Wifi Gratis

Adzan shalat Isya’ menggema lewat pengeras suara tua yang dipasang di menara masjid. Meski tak terlalu keras, tapi cukup terdengar oleh Ilham, bocah SMP berumur 14 tahun. Sarung merah maroon motif kotak-kotak ia kalungkan di lehernya. Wudhu di rumah, selalu menjadi kebiasaannya.

Sebelum melangkah ke masjid, ia pegang ponselnya kemudian memotret kaki dan sepasang sandalnya.

“Sandalku ini menjadi saksi setiap langkahku menuju masjid,” tulisnya pada unggahan foto di media sosialnya.

Dimasukkannya ponsel itu sembari ia berjalan menuju masjid yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Entah apa pentingnya ponsel itu ia bawa. Ia berjalan santai, ia hafal iqomah masih 8 menit lagi.

Sesampainya ia di perempatan, 50 meter lagi untuk sampai di masjid, Ilham melihat temannya. Feri, usianya sebaya dengan Ilham. Heri, remaja tanggung yang kini sudah putus sekolah dan memilih untuk membuka usaha warung kecil-kecilan. Mereka duduk di bangku samping warung milik Heri. Nampak tulisan “wifi gratis” di dekatnya. Maklumlah, warung zaman sekarang harus sedia wifi gratis supaya tidak sepi.

Di warung yang remang-remang tersebut, Feri dan Heri menunduk. Wajah mereka terlihat cerah bersinar terkena cahaya ponsel. Mereka memegang ponsel secara lanskap/horisontal. Tatapan mereka fokus seolah ada hal genting di ponselnya. Adzan tadi mungkin tak terdengar oleh mereka.

Ilham sebagai sahabat sejati, melihat hal tersebut lantas menghampiri Feri dan Heri. Ilham mengingatkan Feri dan Heri tentang apa yang harusnya mereka lakukan.

“Fer, Her, kita jadi mabar kan?” tanya Ilham.
“Ya jadilah, kita nunggu kamu dari tadi Ham,” sahut Feri bersemangat untuk mabar.

Mabar, singkatan dari main bareng. Orang tua mana mungkin tahu istilah ini. Kegiatan ini sudah seperti ritual wajib bagi pecandu game online. Mabar game online ini butuh koneksi internet. Itulah mengapa mereka betah di warung dengan wifi gratis tersebut.

Ilham meletakkan sarungnya di samping Feri. Menghubungkan ponselnya dengan wifi dan perjuanganpun siap dimulai. Sebelum memulai permainan, tak lupa mereka mengucap Bismillah serta berdo’a supaya dapat menang dengan skor tinggi.

Selepas berdo’a, Feri mengeluarkan headset dan memakainya bersama Ilham. Satu headset untuk berdua. Fungsinya agar musik dan suara dari ponsel terdengar lebih mantap, semakin menjiwai dan larut dalam permainan.

Permainan dimulai. Selama 5 menit mata mereka khusyu’ menatap ponsel. Jemari mereka sangat lihai menekan-nekan layarnya. Mereka bertekad mengkhatamkan game tersebut dengan skor tinggi.

“Nah kita menang terus! Payah nih musuhnya,” Heri berbangga diri.
“Skor kita yang paling tinggi sekarang,” Feri tersenyum lebar.

Tak ingin kehilangan momen, Ilham memamerkan kemenangan mereka.

“Alhamdulillah mabar kali ini penuh berkah, semua musuh kalah,” tulisnya di media sosial.

Tiba-tiba terdengar suara lirih dari kejauhan, “luruskan dan rapatkan shafnya.”

Shalat Isya’ berjamaah segera dimulai. Ilham kaget dan menoleh ke arah masjid.

“Kenapa aku tidak dengar suara iqomah?” batinnya.

Ilham terlalu larut dalam dentuman musik dan adrenalin permainannya. Ia reflek melepaskan headset kemudian berlari ke masjid. Ia menggenggam erat ponselnya supaya tak terjatuh.

“Ham, mau kemana? Hei!” teriak Feri.

Namun Ilham tidak menanggapi.

Sampailah di masjid, ia bergegas masuk dan menempati shaf paling belakang. Ia mematikan ponselnya dan meletakkannya di lantai tempatnya bersujud. Seketika ia baru menyadari dirinya hanya memakai celana pendek. Sarungnya tertinggal di warung. Jamaah lain yang ada di dekatnya sontak tertawa kecil melihat Ilham.

Ilham menutupi wajah dengan kedua tangannya karena malu. Tanpa pikir panjang, ia nerbalik arah dan berlari kembali ke warung.

“Sarungku mana?” Ilham terengah-engah.
“Lah tadi aku panggil kamu malah makin cepat larinya. Nih di bangku dari tadi,” Feri menunjukkan.

Ilham kemudian memakai sarung dengan tergesa-gesa.

“Udah Ham, kita lanjut mabar aja. Udah telat kalau mau jamaah,” Heri menghasut.
“Allahu akbar,” suara Imam sedang takbiratul ihram.
“Tuh kan, shalatnya udah mulai,” Heri meyakinkan.

Ilham mengacuhkan teman-temannya. Ia angkat sarung yang ia pakai lalu berlari lagi menuju masjid. Ilham masih sempat mengikuti rakaat pertama. Keringat mengalir di wajahnya. Jantungnya berdetak cepat karena berlari tadi.

Shalat selesai. Ilham menarik nafas panjang. Menyeka keringatnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ponsel yang ia letakkan di lantai sekarang sudah tidak ada. Ia toleh kanan-kiri, jamaah lain sedang khusyu’ dzikir dan do’a. Ia tidak enak untuk bertanya.

Ilham berkeringat. Jantungnya berdetak cepat. Lagi. Matanya sayu sambil toleh kanan-kiri. Jamaah di samping kirinya menepuk pundaknya.

“Cari ponsel ya,” tanya seorang Bapak separuh baya.
“Iya Pak,” sahut Ilham.
“Nih ponselmu,” Bapak tadi merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel Ilham.
“Alhamdulillah, ponsel saya aman, makasih Pak,” Ilham lega.

“Kamu yang sering nongkrong di warung itu ya?,” Si Bapak penasaran.
“Iya Pak, saya telat ke masjid gara-gara main di warung tadi,” Ilham menyesal.

“Kamu tadi lalai, sarung ketinggalan. Kamu tadi lalai, ponsel ditinggal sembarangan. Kamu tahu apa yang paling fatal?”
“Memangnya apa Pak?” Ilham balik bertanya.
“Kamu lalai dari yang wajib. Untung tadi masih bisa ikut shalat jamaah. Ingat ya, sandalmu itu menjadi saksi kemana saja langkah kakimu,” nasehat Si Bapak.

Ilham tertegun dan teringat ketika akan berangkat tadi ia memotret sandalnya dan menganggapnya sebagai saksi setiap langkah kakinya. Ilham hanya bisa diam dan menyadari betapa lemah niat ibadahnya.

Sepulangnya dari masjid, ia melewati warung tempatnya bermain tadi. Feri dan Heri masih di posisi yang sama.

“Ham, ayo mabar lagi,” ajak Feri.

Dengan wajah datar, Ilham menghampiri mereka.

“Sudah aku hapus aplikasi game-nya,” jelas Ilham.
“Tak perlu mengajak aku lagi ya. Her, kalau wifi gratis ini cuma buat game online, mending copot aja,” tambahnya.

Hening. Feri dan Heri hanya memandangi Ilham.

“O iya, besok temani aku shalat berjamaah di masjid ya,” ajak Ilham.

Feri dan Heri mengangguk. Ketiganya lantas pulang.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *