Dia sudah lama tidak menyentuhku. Aku rindu saat-saat pertama kali dia berinteraksi denganku. Aku rindu caranya memahamiku. Aku rindu perhatiannya tak luput dariku. Sungguh, aku merindukannya. Kirana namanya.
***
Alif. Orang yang telah memikat hati Kirana. Perempuan yang senang berpenampilan maskulin dengan kemeja kotak-kotak, celana levis, dan rambut dikuncir kuda itu jatuh hati pada lelaki sederhana bernama Alif. Kalau kalian pikir aku cemburu pada Alif, kalian salah besar. Alif membuat Kirana bisa dekat kembali denganku.
Lelaki yang duduk di semester enam jurusan Ilmu Komunikasi itu tampak biasa saja. Meski berjarak satu tahun di bawahnya, Kirana bisa jatuh hati pada kakak tingkatnya itu. Soleh, wibawa, ulet, mandiri, pekerja keras, dan sederet deskripsi positif dari Kirana tentang Alif seolah mampu membiusnya untuk terobsesi memiliki Alif.
Beberapa kali mereka terlibat perbincangan. Alif seorang lelaki yang tidak banyak bicara, namun dia senang berdiskusi. Kirana tentu saja sering melakukan modus ringan pada Alif agar dia bisa berinteraksi secara intens dengan pujaan hatinya. Pernah satu ketika mereka bertemu di kantin. Kirana bertanya ini dan itu tanpa henti dan Alif hanya menjawab sekenanya. Perempuan itu kelihatan sangat genit. Beruntung Alif seorang yang mampu menjaga pandangan.
“Kakak kenapa sih milih jurusan Ilmu Komunikasi?”
“Ya, suka aja,” jawab Alif standar.
“Hmmm…, Kirana tahu…,” dia ribut sendiri berasumsi, “kakak kan nggak banyak bicara, pasti kakak mau melatih diri agar bisa bicara lebih banyak kan?” tutur Kirana, mendelikkan pandangannya ke arah Alif yang saat itu hanya sibuk dengan laptopnya. Sesekali lelaki itu melempar senyum sewajarnya, tapi Kirana bisa meleleh dibuatnya.
Sebenarnya jatuh cinta bukan hal yang baru bagi Kirana. Sejak masa-masa putih biru, dia sudah sering bergonta-ganti pacar. Bahkan, Kirana selalu lupa siapa saja nama mantannya atau bahkan jumlah mantannya saja dia tak tahu karena terlalu banyak pria yang pernah singgah di hidupnya.
Pernah suatu ketika, Kirana disapa oleh seorang laki-laki saat dia sedang jalan-jalan di mall. Dia hanya bingung dan tersenyum masam. Setelah laki-laki itu berkata, “aku Adi, mantan kamu” barulah Kirana ingat.
Sejak banyak mengenal laki-laki itulah Kirana jadi lupa denganku. Mulanya aku sedih karena sampai detik ini, dia seperti terkena amnesia akut. Dia tak pernah ingat siapa aku. Padahal dulu kami begitu dekat. Sering berinteraksi setiap sore di pelataran rumah bersama teman-teman Kirana yang lain.
Namun sepanjang hidupnya, baru kali ini Kirana menyukai lelaki yang cuek dan pendiam seperti Alif. Berbagai cara sering dia lakukan agar bisa berbincang bersama Alif dan mengenal lelaki itu lebih dekat. Bahkan dia mencari tahu makanan kesukaan Alif dari teman-teman dekat Alif, lalu membawakan makanan itu keesokan harinya. Tapi tetap saja, tanggapan Alif rasanya biasa saja. Hingga satu masa, Kirana membaca salah satu status dari Facebook Alif.
Seorang wanita terlihat lebih cantik ketika mengenakan hijab. Terlihat lebih berharga karena mahkotanya tertutup dari mata-mata yang tidak sepantasnya melihat. Terlihat lebih anggun karena menjaga iffah dan izzahnya.
Malam itu juga Kirana langsung melesat ke mall dan membeli hijab berbagai macam model yang sedang tren.
Keesokan harinya sebelum berangkat ke kampus, kulihat Kirana sudah rapi dengan hijabnya. Tak henti kuucap syukur dari sini sebab perempuan itu sudah mau berhijab.
Sampai di kampus, Kirana menanti Alif di pelataran masjid. Dia bahkan hapal kalau pukul 9 pagi adalah waktunya bagi Alif untuk mendirikan solat Dhuha. Setelah batang hidung lelaki itu terlihat, Kirana langsung menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, Kak,” Kirana juga menyapa Alif dengan salam.
“Wa’alaikumussalam,” Alif mendongak sebentar dan spontan terkejut dengan keberadaan Kirana di hadapannya. Bukan terkejut dengan Kirana, melainkan terkejut sebab ada kain yang membingkai rambut Kirana.
“Hehehe…,” Kirana yang menangkap ekspresi terkejut Alif hanya cengengesan.
Alif buru-buru menunduk dan berjalan mendahului Kirana untuk pergi ke perpustakaan. Kirana membuntuti langkah Alif.
“Gimana Kak, dengan penampilan baruku?” tanya Kirana, meminta penilaian dari Alif saat sampai di perpustakaan.
“Hijab kamu?” Alif berbalik tanya.
“Iya. Hijab aku sudah cantik kan? Kakak tahu nggak kalau pakai hijab ini ribet. Ini harus digulung-gulung dulu, terus baru ditusuk disini pakai jarum pentul, setelah itu disini digulung lagi, terus…” belum selesai Kirana mencurahkan isi hatinya mengenai kerepotannya memakai hijab, Alif justru tertawa geli.
“Hahahaha… Kiranaaaa… Kiranaaa…,” ujar Alif sambil geleng-geleng kepala. Lelaki jutek itu mengekspresikan kegeraman pada Kirana. Baru kali ini juga Kirana melihat cengiran dari mulut Alif melengkung sempurna.
“Ih kak Alif,” Kirana jadi bete karena ditertawakan oleh Alif.
“Kamu mau tahu nggak, cara berhijab tetap cantik tapi nggak repot?” Alif menawarkan.
“Ada kak?” Kirana bingung.
“Ada.”
“Apa itu kak?”
“Benar kamu mau tahu?”
“Mauuuu,” Kirana bersemangat.
Alif melirik ke dalam tas nya seolah-olah memanggilku. Dan… benar! Alif menunjukkan sosokku pada Kirana.
“Ada disini,” ucap Alif menunjuk ke arahku.
“Al-Qur’an?” Kirana terlihat bingung.
“Iya,” Alif tersenyum.
“Tapi kak, disini kan nggak ada gambar-gambar tutorial hijab nya,” protes Kirana.
“Memang nggak ada gambarnya, tapi disini dijelaskan secara detail,” Alif membelaku.
Kirana membeku. Dia menatapku cukup lama dengan tatapan kosong dan nanar.
“Coba sentuh dia,” Alif menyuruh Kirana menyentuhku.
Dengan ragu Kirana menyentuhku. Oh, aku sangat merindukan sentuhannya. Sudah lama sekali Kirana acuh tak acuh padaku.
“Buat kamu Na,” ujar Alif kemudian pergi meninggalkan Kirana dengan tatapan kosong.
Kirana masih termangu menatapku. Tatapannya semakin menajam kepadaku. Dan, aku merasa ada air yang kurindukan selama ini jatuh dari pelupuk matanya.
“Allah. Inikah jalan-Mu?” Kirana memelukku.
Aku berharap pelukan ini adalah pelukan cintanya kepada Sang Maha Cinta melalui diriku. Dia mulai membuka lembaran demi lembaran firman-Nya yang tertera pada tubuhku.
Hari demi hari berlalu. Kedekatanku dengan Kirana semakin membuncah. Semakin dekat kami, Kirana semakin lebih baik. Dia sudah mulai menjadikanku sahabat dekatnya dan dia sering berinteraksi dengan Sang Maha Cinta. Teringat pertama kali ketika dia berusaha mengajakku berbicara lewat Iqra. Masa-masa kecilnya di pelataran rumah saat sore habis selalu dihabiskan untuk mempelajariku bersama teman-temannya, dibimbing ustaz waktu itu.
Aku bukanlah pajangan. Aku adalah petunjuk. Ta’aruflah denganku, maka kau akan temukan indahnya Penciptamu. Apakah kau tahu? Aku merindukanmu. Aku merindukan sentuhanmu yang dulu.