereka kembali memarahiku lagi,” Avior mengangkat bahunya dan meniup kopinya sebelum menyeruputnya dengan nikmat.
“Mereka bilang selamanya aku tidak bisa menciptakan sesuatu yang serupa dengan manusia, tapi sekarang?” Avior bertanya dan mendecakkan lidahnya. Nashira memutar bola matanya dan bertanya,
“Kapan terakhir kamu video call dengan mereka?”
“Aku bahkan lupa ID untuk video call dengan mereka,” Avior tertawa sedih. Nashira mengangakan bibirnya tak percaya,
“Jangan berbohong padaku,” Nashira berbisik. Avior kembali tertawa, matanya menghindari tatapan Nashira yang seakan menusuknya.
“Untuk apa aku berbohong?” Avior bertanya, Nashira menggelengkan kepalanya,
“Ini tidak baik, Avior, tidak sehat, ini bahaya,”
“Aku tahu, tapi nasi sudah menjadi bubur, aku punya keyakinanku sendiri,” Avior berkata,
“Kamu memang menyulitkan,” Nashira mengusap wajahnya putus asa, berbicara dengan Avior sama dengan berbicara dengan batu, tak ada gunanya.
“Ya, aku punya argumenku sendiri,” Avior menjawab,
“Tapi-“
“Sudahlah, cukup. Aku tidak ingin bertengkar denganmu seperti waktu itu,” Avior menatap mata Nashira, Nashira menyerah.
“Ya sudah, ayo dimakan, keburu dingin,” Nashira menunjuk nasi goreng yang tampaknya sudah mulai mendingin akibat perdebatan kecil mereka.
Avior dan Nashira memakan nasi goreng mereka dalam diam. Tidak ada orang selain mereka dan pegawai di kafeteria, suasananya sangat berbeda dibandingkan siang hari, cukup aneh memang. Avior terbiasa melihat kafeteria di saat yang ramai, melihatnya dalam keadaan yang sepi memang agak aneh.
“Eh, aku ke toilet dulu,” Nashira tiba-tiba memecah keheningan, Avior menganggukkan kepalanya tanpa mengindahkan perkataan Nashira.
“Jagain makanan, takut kena lalat,” Nashira berkata sebelum pergi ke toilet. Avior hanya menggumam tak jelas sebelum Nashira melangkah pergi untuk pergi ke toilet.
Suasana sunyi mengelilingi Avior, namun itu tak menghentikannya meneliti data-data Adnan.
“Kok sepi banget ya…” Avior bertanya pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba bunyi alarm berbunyi, membuat Avior mengernyitkan alisnya dan menatap sekelilingnya dengan bingung,
“Ada apa ini?” Avior bertanya, namun tanpa aba-aba, seluruh sumber cahaya dalam Research Center tersebut padam. Bagaimana dengan Nashira? Ia bertanya dalam hati sebelum mendengar suara teriak. Avior mengenal jelas teriakan itu, itu suara Nashira.
Avior berlari, mencoba membuat suara sesedikit yang bisa ia buat. Ia sadar pasti ada penyerangan seperti ini, dan ‘mereka’ pasti mengincar Adnan untuk menjadikannya alat yang bisa digunakan untuk kejahatan, dan itu adalah hal terakhir yang diinginkan Avior.
Suara ledakan senapan dapat didengar dari seluruh penjuru ruangan, dan itu membuat bulu kuduk Avior berdiri. Ditambah lagi fakta bahwa ia tak bersenjata saat ini, membuat posisinya tertekan. Ia bisa terluka kapanpun dimanapun pada saat ini.
“Siapa di sana!” Seseorang berteriak mendengar langkah sepatu Avior. Avior menahan napasnya, merutuk kakinya sendiri yang gemetar karena takut.
“Tunjukkan siapa kalian!!! Jangan membuatku memuntahkan peluru di sini!!!” Orang itu terus mengancam, membuat Avior semakin ketakutan. Bagaimana tidak? Ia sudah mendengar orang tersebut mempersiapkan pelurunya. Avior hanya bisa berdoa pada Tuhan, setidaknya kalau ia mati, dosa-dosanya diampuni dan ia bisa menutup mata dengan tenang.
Namun ternyata Avior masih diberi kesempatan. Seseorang tiba-tiba membekap mulutnya dari belakang, mencegahnya mengeluarkan suara apapun, siapa ini? Ia bertanya dalam hati. Avior mendengar perlahan-lahan langkah kaki si lelaki tak dikenal itu menjauh, dan ia bersyukur hari ini tak ada timah panas bersarang di tubuhnya. Avior segera membalikkan badannya untuk melihat siapa gerangan yang membekap mulutnya sehingga ia tak dapat bernapas,
“Adnan?!” Avior berseru tertahan, Adnan menempelkan telunjuknya di bibirnya,
“Pelan-pelan, mereka bisa mendengar kita, kak Nashira dalam bahaya!” Adnan menarik ujung kemeja Avior,
“Kamu tahu dia di mana?” Avior bertanya,
“Nggak, efek anestesinya baru selesai satu menit yang lalu,” Adnan menjawab dan menggelengkan kepalanya.
“Jadi kita harus ke mana?” Avior kembali bertanya. Adnan tak menjawab, hanya mulai berjalan, dan Avior hanya bisa mengikutinya.
Tak ada yang mampu bersuara saat keduanya berjalan di koridor yang teramat gelap. Bahkan untuk melangkah pun mereka mengendap-endap, tak berani mengambil resiko jika seseorang atau sekelompok orang menangkap mereka. Pada keadaan ini, Avior dapat mendengar detak jantungnya sendiri. Lampu belum juga hidup, membuat keadaan terasa lebih mencekik.
Rasanya otak encer milik Avior tidak berguna pada saat ini. Ketegangan yang menyelimutinya membuatnya tak bisa berpikir,
“Jangan takut, Avior, kamu tak pernah sendiri,” Adnan berbisik, merasakan suhu tubuh Avior yang berubah,
“Kalau kamu pergi, aku sendiri,” Avior menjawab,
“Kamu bukan sesuatu yang disebut ‘Tuhan’, bukan?” Adnan bertanya kembali, membuat Avior tersentak,
“Dari mana kau tahu?”
“Aku belajar, aku bukan robot pembersih rumah yang berjalan sesuai program,” Adnan menjawab dengan malas. Avior tak berkata apa-apa lagi setelah itu, hanya menelan ludahnya dan kembali mengikuti Adnan.
Lampu tiba-tiba hidup, mengejutkan mereka berdua. Mereka kini berada di dekat tikungan, dan Avior kembali menahan napasnya dengan tegang, semenjak ia mendengar langkah kaki yang mendekat,
“Siapa itu,” Avior berbisik kepada Adnan. Adnan mencoba melihat orang tersebut dari CCTV yang berada tepat di belokan,
“Dua orang laki-laki, badannya besar, baju hitam, membawa pistol,” Adnan berkata.
“Bagaimana ini?” Avior bertanya,
“Aku bisa menghadapi mereka, aku tidak bisa merasakan, tidak apa-apa,” Adnan menjawab. Avior menghela napas,
“Jangan terluka, aku menghabiskan malam-malamku yang harusnya untuk tidur untuk menciptakanmu,” Avior berkata sebelum Adnan berjalan,
“Hei bocah! Sedang apa kamu di sana?!” Salah satu dari orang-orang itu bertanya,
“Aku sedang mencari ayahku, tapi aku tersesat…” Adnan mencoba berbicara dengan sepolos mungkin,
“Baiklah, kalau kau bertemu orang bernama Avior, laporkan kepada kami,”
“Kenapa?” Adnan bertanya,
“Kalau tidak ingin teman baiknya hilang, maka lebih baik serahkan android baru itu kepada kami,” Orang yang di sebelahnya berkata. Adnan menganggukkan kepalanya, untung fotoku belum tersebar di media… Adnan berkata di dalam otaknya,
“Wah, kebetulan sekali, kalian sudah bertemu dengannya,” Adnan berkata sebelum menyerang keduanya dengan totokan jari di bawah telinga, membuat keduanya pingsan,
“Avior! Ayo! Kita hanya punya tiga puluh dua menit!” Adnan berkata, Avior lalu ikut berlari menyusul Adnan,
“Bagaimana kau tahu tentang teknik totok itu? Kapan kau mempelajarinya?” Avior bertanya,
“Aku punya waktu sendiri untuk belajar,” Adnan menjawab selagi berlari,
“Sekarang kita harus ke mana?” Adnan bertanya, Avior mencoba berpikir, di mana kemungkinan ia berada?
“Kita coba ke atap, mungkin dia ada di sana,” Avior berkata, Adnan diam sebentar, memiringkan kepalanya,
“Ayo,” Adnan berkata dan berlari, menarik ujung kemeja Avior.
Avior dan Adnan berlari di tangga darurat, tak berani memakai lift, mereka tak bisa mengambil resiko jika lift telah disadap oleh orang lain,
“Adnan, sebentar! Ini melelahkan…” Avior berkata selagi mengatur napasnya,
“Avior! Come on! Temanmu dalam bahaya!” Adnan menepuk bahu Avior,
“Kamu bukan manusia, Adnan, tolonglah…”
“Sepuluh menit lagi, Avior, kita akan telat, jika kita telat, kita tak bisa menyelamatkan Nashira, ada kemungkinan mereka meledakkan gedung ini!”
“Meledakkan?”
“Tidak ada waktu untuk menjelaskan, ayo, kita harus berlari lagi!” Adnan kembali berlari, diikuti Avior yang sudah mulai kelelahan,
+0+
Nashira ingin menangis, ia ingin kabur, namun ia tidak bisa. Tangannya diikat oleh tali, dan mulutnya ditutup oleh lakban berwarna hitam,
“Kita tunggu Aviornya, jika ia tidak datang, kita bisa lempar dia,” Seseorang berkata dan menyeringai. Tubuh Nashira bergetar, pashminanya sudah berantakan dan wajahnya lebam, ia takut.
“Kau takut?” Seseorang itu bertanya, berjongkok di depan Nashira, yang ditanya hanya menatapnya dengan tajam,
“Dasar, anak muda, aku tahu kamu ketakutan, jangan memberiku tampang seperti itu, tidak sopan, tahu…” Lelaki itu tertawa, menepuk kepala Nashira,
“Ah, sepertinya aku harus meledakkan gedung ini, kesatriamu tidak datang malam ini,” Lelaki yang Nashira tidak kenal itu tertawa.
Tiba-tiba lelaki itu menekan sebuah tombol di tangannya, dan countdown berjumlah lima menit mulai bergerak,
“Lima menit Aviormu tidak datang, aku akan meledakkan gedung ini, persetan dengan androidnya, aku sudah dapat data-datanya…” Lelaki itu tertawa, membuat Nashira membelalakkan matanya, lelaki tersebut tertawa,
“Jika nantinya kamu masih hidup, bilang ke Avior agar tidak memakai WiFi kafeteria sembarangan, dasar, otak encer tapi masalah seperti itu saja bodoh,”
Mereka kembali menunggu, detik-detik penuh ketegangan, keringat bercucuran di keningnya, jantungnya berdebar dengan kencang. Angin berhembus di samping telinga Nashira, membuatnya tubuhnya lebih bergetar dari sebelumnya. Nashira merasa kalau ia mengenal lelaki itu, namun ia lupa, Siapa? Mengapa aku merasa kenal dengannya? Ia terus mencoba mengingat suara itu, karena lelaki itu menutup wajahnya dengan masker, dan keadaan di atap pada saat itu sangatlah gelap.
Satu menit telah berlalu, tangan Nashira berkeringat karena ketakutan, sebentar lagi aku akan pergi… Nashira berkata dalam hati, sebelum tiba-tiba seseorang mendobrak pintu masuk ke atap,
“Lepaskan dia!”
+0+
Avior mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari di tangga. Berlari dari lantai tiga ke lantai dua belas dengan tangga bukanlah suatu hal mudah bagi Avior yang terbiasa duduk di kursi dan menatap layar hologram. Berbeda dengan Adnan yang bahkan tidak mengenal apa itu lelah.
“Sebentar lagi kita sampai… Awas saja kalau ternyata mereka tidak ada di sana!” Adnan merutuk sambil tetap berlari,
“Aku yakin, perasaanku mereka ada di sini…” Avior berbisik, nafasnya masih terengah karena tak berhenti berlari sedari tadi,
“Apa yang membuatmu yakin mereka ada di sana? Kemungkinannya sangat banyak, kenapa harus ke atap?” Adnan bertanya,
“Perasaanku berkata bahwa mereka ada di sana…”
“Apa itu perasaan?” Adnan kembali bertanya. Avior terdiam, tak menjawab. Ia juga tidak tahu apa yang harus dijawab,
“Kita harus lari, Nashira dalam bahaya,” Avior berkata, mengalihkan pembicaraan. Adnan mengetahui itu, namun ia membiarkannya.
Lima menit berlalu sampai akhirnya ia sampai di lantai sebelas. Kaki Avior serasa mau lepas dari panggulnya,
“Apa rencana kita saat sampai di atas?” Avior bertanya, Adnan menoleh,
“Akan kurencanakan setelah kita ada di atas, aku tidak tahu keadaannya di atas sana,” Adnan menjawab.
“Baiklah,” Avior mengiyakan dan kembali berlari menuju lantai terakhir di gedung tersebut.
Satu langkah terakhir, Avior dan Adnan pun sampai di lantai teratas Research Center ini.
