Ramadhan di Kota Pelajar

Bulan Ramadhan selalu memberikan kesan tersendiri. Sebagai seorang mahasiswa di Yogyakarta, aku menghabiskan tiga minggu Ramadhanku di Kota Pelajar ini. Aku adalah tipe orang yang suka memerhatikan sesuatu yang kadang tak diperhatikan orang lain. Aku akan berbagi pada kalian cerita sederhanaku menikmati Ramadhan di Yogyakarta. Apakah itu?

Pertama, kesempatan mencari takjil gratis di masjid-masjid kampus. Tak hanya di masjid kampus, masjid sekitar kost pun tak luput memberikan kesempatan mahasiswa untuk mendapat makanan gratis. Ingat ya, bukan sekadar snack saja, tapi snack dan makan besar! Ya, aku mendapat kesempatan itu! Semua disilakan memilih menu yang disediakan. Bahkan, katanya, di masjid kampus tertentu, ada yang menyediakan jadwal menu makanan buka puasa lho! Ada rendang, ayam bakar, nasi kebuli! Memang rezekinya anak kost. Namun, yang membuatku takjub yaitu sungguh baiknya para donatur. Di Bulan Ramadhan ini, semua orang seakan tak pelit untuk berbagi, entah itu berbentuk uang atau makanan. Alhasil, banyak orang tua, muda, dan anak kecil yang makan bersama di masjid itu. Tanpa pandang jabatan atau kaya-miskin, semua duduk lesehan menikmati “menu gratis” tersebut.

Kedua, pengalaman ikut tarawih di beberapa masjid dengan style berbeda-beda. Ada masjid yang menyelenggarakan tarawih 23 rakaat termasuk witir. Ada juga yang 11 rakaat termasuk witir. Yang 11 rakaat pun ada dua versi. Ada yang 2 rakaat tarawih sebanyak 4 kali, lalu witir. Ada juga yang 4 rakaat tarawih sebanyak 2 kali, lalu witir. Di setiap masjid pun doanya ada yang berbeda. Berbeda imam, berbeda pula doanya. Yang lebih menarik adalah surat yang dibaca imam. Jika yang dibaca surat-surat pendek, aku lebih semangat. Mengapa? Jika surat yang dibaca surat pendek, otomatis tarawih lebih cepat selesai dan aku dapat segera menyelesaikan tugas-tugas UAS (karena kebetulan minggu kemarin kampusku mengadakan UAS di Bulan Ramadhan). Namun, jika imam membaca surat-surat yang panjang, otomatis itu melatihku untuk bisa menahan kantuk. MasyaAllah susahnya. Di sinilah setiap makmum diuji untuk tetap khusyuk pada salatnya, menahan diri untuk tidak mengeluh, menahan diri untuk tidak membenci sang imam walaupun dalam hati.

Ketiga, bertemu banyak pengemis di Pasar Ramadhan. Sebagai informasi, Pasar Ramadhan adalah pasar kaget yang rutin ada setiap sore selama Ramadhan. Aku beberapa kali ke Pasar Ramadhan yang ada di jalan UGM-UNY. Setiap kali ke sana, aku pasti menemui 2-3 pengemis yang mayoritas ibu-ibu. Aku juga menemui banci yang mengemis dengan bernyanyi. Setiap kali ke Pasar Ramadhan, aku pasti menemui pengemis. Dari sinilah ketahananku diuji untuk tidak membicarakannya dalam hati. Entah apapun tujuan mereka mengemis, biarlah jadi rahasia antara mereka dengan Allah. Hakku sebagai pengunjung Ramadhan adalah memberi atau tidak memberi. Kalaupun ingin memberi, jangan sampai ada prasangka buruk yang menghinggapi. Kalaupun aku tak ingin memberi, paling tidak tak ada ucapan caci maki yang terlontar, meskipun hanya dalam hati.

Ketiga cerita sederhana tersebut adalah ceritaku pada Ramadhan tahun ini. Meskipun Ramadhan selalu rutin kutemui tiap tahun, tetapi aku masih dalam proses belajar memaknai esensi Ramadhan itu sendiri. Kebersamaan yang terjalin setiap buka puasa di masjid, sangat jarang kutemui di hari-hari biasa. Jika katanya di bulan suci ini setan-setan diikat, aku masih saja merasa kesulitan menjaga hatiku untuk tidak kotor. Entah tiba-tiba memikirkan keburukan orang lain, berprasangka buruk tanpa alasan jelas, atau membenci orang lain walaupun hanya sedikit.


Penulis

3 COMMENTS
  • Karno
    Reply

    Jadi kangen puasa di Jogja lagi huhu

  • Misel
    Reply

    Benar sekali kak, prasangka suka datang tiba-tiba 🙁

  • Anis Safitri
    Reply

    Iya betul sekali, Mi. Entah itu orang baik sekalipun, tak lepas dari prasangka burukku 🙁

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *