Berkata Al Imam Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad ; ”Orang yang menginginkan rezeki yang halal maka sudah seharusnya orang tersebut menjauhi gaya bermewah-mewahan. Karena orang yang ingin hidup mewah pasti tidak akan terhindar dari sesuatu yang syubhat atau sesuatu yang haram. Seperti yang telah dicoba oleh orang-orang yang berilmu para ulama salafussolih terdahulu.
Sementara kita berlaku sebaliknya, di keseharian kita menganggap sesuatu yang syubhat atau bahkan haram itu adalah hal yang lumrah. Dan mereka ber-hujjah dengan alibi-alibi yang jauh dari kebenaran. Banyak orang-orang kaya yang jauh dari agama mereka menyangka usahanya ini halal, bahkan membela diri dengan argumentasi yang jauh dari kebenaran. Mereka berkata jika tidak begini maka dagangannya tidak laku, jika tidak menyogok maka tendernya tidak tembus, atau beralasan semua ini demi menafkahi anak istri dirumah. Dan sekian banyak pembenaran-pembenaran lainnya.
Padahal sesungguhnya melaksanakan ketakwaan dan wirai dengan menjauhi dari hal “remang-remang” itu adalah kewajiban. maka apabila tidak mampu bekerja dengan berbekal ketakwaan dan wirai, hendaklah minimal kita selalu insyaf ; menyadari dan berusaha tholabul makruf artinya selalu berusaha berbuat baik, mengakui salah, dan selalu merasa hatinya menolak sehingga kita merasa porak-poranda, merasa pecah, putus asa, gundah gulana dan memperbanyak istighfar.
Selalu tekadkan dalam hati kita ; “Ya Allah, hamba mengerti jika ini salah, hamba paham jika ini menipu, ini tidak boleh, namun bagaimana lagi hamba bisanya mencari rezeki-Mu masih dengan jalan seperti ini. Maka ampunilah hamba dan bimbinglah hamba mencari jalan rezeki yang halal”. Dan jangan lupa disamping mendawamkan ungkapan seperti itu dalam hati, namun senantiasa diiringi dengan beristighfar kepada Allah Swt, minta ampun kepada-Nya.
Minimal beristigfar lah sehari 1.000 kali untuk memohon ampun dan demi mensucikan hasil rezeki kita yag tidak jelas. Maka dengan kita senantiasa beristigfar, apa yang kita makan dari sesuatu yang syubhat agar ditolong oleh Allah Swt dengan mengeluarkan sesuatu yang buruk tersebut melalui kencing kita maupun tinja kita. Sementara bagian yang mengalir di sekujur darah kita, menjadi nutrisi tubuh, bahkan menjadi saripati air mani yang menjadi cikal bakal keturunan kita kelak berasal dari sesuatu yang baik. sementara bagian yang buruk darinya agar dapat dikeluarkan melalui buang hajat dengan mendawamkan istighfar sehari 1.000 kali.
Sungguh sebagian dari pendahulu-pendahulu kita yang sholih sangat mempraktikkan wirai. Mereka selalu berhati-hati dalam meniti jalan mencari rezeki agar benar-benar halal dan terhindar dari sesuatu yang syubhat apalagi haram. Bahkan tidak hanya bagaimana cara mereka mendapatkan rezeki yang berbeda dengan kita, cara mereka dalam menyikapi sebuah rezeki-makanan-pun sangat berbeda dengan kita.
Para murid-murid ulama terdahulu suatu ketika pernah bertanya kepada gurunya; “darimana anda makan wahai syeikh?”. Maka para ulama terdahulu menjawab ; ”ya sama dari apa yang kalian makan, kalian makan nasi ya kami makan nasi, kalian makan kurma ya kami makan kurma. Akan tetapi bedanya jika kalian itu makan sambil tertawa, sementara kami makan sambil menangis”.
Sehari-hari kita sering menceritakan derita orang tapi kita duduk di meja makan dengan lauk-pauk yang lengkap. Bahkan menceritakan kelaparan saudara-saudara kita di Palestina, Siria, Afrika pun terkadang sambil tertawa. Seringkali kita kelihatan peduli tapi sebenarnya tidak peduli. Menceritakan kelaparan sambil duduk di restoran dengan makanan saji yang lengkap.