“Kau siap?” Avior bertanya pada Adnan, Adnan menganggukkan kepalanya dengan mantap dan menendang pintu yang ada di depan mereka hingga roboh,
“Lepaskan dia!”
+0+
Semua terdiam, mendengarkan angin yang bertiup dengan kencang malam itu. Helikopter terbang di atas mereka, ternyata polisi telah mengetahui berita tersebut, namun tak ada yang berani melakukan apapun, si lelaki dengan masker ternyata sudah berdiri di ujung gedung, membawa Nashira bersamanya, dengan pistol yang sudah menempel di kepalanya.
“Ah, ternyata kau yang bernama Avior, senang bertemu denganmu…” Lelaki tersebut berkata, Avior dapat merasakan seringai lelaki tersebut di balik maskernya,
“Kau mengenalku, kenalkan siapa dirimu padaku,” Avior menjawab dengan tenang.
“Baiklah,” Lelaki tersebut berkata dan membuka maskernya. Avior tersentak melihat wajah yang sangat ia kenal itu.
“Orion?” Avior bertanya tak percaya, menatap sosok jangkung di depannya.
Orion notabenenya adalah sahabat Avior dan Nashira, mereka bertiga adalah sahabat yang tampaknya tidak bisa dipisahkan. Mereka bersahabat dari kecil, hingga terpisah saat kuliah, Avior dan Nashira tetap bersama, sedangkan Orion berkuliah di tempat yang berbeda dengan mereka. Sejak itu Nashira dan Avior tak pernah melihat Orion lagi. Mereka bahkan tak pernah mendengar berita dari Orion sejak mereka berpisah, padahal dulu mereka berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain. Namun pada akhirnya mereka tetap berpisah.
Avior dan Nashira menatap Orion yang kini tertawa puas, Nashira mulai meneteskan air matanya,
“Mengapa kau melakukan ini?” Avior bertanya, suaranya bergetar. Orion mendengus,
“Kau masih bertanya mengapa?” Orion membalikkan pertanyaannya.
“Ya, mengapa?” Avior mendesak,
“Kalian pernah berjanji untuk tidak pernah meninggalkanku? Iya kan? Tapi kalian tetap meninggalkanku!!! Mana janji kalian!!!” Orion berteriak,
“Orion-“
“Selain itu aku dengar kalian mengembangkan android baru, akan menjadi sebuah hadiah bagus bagiku sebelum meledakkan gedung ini,” Orion berkata, menunjukkan countdown yang menyisakan dua menit,
“Orion, kau gila-“
“Ya, memang, siapa yang bilang aku waras?” Orion tertawa sarkas, tanpa menyadari bahwa Adnan tengah menghampirinya diam-diam.
Tanpa aba-aba Adnan berlari menuju posisi Orion dan menyentak pistol yang ada di kening Nashira. Otomatis tubuh Orion terdorong ke belakang, namun dengan sigap Adnan menarik tubuh Nashira, namun apa yang dilakukan Avior saat itu membuat Adnan tidak memercayai matanya,
“Untuk apa kau memegangi tangannya, Avior?!!!” Adnan berteriak. Ya, Avior memegang tangan Orion yang hampir terjatuh,
“Dia sahabatku, Adnan, aku tidak bisa membiarkannya mati di depan mataku!”
“Gedung ini akan meledak sebentar lagi, Avior, kamu mau mati? Kita semua akan hancur jika tetap di sini, tinggalkan dia!”
“Kau tidak mengerti, Adnan, kau tidak mengerti!” Avior membalas teriakannya, air mata sudah terkumpul di pelupuk matanya,
“Apa yang aku tidak mengerti, Avior?! APA?!!” Adnan berteriak melawan suara helikopter yang mendekati mereka,
“Kau punya akal, tapi kau tidak punya hati, tidak punya qalbu,” Avior berkata, mencoba menarik tangan Orion pelan-pelan, namun pasti.
“Tetapi dua puluh dua detik lagi gedung ini akan meledak! Apa kau tidak mengerti?! Waktu yang dibutuhkan untuk menariknya dan pergi ke helikopter-“
“Pergi ke helikopter sekarang, jangan tunggu aku,”
“Tapi nanti-“
“Cepat! Sekarang! Ini perintahku!!!” Avior berteriak. Adnan tak memiliki pilihan lain selain menuruti, dan mulai menuntun Nashira menaiki helikopter, waktu tersisa sepuluh detik lagi,
“Ayo cepat, Orion…” Avior menarik tangannya. Orion tak berkata apa-apa, masih terkejut dengan semuanya, ia pun berjalan dengan kaki yang masih bergetar, dan berjalan ke arah helikopter.
“Lima detik lagi, cepat!” Avior mendorong Orion ke tangga helikopter, Orion hanya terhuyung dan memanjat tangga tersebut, diikuti oleh Avior di belakangnya.
5
4
3
2
1
Gedung tersebut meledak diiringi teriakan dari bibir seorang Avior, memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya, termasuk Orion.
“Avior!” Orion berteriak dan meraih tangan Avior yang terlepas karena terkejut. Ternyata kaki Avior terkena sebagian kecil dari ledakan, dan kakinya terkena serpihan gedung yang meledak, membuatnya terkejut kesakitan. Orion menarik tangan Avior seraya mencoba memanjat tangga tali tersebut, dibantu oleh operator di helikopter yang menggulung tali tersebut,
“Bertahanlah!” Orion berteriak, Avior hanya mengangguk lemah, tidak mendengar lagi apa yang Orion katakan,
Sesampainya Orion mengangkat tubuh Avior ke helikopter, tim medis langsung mengobatinya. Orion masih terkejut melihat keadaan sahabatnya yang bahkan mengorbankan diri untuk dirinya yang sudah berbuat jahat.
“Dia tidak akan apa-apa, kan?” Orion bertanya dengan suara yang bergetar,
“Jika diobati dengan cepat, ya,” salah seorang dokter berkata tanpa mengalihkan perhatiannya dari luka Avior,
Sementara itu Adnan menatap Avior dan Orion, tidak paham. Jujur, semua ini sangat membingungkan untuk sebuah android sepertinya. Bagi Adnan, semua ini tidak masuk logika, mengapa orang jahat seperti itu malah dibantu? Padahal biarkan mati saja…
“Kau pasti bingung dengan ini semua, kan?” Nashira bertanya, ia sudah agak tenang dengan keadaannya, Adnan menoleh dan menganggukkan kepalanya,
“Tidak apa-apa, wajar, memang,” Nashira tertawa dan menepuk kepala Adnan,
“Mengapa aku tidak mengerti ini?” Adnan bertanya,
“Karena ada yang membedakan antara kita, Adnan,”
“Apa?”
“Kalian memiliki kemampuan berpikir serta analisis yang jauh lebih tinggi daripada kaum manusia, kalian memiliki fisik yang jauh lebih kuat dari pada kita, namun ada satu hal yang kami punya, namun kalian tidak punya,” Nashira tersenyum, Adnan memiringkan kepalanya,
“Apa itu, kak?” Adnan bertanya dengan penasaran,
“Yang tadi Avior katakan,” Nashira tersenyum,
“Hati? Qalbu?” Adnan kembali bertanya. Nashira menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil,
“Ya, kami punya hati dan qalbu untuk merasakan, untuk berempati, untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, untuk menoleransi,” Nashira menjelaskan, Adnan terdiam,
“Pantas saja,” Adnan berkata, tersenyum,
“Pantas saja apa?”
“Pantas saja Avior tetap menyelamatkan orang itu, padahal jelas sekali orang itu akan meledakkan gedung itu dan hampir membunuhmu,” Adnan mengangguk-anggukkan kepalanya, walaupun hal itu masih tidak masuk akal dalam pemikirannya, tapi kenapa? Ia bertanya di dalam kepalanya dengan sangat bingung.
“Ya, itulah manusia,” Nashira berkata sebelum menutup matanya karena mengantuk.
Polisi sudah menunggu di landasan helikopter pada malam itu, lengkap dengan android lain dengan persenjataan lengkap. Avior langsung dibawa oleh tim medis ke UGD untuk ditangani lebih lanjut, karena tidak semua serpihan bangunan bisa diambil di dalam helikopter,
“Berhenti di sana! Yang berbaju hitam!” Inspektur polisi memberhentikan semuanya,
“Anda ditangkap karena aksi terorisme dan percobaan pembunuhan, silahkan ikuti kami, kalau tidak, kami harus memakai kekerasan,” ia melanjutkan sambil mengacungkan pistolnya di depan wajah Orion, waspada jika orang di depannya akan melawan, karena ia tahu lelaki dengan baju hitam itu bukan main-main.
“Baiklah,” Orion menjawab dengan pelan, dan menyerahkan kedua tangannya untuk diborgol oleh android yang ada di belakangnya,
“Bagus,” Inspektur tersebut berkata dan menurunkan pistolnya dari wajah Orion,
“Bawa dia ke penjara sebelum diadili, sekarang,” Sang inspsektur berkata sebelum membalikkan badannya.
“Kau yang namanya Adnan?” Tiba-tiba inspektur itu bertanya, Adnan menganggukkan kepalanya,
“Iya, ada apa?”
“Kamu memang berbeda dengan android lain, ya, aku hampir mengira kalau kau manusia biasa,” Inspektur itu tertawa sambil melipat tangannya,
“Memang apa yang membedakanku dengan manusia lain? Kak Nashira bilang itu yang disebut perasaan,” Adnan bertanya, masih penasaran dengan hal tersebut,
“Perasaan, ya…” Inspektur itu tersenyum,
“Ya, aku mencoba memahaminya dari tadi di helikopter, tapi aku masih tidak mengerti mengapa Avior mengorbankan dirinya hanya untuk menyelamatkan orang yang bahkan mencoba membunuhnya,” Adnan menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Itulah manusia, Adnan, kami diciptakan dengan apa yang dinamakan qalbu,”
“Aku mendengar banyak kata itu dari Avior dan kak Nashira,” Adnan memotong perkataan Inspektur tersebut,
“Oh, iya, ngomong-ngomong nama bapak siapa?” Adnan kembali bertanya,
“Zaidan,” Inspektur Zidan menjawab,
“Jadi, apa itu qalbu?” Adnan bertanya dengan penasaran.
“Hmm… Bagaimana aku menjelaskannya ya? Qalbu itu sebenarnya tidak ada secara fisik, namun dia ada di dalam tiap tubuh manusia, sejahat atau sebaik apapun orang, pasti memiliki qalbu,” Zaidan berkata sebelum menghela napasnya,
“Bagaimana dia ada kalau memang tidak ada secara fisik?” Adnan kembali bertanya,
“Karena kita diciptakan seperti itu, sama jika aku bertanya, dari mana kau memiliki kemampuan berpikir sehebat dan sekencang itu?” Zaidan balik bertanya,
“Karena Avior menciptakanku seperti itu,” Adnan menjawab.
“Sekarang kau tahu, kan? Keberadaan qalbu sama dengan alasan mengapa kau diciptakan seperti ini,” Zaidan berkata,
“Lalu apa itu qalbu?”
“Qalbu adalah organ tidak berwujud, namun akan menjadi kotor ketika ia berbuat kejahatan atau, maksiat,” Zaidan mencoba menjelaskan.
“Qalbu yang bisa merasakan mana yang baik dan mana yang buruk, semakin bersih qalbu, semakin peka juga ia terhadap kejahatan dan kebaikan yang ada di dunia ini,”
“Tapi bukankah hal itu bisa dilakukan dengan logika?” Adnan bertanya,
“Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dipirkan dengan logika, Adnan…” Zaidan berkata sebelum mengacak rambut Adnan yang sangat halus,
“Seperti?”
“Seperti yang kau baru lihat, Avior menyelamatkan Orion. Secara logika memang lebih baik membiarkan Orion jatuh dari gedung, daripada menyelamatkannya, iya bukan?”
“Ya!”
“Tapi di satu sisi, Avior masih percaya ada sisi baik dalam diri Orion,”
“Dari mana Avior tahu ada kebaikan dalam Orion?”
“Qalbu,” Zaidan menjawab dengan singkat. Adnan terdiam, bingung mau menjawab apa, mencoba memahaminya sendiri percakapannya dengan Inspektur Zaidan di kepalanya.
“Mau ke bawah?” Zaidan bertanya, Adnan menganggukkan kepalanya,
“Boleh,” Adnan mengiyakan dan berjalan menjauh dari landasan helikopter, menuju gedung rumah sakit.
“Avior di mana?” Adnan bertanya kepada Zaidan,
“Kemungkinan ada di ruang rawat, ayo kita tanya,” Zaidan merangkul bahu Adnan dan berjalan bersama menuju lobi untuk bertanya pada suster,
“Oh, pasien Avior sekarang berada di kamar 271, anda boleh mengunjunginya, tapi anak kecil…” Suster itu berkata dengan ragu, Zaidan tertawa,
“Dia android, tidak usah khawatir,”
“Oh, baiklah…” Suster itu berkata, wajahnya memerah karena malu mengira Adnan adalah manusia,
“Silahkan, mau diantar?” Suster tersebut bertanya,
“Tidak usah, terima kasih,” Zaidan menjawab sambil menggelengkan kepalanya, mengajak Adnan untuk pergi,
“Ayo,” Zaidan melambaikan tangannya,
“Apakah dia akan baik-baik saja?” Adnan bertanya, melihat keadaan luka Avior tadi, membuatnya tidak yakin jika bertahan,
“Dia akan baik-baik saja,”
“Benarkah?”
“Ya, nah, ini kamar dia,” Zaidan berkata sebelum membuka pintu tersebut, menunjukkan Avior yang kini sedang duduk di bangsal pasien dengan kaki yang diperban.
“Avior!” Adnan memanggilnya dan berlari ke samping kasur untuk melihat Avior,
“Aku kira kamu bakal mati!” Adnan berkata, sebelum dapat sentilan di keningnya sendiri,
“Nggak sakit tuh!” Adnan menjulurkan lidahnya, membuat Avior tertawa melihatnya,
Mereka bertiga terdiam, tidak ada yang berbicara. Malam tersebut menjadi malam yang sangat mengejutkan bagi mereka semua, mulai dari Orion, hingga ledakan gedung. Namun senyap itu pecah ketika seseorang membuka pintu,
“Nashira?” Avior bertanya, Nashira tersenyum,
“Bagaimana kabarmu?” Nashira bertanya,
“Ya, seperti ini, masih diperban,” Avior berkata dan kembali bertanya,
“Bagaimana denganmu?”
“Aku sudah dicek di UGD, hanya luka-luka minor,” Nashira menjawab, Avior mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka semua kembali terdiam dan menikmati malam itu di ruang rawat Avior dalam sunyi.
+0+
“AVIOOR!!!” Adnan berteriak, membuat Avior menutup telinganya dengan kesal. Enam bulan telah berlalu setelah kejadian itu terjadi, dan mereka sekarang berada di gedung baru Research Center tempat mereka bekerja,
“Ada apa, sih?” Avior bertanya, Adnan hanya tertawa,
“Kak Nashira manggil!” Adnan berkata,
“Di mana?”
“Tadi di ruang kerjanya,” Adnan menjawab.
“Oh, iya, kamu tunggu aja di sini,” Avior berkata dan menunjuk sofa yang ada di ruangan mereka.
Avior berjalan, kakinya kini sudah sembuh dengan sempurna, terimakasih untuk tim medis yang menangani luka-lukanya dengan baik. Beberapa orang yang melewatinya menyapanya dengan hangat, dan juga menyapanya dengan hormat, mengingat apa yang telah ia lakukan pada waktu itu.
“Ada apa, Nashira?” Avior bertanya, Nashira menoleh dari kursinya,
“Ah, kau sudah datang,” Nashira tersenyum dan menatap Avior,
“Ada apa?”
“Aku bakal pulang kampung minggu depan, mau ikut?” Nashira bertanya, Avior terkejut,
“Pulang kampung?” Avior kembali bertanya tidak percaya. Nashira menganggukkan kepalanya,
“Ya, bentar lagi tahun baru, kamu tidak ingin bertemu dengan keluargamu? Setidaknya temui mereka, secanggung apapun kalian, mereka tetap keluargamu,” Nashira berkata,
“Baiklah…” Avior berkata, agak tidak yakin dengan jawabannya sendiri.
“Oke, kita berangkat minggu depan! Hari Senin,” Nashira berkata, Avior menghela nafasnya. Senin, berarti lima hari lagi…
Hari yang ditunggu oleh Nashira, namun tidak oleh Avior pun tiba. Hari Senin. Avior mencoba menenangkan dirinya, ia sangat tegang pada saat itu, rasanya hampir sama pada saat ‘petualangan’ mereka di gedung lama,
“Kenapa harus tegang, sih? Kan cuma pulang kampung aja,” Adnan yang hari itu ikut mengantar mereka,
“Berisik, bocah,”
“Aku bukan bocah, aku android,” Adnan menjawab, membuat Avior menjambak rambutnya sendiri dengan kesal, Nashira hanya tertawa,
“Jangan berdebat dengannya, Avior, tidak ada gunanya,” Nashira berkata, menggeleng-gelengkan kepala melihat makhluk dan penciptanya berdebat bagai tiada akhir,
“Kamu juga diam, kalian semua menyebalkan,” Avior mendengus, membuat Nashira tertawa semakin kencang, membuat Avior memutar bola matanya dan tidak berbicara hingga mereka sampai di bandara.
“Hati-hati, kalian berdua!” Adnan berkata sebelum Avior dan Nashira pergi ke lobi bandara,
“Iya, kamu juga!” Nashira tersenyum,
“Jangan kabur-kabur ya, bocah,” Avior menyentil kening Adnan sambil tertawa kecil,
“Ih, ngapain juga, kabur? Udah, sana, pergi!” Adnan mendorong tubuh Avior main-main,
“Bentar lagi take-off, kita harus pergi,” Nashira tiba-tiba menginterupsi percakapan Avior dan Adnan,
“Oh, iya! Benar juga, kita harus pergi, ya, jaga diri baik-baik, jangan merepotkan orang-orang di Research Center,” Avior berkata sebelum melambaikan tangannya ke Adnan.
“Iya… Iyaa… Aku tahu!”
+0+
Dua jam telah berlalu, Nashira dan Avior tiba di Medan. Avior meregangkan tangannya yang pegal karena duduk di pesawat terlalu lama,
“Mau langsung ke perumahan aja?” Nashira bertanya, Avior menganggukkan kepalanya,
“Boleh,” Ia menjawab dengan singkat. Nashira pun segera menyewa mobil untuk mereka kendarai ke perumahan tempat mereka tinggal.
“Aku saja yang nyetir,” Avior menawarkan,
“Tidak usah, kita pakai autopilot saja,” Nashira berkata, Avior hanya mengiyakan dan mulai menyalakan mobil tersebut.
“Apa yang akan mereka katakan ketika aku sampai di rumah?” Avior bertanya,
“Tenang saja, mereka tidak akan marah, kamu tetap menjadi anak dari orangtuamu, mustahil jika mereka membencimu hanya karena masalah ini,” Nashira menenangkan,
“Tapi aku sudah melewati batasku sebagai seorang anak, mereka mungkin tidak mau memaafkanku,”
“Maka dari itu kita harus mendatangi mereka, Avior, kalau ada masalah ya harus dihadapi, bukan dihindari,”
“Mudah untuk dikatakan, tapi sulit dilakukan,”
“Itulah mengapa aku yang mengajakmu ke sini, Avior. Aku tahu kamu tidak akan berkutik jika aku tidak mengajakmu,” Nashira menyunggingkan senyumnya.
“Dasar, jadi kau mengajakku pulang kampung hanya untuk ini?” Avior bertanya,
“Ya nggak juga, aku juga rindu keluargaku, aku ingin mengunjungi mereka, setidaknya setahun sekali,”
“Mengapa kau sangat peduli denganku?” Avior bertanya setelah sunyi beberapa saat. Nashira menghela napasnya,
“Aku tidak mau sahabatku seperti ini terus, Avior. Aku ingin dia merasakan hangatnya kekeluargaan sebelum semuanya telat,” Nashira melembutkan suaranya.
“Terlambat? Apa maksudmu?”