Namun lain dengan laku para sufi. Justru mereka jika bukan karena perintah Allah Swt-untuk memakan dari-Ku sesuatu yang halal bagimu-kemungkinan malas makan. Mereka makan sambil menangis baik dhohir maupun batin. Para aulia sangat bersyukur bahkan sebelum makan. Mereka selalu bersyukur karena merasa tidak harus menanam pisang sudah bisa terhidang pisang dan tinggal memakannya. Tidak harus mencangkul sawah sudah dapat menyantap nasi.
Mereka para shalihin paham betul bagaimana proses satu butir nasi yang hendak mereka makan dari awal benih hingga terhidang di piring dihadapannya. Di dalam sebutir nasi itu ada jasa para petani yang tanpa lelah mencangkul sawah kemudian memanennya, setelah itu di giling oleh buruh giling, kemudian dibawa oleh para supir truk sembako lintas kota , melewati keringat para kuli panggul pasar yang membawa kantong-kantong beras dari truk ke gudang toko, melalui peluh keringat tetangga-tetangga kita pengecer beras.
Sampai dirumah kita masih harus dimasak dengan susah payah oleh istri atau pembantu kita, baru kemudian tersaji di meja makan. Para ulama terdahulu karena memikirkan proses panjang sampainya rezeki kepadanya itulah yang senantiasa membuatnya merasa bersyukur dan tidak jarang sampai keluar air mata dari rasa syukurnya yang begitu dasyat.
Kelasnya kita dihidangkan makanan yang lengkap tinggal makan saja masih suka mengeluh. Sudah terhidang aneka lauk-pauk lengkap dengan sambal masih berkata kepada istri; “lha mana kerupuknya dik ?”. Lalu istri menjawab; “maaf mas kelupaan tadi tidak beli”. Serta merta kita protes kepada istri kita ; “kamu itu gimana, sudah tahu suami suka makan sama kerupuk koq lupa beli, kamu itu istri yang tidak mengerti suami ……..”.
Jangankan mampu menyelami proses demi proses sampainya makanan kepada kita sebagai media untuk mampu bersyukur, sekedar berterimakasih terhadap makanan yang sudah tersaji saja kita masih sering gagal. Dan selalu fokus pada satu hal yang tidak kita miliki sementara tidak mampu melihat betapa banyaknya rezeki yang telah diberikan oleh Allah Swt kepada kita.
Ini bukan masalah beras harganya murah, ini bukan soal kita mampu beli apa tidak, sekarang seorang profesor ahli pertanian kelas dunia mampu apa tidak membuat sebutir beras ?. Jika manusia saja tidak mampu untuk membuat sebutir beras saja, kenapa kita tidak mampu mensyukuri nikmat Allah Swt dari makanan-makanan yang terhidang di meja makan kita ?
Maka kita dituntut untuk selalu waspada dan memiliki tekad yang kuat agar mampu terhindar dari benda-benda syubhat apalagi haram. Dan sikap demikian itu sangatlah berat dan seakan menyakitkan, maka oleh sastrawan arab dikiaskan jika wirai adalah seperti berjalan diatas tanah yang penuh duri tajam. Jika menghindar maka akan jatuh kejurang, jika terus melewati maka kita akan tertusuk duri-duri tajam itu.
Namun demikian, pengandaian orang wirai yang seolah penuh derita itu tidaklah membuat orang-orang tersebut berkecil hati atau putus asa. Sebab mereka sangat yakin bahwa jalan terjal yang mereka lalui adalah jalan untuk selamat menuju Allah Swt. Keyakinan mereka tentang; “setiap mahluk telah dijamin rezekinya oleh Allah Swt” demikian kuat, sehingga apa yang terlihat diluar seperti kemiskinan dan kefakiran tidaklah menjadi sebab dari seseorang untuk tidak berlaku wirai.