“Kau ini bodoh atau apa? Kau akan menyesal kalau suatu hari ayah atau bundamu meninggal sebelum kau bisa menyelesaikan masalahmu dengan mereka!” Nashira berseru.
“Yang sudah mati tidak bisa dihidupkan, Avior, tidak bisa. Secanggih apapun teknologi yang ada, setiap orang memiliki benang waktunya sendiri, kematian tidak bisa dimanipulasi, jangan berbohong, aku tahu apa yang ada di pikiranmu sekarang,” ia melanjutkan,
“Bagaimana kau tahu?” Avior bertanya,
“Aku hapal jalan pikirmu, Avior, jangan meremehkanku,” Nashira menjawab.
Suasana mobil kembali sunyi. Avior dapat melihat kepala Nashira terantuk karena ia mengantuk, dan tak lama kemudian ia pun tertidur. Avior tertawa kecil melihat wajah Nashira yang tertidur, mengingatkannya pada masa kecilnya. Masa kecil di mana Nashira dan Orion sering menginap di rumahnya, bermain bersama, dan akhirnya tak sengaja ketiduran. Wajah itu sama dengan wajah yang Avior lihat saat ini, perbedaannya hanya struktur wajahnya yang semakin dewasa, dan perawakannya yang berbeda.
Ah, berbicara tentang masa lalu, Avior jadi mengingat masa-masa kecilnya bermain di depan rumahnya. Matahari bersinar begitu terik, membuat udara terasa begitu panas, namun semilir angin selalu menyertai mereka kapanpun mentari bersinar. Avior ingat betapa asiknya dulu pulang dari sekolah dengan seragam merah putih dan langsung bermain petak umpet bersama teman-temannya. Ia ingat betul bagaimana keadaan di sekitarnya saat mereka bermain-main. Menyenangkan, namun semuanya selesai setelah ibunya memanggil untuk pulang, karena sudah Maghrib.
Avior tiba-tiba terkejut dari lamunannya. Sepertinya aku mengenal tempat ini… Avior berkata dalam hati. Sekelabat ingatan muncul di kepalanya, bermain petak umpet, rumput tinggi, serangga, panas matahari… Ini sudah dekat di perumahan! Ia berkata dalam hati,
“Nashira, bangun,” Avior menggoyangkan bahu Nashira,
“Hmm?”
“Kita hampir sampai,” Avior berkata,
“Oh, beneran?” Nashira bertanya, mengusap matanya. Nashira menatap hologram GPS yang terdapat di depannya,
“Wah, iya! Kita sudah hampir sampai! Kamu masih ingat? Aku saja hampir lupa,” Nashira tertawa,
“Nggak tahu, tiba-tiba saja aku ingat,” Avior menjawab. Ia juga tidak tahu mengapa ia mengingatnya, padahal ia sudah mencoba melupakannya sejak lama.
“Hebat juga ingatanmu,” Nashira memuji sebelum mendecakkan lidahnya.
“Kita harus bersiap-siap,” Avior merapihkan bajunya,
“Tenang saja, Avior, tidak perlu tegang,” Nashira menenangkan, ia dapat merasakan lelaki di sebelahnya sangatlah tegang, terlihat dari gestur yang dilakukan oleh Avior,
“Gampang buat kamu ngomong kayak gitu…” Avior berkata dengan kesal, Nashira tertawa.
“Udah, nggak usah dipikirin,” Nashira tersenyum kecil. Avior mengusap wajahnya dan menganggukkan kepalanya,
“Kita sudah sampai,” Nashira tiba-tiba berkata, sesaat mobil tersebut berhenti dan memberi notifikasi bahwa mereka sudah sampai. Avior menelan ludahnya dan menarik napas dalam-dalam.
Avior mengambil koper miliknya dan koper milik Nashira untuk dibawa, sedangkan Nashira memimpin jalannya,
“Kau masih ingat kita suka bermain di sini? Aku mengingatnya dikit-dikit,” Nashira bertanya,
“Ya, kalau sudah Maghrib bunda langsung berteriak memanggil kita,” Avior tertawa kecil,
“Iya, langsung ke masjid kan? Itu masjidnya, bukan?” Avior menunjuk sebuah masjid yang berada di kanan jalan,
“Benar, masjidnya sudah banyak direnovasi, ya, ternyata,” Nashira berkata dengan kagum, melihat desain masjid yang sangat berubah, dulu penuh dengan ukiran tradisional, sekarang terlihat sangat modern dan minimalis,
“Berarti tinggal belok ke kanan, terus nyampe ke rumah kita, kan?” Avior bertanya, kebetulan rumah mereka bersebelahan, dan rumah mereka berada di jalan yang kecil, sehingga mobil tidak akan bisa masuk ke sana. Avior berhenti,
“Kenapa berhenti?” Nashira bertanya,
“Aku belum siap…” Avior berbisik, Nashira menatapnya dengan sedih dan kecewa,
“Ini bukan masalah siap tidak siap lagi, Avior. Kita sudah di sini, there’s no turning back, ayo, tinggal sedikit lagi, kamu bisa melakukannya…” Nashira mencoba meyakinkan Avior, yang tampak ragu-ragu.
“Kamu bisa,” Nashira meyakinkan Avior. Akhirnya lelaki itu setuju, dan mencoba melangkah mendekat ke rumahnya.
Avior dan Nashira melangkah ke arah gang yang terlihat sepi, karena udara yang panas, tidak ada yang mau bermain di udara yang terik seperti ini.
“Tidak ada yang berubah…” Avior berkata, menatap rumah yang dulu adalah tempatnya berlindung dari segala bahaya. Sederhana, rumah tersebut terbuat dari plester, dengan pintu kayu, dan halaman kecil di depannya.
“Assalamu’alaikum…” Nashira mengetuk pintu tiga kali, menunggu jawaban dari dalam,
“Wa’alaikumsalam, eh, Nashira! Udah lama nggak ketemu! Dateng sam siapa? Oh-“
“Ini aku, bunda…” Avior menggaruk tengkuknya dengan canggung, dan mengulurkan tangannya untuk salam. Bunda lalu menyambut tangannya, dan mengelus rambut Avior yang tengah menunduk,
“Makin tampan kamu, nak…” Bunda berkata dan tersenyum, sebelum memeluk anak semata wayangnya, Avior membalas pelukan hangat sang bunda.
“Udah udah, nggak enak dilihat sama Nashira, ayo, masuk dulu! Di luar panas…” Bunda menarik tangan Avior dan Nashira dengan lembut,
“Ayah ada di dalam?”
“Ada, lagi tidur siang,” Bunda menjawab. Avior hanya menganggukkan kepalanya, memilih untuk tidak masuk ke kamar tidur ayahnya. Membangunkan ayah saat tidur siang bukanlah ide yang baik.
“Kalian mau makan dulu?”
“Boleh…” Avior menjawab. Nashira hanya tersenyum melihat Avior yang terlihat sangat berbeda dari biasanya. Jika biasanya dia terlihat menyebalkan, sekarang dia terlihat sangat tenang dan ‘baik’.
“Sebentar, ya… Bunda masak dulu, kalian istirahat dulu di sini, masih inget kan, kalau mau minum ambil di mana? Ambil aja sendiri, ya!” Bunda berkata sebelum beranjak ke dapur, meninggalkan Avior dan Nashira berdua di ruang tamu.
“Baik-baik saja, kan?” Nashira bertanya,
“Iya… Tapi aku nggak tahu dengan ayah…” Avior berkata, gelas yang dipegangnya bergetar,
“Minum dulu, tenang…” Nashira menyentuh gelas yang dipegang Avior.
“I…Iya…” Avior berkata sebelulm menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Sudah tenang?” Nashira bertanya, Avior menganggukkan kepalanya.
Yang terdengar dalam ruangan tersebut hanyalah tarikan napas Avior yang masih panik. Nashira masih menatap Avior dengan khawatir.
“Ada apa ini?” seseorang tiba-tiba mendatangi mereka, Nashira memandangnya,
“Oh, paman! Ini Nashira,” Nashira bangkit lalu mengulurkan tangan ke ayah untuk salam,
“Avior,” Ayah memanggil dengan tidak percaya, Avior hanya bisa menatap ayahnya. Ada banyak yang terjadi dalam pupil Avior; ketakutan, rindu, sayang, dan keraguan, semua tercampur dalam tatapan mata Avior. Avior pun berdiri dan pelan-pelan menghampiri ayahnya,
“Sini, peluk ayah,” Ayah berkata dan tersenyum pelan, Avior menghampirinya dan memeluk ayahnya,
“Dasar anak bandel, kenapa nggak pernah video call kami, hm?” Ayah bertanya,
“Aku kira ayah nggak bakal menjawab karena debat kita waktu itu…”
“Dasar, konyolnya nggak berubah dari dulu ternyata…” Ayah memukul punggung Avior dengan pelan,
“Gimana keadaan kamu? Luka-lukanya masih ada? Ayah sungguh khawatir mendengar kabar itu di berita,” Ayah berkata sambil menepuk bahu Avior,
“Sudah sembuh, yah, nggak usah khawatir,” Avior berkata dan tersenyum ke arah ayahnya,
“Bunda di mana?”
“Lagi masak di dapur,”
“Oh, eh, tapi kalian kapan sampai di sini?” Ayah bertanya dengan penasaran,
“Tadi, pas ayah lagi tidur siang,” Avior menjawab.
“Wah, pantas saja ayah tidak melihat kalian datang,”
“Eh, ayah sudah bangun?” tiba-tiba bunda datang, ayah hanya terkekeh,
“Namanya juga sudah tua, semakin cepat lelah…” Ayah berkata sambil tertawa. Bunda mencubit pinggang ayah,
“Udah, ayo, makan dulu!” Bunda berkata sambil berjalan menuju dapur, yang menyatu dengan ruang makan.
“Bunda masak apa?”
“Mie Aceh,” Bunda menjawab dengan singkat, ia sedang sibuk membagi mie aceh kepada semua yang berada di sana.
Ayah, bunda, Nashira dan Avior pun duduk di meja makan dan memakan mie aceh dengan lahap,
“Waah, masakan bunda memang paling enak!” Nashira berkata setelah menelan satu suap,
“Ah, kamu bisa saja, masakan bunda biasa aja, ah…” Bunda tertawa melihat Nashira yang dengan lahap memakan masakannya.
“Bagaimana, kerjaan kalian di Bandung?” Bunda bertanya di tengah makan siang tersebut.
“Ya… Seperti biasa, sibuk, sampai malam…” Avior berkata dan tersenyum,
“Biasanya lembur sampai jam berapa?” Kini giliran Ayah bertanya kepada Avior dan Nashira,
“Biasanya nggak tidur,” Avior dan Nashira menjawab hampir bersamaan, membuat ayah dan bunda menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Dasar kalian, jangan sampai sakit!” Bunda berkata dengan khawatir. Avior hanya tertawa, ia terbiasa dengan karakter bundanya yang terlalu khawatir dalam beberapa keadaan,
“Iya, bunda, nggak apa-apa kok! Sudah biasa,” Nashira menenangkan bunda,
“Sudahlah, bun, mereka tahu cara melindungi diri mereka sendiri, tidak usah khawatir,” Ayah akhirnya berkata,
“Tapi kan, tetap saja-”
“Sudah bun, sudah…” Ayah memotong perkataan bunda. Avior hanya mengulum senyumnya,
“Jadi, Avior, Nashira, bagaimana proyek android kalian itu? Siapa namanya? Adnan?” Ayah bertanya, membuat Avior dan Nashira saling menatap,
“Baik-baik saja, yah, perkembangannya stabil,” Nashira menjawab dengan agak canggung,
“Oh, ayah dengar teroris kemarin mengincar Adnan, benarkah?” Ayah bertanya,
“Ya, orang itu hampir mendapatkannya, ia sudah meretas data Adnan sebelum meledakkan gedung itu, untung saja dia tertangkap,” Nashira menjawab. Pada saat ini semua orang belum tahu bahwa Orion lah pelaku terorisme tersebut,
“Tapi dia sudah ditangkap, kan?”
“Sudah,” Avior dan Nashira berkata bersamaan,
“Oh, kalian… Tahukah kalian betapa takutnya bunda dengan kabar itu…” Bunda menyentuh dadanya dengan dramatis,
“Hitung-hitung resiko pekerjaan, bun,” Avior menjawab dengan santai, bunda lalu memukul bahu Avior,
“Jangan bicara seperti itu!”
“Iya maaf bun,” Avior meminta maaf, karena tak ada gunanya berdebat dengan bundanya pada saat ini.
“Kamu tidak apa-apa, Nashira? Kamu disekap dengannya?” Bunda kini beralih kepada Nashira,
“Hanya luka-luka minor, bun, tidak parah…” Nashira berkata, menenangkan bunda,
“Tapi kau tidak apa-apa, kan? Kau ditarik ke ujung gedung…”
“Aku takut pada waktu itu, bun, tapi aku sudah baik-baik saja sekarang, beruntung aku tidak terkena PTSD,” Nashira melanjutkan,
“Oh… Baguslah, bunda takut ada apa-apa denganmu, beritanya selama enam bulan ini berseliweran tidak jelas, bunda tenang tidak ada apa-apa denganmu,”
“Kau harus belajar tenang…” Ayah menyeletuk membuat bunda mengerutkan alisnya dan mendengus,
“Avior, ayah ingin berbicara denganmu,” Ayah melanjutkan, berdiri dari kursinya, diikuti oleh Avior yang kini kebingungan dengan tindak laku ayahnya.