Keteguhan para ahlul jazmi wal yaqin membuat mereka teguh meniti jalan wirai tanpa sedikitpun takut menjadi melarat. Maka cara mereka berdagang pun berusaha semaksimal mungkin dari praktik curang, menipu, mengurangi timbangan, dan berbagai cara syubhat yang lazim dilakukan oleh orang-orang generasi sekarang.
Seringkali kita berdagang merasa jika tidak berlaku curang maka tidak akan laku. padahal yang membuat barang dagangan kita laku adalah atas kehendak Allah Swt. Banyak contoh yang membuktikan hal itu di tengah-tengah kehidupan kita. Sebuah warung makan yang membuatnya laris bukanlah enak atau tidaknya makanan yang mereka jual, melainkan Kehendak Allah Swt yang saat itu ingin memberikan rezekinya pada pemilik warung tersebut melalui larisnya dagangan mereka.
Terkadang di suatu daerah ada penjual mie goreng, mie yang ia jual jika dikunyah keras dan rasanya hambar. Namun jika Allah sudah berkehendak, maka warung mie tersebut tetap saja laris. Bisa jadi melalui lantaran penjualnya yang cantik jelita sehingga banyak orang mampir membeli mie tersebut meskipun rasanya tidak enak.
Seorang penjual batik, sudah berikhtiar sedemikian rupa dengan menjual batik berkualitas bagus, etalase ditata seindah mungkin, iklan sudah maksimal di setiap sudut kota bahkan melalui sistem online. Namun jika Allah Swt saat itu belum menghendaki rezeki atasnya, sekuat apapun manusia berusaha untuk memperoleh rezeki tetap saja batik itu tidak laku.
Namun bagi Ahlul jazmi-orang yang teteg hatinya terhadap keputusan Allah-justru hal tersebut semakin membuat yakin terhadap takdir-Nya. Ia akan bergumam dalam hatinya; “Ya Allah, sungguh rezeki benar-benar dari-Mu dan Engkau lah sebaik-baik Pemberi Rezeki. Betapa hamba telah berusaha semaksimal mungkin sebagaimana lazimnya berdagang, namun jika engkau belum menghendaki maka ikhtiarku sama sekali tidak akan mempengaruhi rezeki yang hamba inginkan.
Jika kita sudah yakin bahwa Allah Swt lah yang memberi kita rezeki, bukan jenis dagangan maupun cara kita berdagang, maka cukuplah Allah Swt yang menjadi fokus kita. Ibarat sebuah komputer, servernya yang kita tembak langsung, Tidak perlu pusing memikirkan layar komputernya harus berapa inci. Dan jika sudah bisa yakin demikian maka tidaklah sulit untuk berlaku wirai dengan menjauhi cara-cara mencari rezeki yang tidak dikehendaki oleh Allah Swt.
Dan sikap wirai ini bukanlah menjadi jaminan bahwa engkau akan menjadi kaya karena mencari nafkah dengan aturan Allah. Namun dengan sikap wirai yang melahirkan sikap jazmi , yakin terhadap segala ketentuan Allah lah yang membuat Allah Swt ridho dengan kita. Karena keridhoan Allah Swt terhadap mahluk-Nya bukanlah bergantung kepada seberapa kaya atau miskinnya seseorang. Melainkan bergantung kepada seberapa ridho seorang hamba terhadap ketentuan apapun yang Allah tentukan terhadap nasibnya di dunia.
Sikap wirai ini juga dapat dibangun melalui sebuah keyakinan bahwa Allah Swt tidak pernah salah alamat dalam memberikan jatah rezeki kepada setiap mahluk-Nya. Sebab karena Allah ingin memberi kita rezeki, kadang tidak punya dagangan pun kita bisa berjualan sehingga menjadi jalan terpenuhinya rezeki. Ibarat kamu kalau ingin berjualan kain sarung apakah harus membuat pabrik sarung ? Lalu apakah pabrik sarung tidak mampu menjual sendiri sarungnya sehingga harus melibatkan kamu sebagai perantara atau makelar ? Begitulah Allah Swt dalam memberi rezeki mahluknya melalui cara yang tidak diduga dan bisa dari jalan mana saja.
Para salafussholih telah memberikan banyak contoh kepada kita tentang bagaimana mereka begitu berhati-hati dalam menjaga apa saja yang mereka makan agar terhindar dari barang yang syubhat apalagi haram. Sifat wirai yang dipraktikkan oleh para ulama-ulama tasawuf tersebut merupakan salah satu jalan diantara jalan futuh, wusul ilallah.
Dahulu kala ada seorang wali agung bernama Syekh Ibrohim bin Adham, Beliau sebelum menjadi waliyullah adalah seorang raja di wilayah Balkh dekat Khurasan, Afganistan. Saking kaya rayanya lazimnya seorang raja, disebutkan bahwa Syekh Ibrahim bin Adham ini tidurnya saja berbantal uang.
Suatu ketika Ia melihat seekor burung gagak yang sayapnya patah, lalu Ia berpikir burung ini pasti akan mati karena tidak sanggup terbang untuk mencari makan, lalu ketika menjelang sore hari, Ia melihat biji-bijian mengerumuni burung tersebut yang dijatuhkan oleh burung-burung yang terbang diatas burung yang malang tersebut, akhirnya dia makan dari makanan itu sampai sembuh.
Melihat hal tersebut, Syeikh Ibrahim bin Adham seketika tersadar, bahwa rezeki dari Allah Swt akan sampai kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya meskipun mahluk tersebut seolah-olah tidak mampu atau tidak mungkin untuk mengusahakan rezekinya sendiri karena keterbatasan yang menimpanya. Beliau Syekh Ibrahim bin Adham pun merasa tidak tertarik lagi pada emas permata dan segala gelimang harta yang Ia punyai sebagai raja. Cerita ini masyhur di kalangan para alim ulama yang menyatakan bahwa futuhnya Syekh Ibrahim bin Adham menjadi Kekasih Allah Swt adalah melalui perantara seekor burung gagak yang sayapnya patah tersebut.
Akhirnya Beliau tinggalkan segala kemewahan istana itu, bahkan Beliau tinggalkan juga seorang permaisuri yang cantik jelita beserta anaknya yang masih bayi. Beliau kemudian ingin mencari ilmu hikmah, yaitu dengan keluar dari istana untuk berguru kepada ulama-ulama sufi dari Irak, Basrah, hingga Mekkah.
Ada juga satu kisal dari ulama terdahulu, yaitu Al Imam ibnu sirrin Radhiallahu anhu, Beliau yang wafat pada tahun 110 H adalah salah satu Tabiut tabi’ yang sangat alim dan wirai. Beliau semasa hidupnya berguru kepada para Sahabat Nabi Saw diataranya Abu Hurairah Ra dan Anas bin Malik Ra. Imam Ibnu Sirrin meski sudah menjadi ulama masyhur pada saat itu, namun Beliau masih bekerja sebagai pedagang pengecer untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Suatu ketika Imam Ibnu Sirrin membeli minyak zaitun bergentong-gentong untuk kembali Ia ecerkan kepada masyarakat sekitar. namun ternyata ditemukan di salah satu gentong minyak yang Ia beli terdapat bangkai tikus. Maka Beliau buang semua minyak zaitun yang sudah dibelinya. Padahal yang ada bangkainya hanya satu buyung (gentong) . “aku khawatir tikus ini mati di perasan maka mengalir minyak zaitun ini dari darah yang mengalir dari bangkai tikus. itu dari
Sikap kehati-hatian dari Imam Ibnu Sirrin yang membuang semua minyak zaitun dagangannya padahal hanya satu wadah yang terlihat ada bangkai tikusnya ini menunjukkan betapa ulama kita terdahulu sangat takut akan tercampurnya barang syubhat bahkan haram di dalam usahanya mencari rezeki. Maka cukuplah pelajaran dari orang-orang sholeh tersebut sebagai pedoman kita dalam meneguhkan hati untuk senantiasa bersikap wirai di dalam setiap usaha mencari rezeki dari Allah Swt.