+0+
“Ada apa, ayah?” Avior bertanya sesaat mereka duduk di sofa,
“Ayah ingin berbicara denganmu,”
“Tentang?”
“Tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini,” Ayah menjawab dan menyandarkan punggungnya di sofa,
“Tentang Adnan?”
“Ya,”
“Ada apa dengannya?” Avior bertanya,
“Apa yang kau pelajari darinya?” Ayah balik bertanya, Avior terhenyak. Apa yang aku pelajari darinya? Avior bertanya dalam hati. Sepanjang yang Avior ingat, Adnan adalah sebuah android yang berkelakuan seperti anak kecil, namun memiliki kemampuan berpikir yang sangat hebat, dan selalu membantunya di dalam kesulitan.
“Maksud ayah?” Avior bertanya,
“Ayah hanya bertanya, apa yang kamu pelajari dari Adnan?” Ayah bertanya, menatap Avior,
“Adnan adalah sebuah android dengan kapasitas otak yang sangat tinggi, jauh lebih tinggi dari android pada umumnya, memiliki kemiripan dengan manusia mencapai 98%,”
“Mengapa tidak 100% seperti yang kau bilang waktu itu?” Ayah bertanya. Avior tersentak, mengingat apa yang ia katakan pada Adnan pada malam itu,
“Ia tak punya qalbu,” Avior menjawab. Ayah menganggukkan kepalanya, akhirnya ia sadar juga…
“Ayah bukannya tidak mau kamu membuat Adnan, tapi ayah tidak setuju dengan komentarmu bahwa android dapat menyamai manusia 100%,”
“Ya, ayah. Aku baru menyadarinya saat itu,” Avior menjawab,
“Secanggih apapun aku membuat android, secanggih apapun aku memprogramnya, aku tidak bisa menciptakan qalbu untuknya,” Avior berkata,
“Bagaimana kau menyadarinya?” Ayah bertanya, pada saat ini ia hanya ‘memancing’ Avior agar berbicara.
“Aku menyadarinya saat Nashira disekap di atas. Si teroris menarik Nashira ke ujung atap, dan Adnan menyentak pistol darinya. Aku menarik tangan si teroris karena…”
“Karena apa?”
“Karena dia Orion, ayah. Sejahat apapun dia, dia masih sahabatku,” Avior akhirnya mengakui, membuat ayah terhenyak,
“Jangan beritahu siapa-siapa, yah,”
“Orion?” Ayah berbisik, tidak percaya,
“Ya,” Avior menjawab, ayah menghela napasnya.
“Lalu, bagaimana ceritamu? Lanjutkan,”
“Adnan berkata bahwa waktunya sedikit lagi, dan ya… Gedungnya meledak dan kakiku terluka, beruntung Orion mau membopongku ke helikopter, kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepadaku,”
“Itulah manusia, Avior. Mendengar ceritanya memang seperti suatu bualan, tapi itulah manusia,” Ayah berkata dan menghembuskan napasnya.
“Ya, aku pikir aku bisa membuat ‘perasaan’ kepada Adnan, tapi memang tidak bisa,” Avior tertawa miris,
“Tidak perlu sedih, Avior,” Ayah berkata, merasakan anak tunggalnya itu kecewa,
“Kita memang tidak bisa membuat sesuatu yang sempurna, membuat android seperti Adnan adalah sebuah inovasi yang hebat,” Ayah tersenyum, Avior ikut tersenyum melihat ayahnya tersenyum,
“Tidak ada yang perlu dikecewakan, Avior, kamu sudah melakukan yang terbaik, ayah bangga denganmu,”
“Terimakasih, ayah,” Avior tersenyum dan mulai tertawa.
“Kalian ngomongin apa, sih?” Tiba-tiba bunda muncul dari balik pintu,
“Bunda pengen tahu aja,”
“Yaa… Kalian ngobrolnya lama banget! Bunda kan ingin tahu jadinya!” Bunda melipat tangannya di dada dengan kesal,
“Cuma ngomongin hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini, ayah kan juga ingin tahu, apalagi Avior nggak pernah cerita-cerita ke kita,”
“Kalau gitu bunda juga ingin tahu!”
“Nanti Avior cerita, bun, tenang aja,” Avior menengahi,
“Nah, gitu dong! Untung saja anakku tidak seperti ayahnya!” Bunda mendengus geli, membuat ayah tertawa.
Nashira menatap keluarga tersebut dengan bahagia, akhirnya mereka bisa bersama lagi… Ia berkata dalam hati. Nashira merasa bahagia bisa mempersatukan keluarga yang hampir terpecah belah karena suatu perkara yang sebenarnya bisa dijelaskan dengan adanya komunikasi, dan Narisha senang bisa menjadi alat agar mereka bisa berkomunikasi kembali,
“Nashira, sini! Ikut duduk bareng kita! Nanti kalau kamu mau ke rumah orangtuamu, kita antar, sekaligus mau ngobrol sama mamahmu,” Bunda berkata. Nashira menganggukkan kepalanya,
“Tidak usah repot-repot, bunda, aku bisa sendiri kok!” Nashira menolak dengan halus,
“Hei, jangan menolak, kapan lagi kita bisa bertemu lagi? Kalian sangat sibuk dengan urusan android-android kalian,” Bunda melanjutkan,
“Bunda benar, Nashira, kalian jarang sekali ke sini, ada baiknya kita bersama pergi ke rumah kalian,” Ayah menambahkan,
“Ah terimakasih, kalau begitu…” Nashira tersenyum dan memainkan tangannya dengan gelisah. Sungguh, ia merasa merepotkan keluarga Avior, walaupun hanya sekedar mengantarkannya ke rumah orangtuanya.
“Kalau begitu lebih baik kita pergi sekarang, kalau kemalaman nanti nggak enak,” Avior berkata.
“Ayo!” Bunda menarik tangan Nashira dengan lembut dan berjalan bersama ayah yang sudah duluan pergi ke teras untuk memakai sepatunya,
“Jangan sungkan ya, kalau ada apa-apa,” Bunda berkata pada Nashira selagi mereka berjalan,
“Iya bunda,” Nashira menganggukkan kepalanya,
“Kalian ngomongin apa?” Ayah bertanya,
“Ayah pengen tahu aja,” Bunda menjawab, kini ayah yang memutar bola matanya dengan kesal.
Sore itu berjalan dengan tenang, mereka sampai di rumah Nashira dan mengobrol banyak dengan keluarganya. Semburat senja begitu indah menemani percakapan riang mereka, seakan menandakan bahwa perkara Adnan telah selesai.
?


Penulis

2 COMMENTS
  • bocoran hk hari ini
    Reply

    maknyus, postingan ini sangat mudah dimengerti. kami jadi belajar banyak hal dari artikel ini. mantap!!!

    1. Penulis
      Reply

      Terima kasih. Semoga bisa mengedukiasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *