Kutitipkan Nama-Mu Kepada Tuhan

Oleh Syaiful Hady*
Syahdan di kurun waktu tertentu hiduplah seorang pemuda tampan rupawan nan bagus perangainya. Pemuda yang dilahirkan dari ras miskin, pemuda yang berpengatahuan luas karena sedari kecil selalu ingin mengetahui akan segalanya. Meski dari kalangan orang melarat, tidak membuatnya sampai psimis untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini terbukti gelar titel sarjana yang telah diraihnya. Berstatus akademisi meski hidupnya dihimpit tetangga pedesaan asri serta adat setempat berupa menikah di usia maksimal 25 tahun.
Kini umur sang pemuda telah menginjak 26 tahun. Kecaman, sindirian, dan perkataan tidak sedap sudah mulai menyapa dan menyesakkan harinya, terutama saat lebaran tiba menjelang. Untungnya si pemuda anak pondok, jadi tidak terlalu dipersoalkan tudingan-tudingan miring untuknya karena liburan setahun sekali.
Sang pemuda percaya bahwa jodoh tidak akan pernah tertukar dengan siapa. Akan tiba pada waktu di mana senja ikut tersenyum atas pernikahannya. Konon, saat berumur 24 tahun, ia jatuh cinta pada seorang gadis bernasab mulia. Gadis keturunan konglomerat dan berdarah biru di kotanya.
Rasa suka yang dialami dominan tidak akan sampai walau pengorbanan keras akan sangat dipaksakan. Cinta yang bisa dibilang dengan istilah“cinta bertepuk sebelah tangan”. Cinta sang pemuda lambat laun bukan berkarat malah tumbuh mekar dan merekah.
Sebagai anak pesantren yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur islam. Baginya merajut ikatan pacaran bukanlah jalan lurus yang diridhoi Allah. Sebaliknya jalan itu merupakan jalan yang dihambai oleh setan-setan musuh Allah. Akhirnya cintanya tidak tersampaikan dan benar pasrah kepada Tuhan.
Sedang dalam kesempatan yang sama, si gadis diam-diam membalas cinta tetapi didiamkan dan dibuat rahasia antara dirinya dengan Tuhan. Karena berstatus sama yakni santri, pun menempuh pendidikan di atap pesantren yang tidak berbeda. Mereka bisa berjumpa meski tidak sempat bertegur sapa. Kadang bertemu seminggu sekali dan sesekali sebulan baru bisa bertatap mata di ujung jalan sana. Sama-sama menjadi bintang di bangku kuliahnya masig-masing.
Sang pemuda yang berkarakter baik menarik para bidadari pesantren menyukai dan berlomba untuk mendapatkan rasa simpatinya. Si gadis yang berparas cantik nan putih sudah sewajarnya mendapat porsi rebutan yang tidak sedikit dari pemuda sarungan di pondoknya.
Sang pemuda senantiasa berjibaku do’a setiap seusai salat wajib maupun sunahnya. Rentetan salat sunah pun tidak lupa untuk dikerjakan. Dengan keyakinan dan kemantapan tulus, menitipkan satu nama kepada Tuhan. Satu nama yang tiada lain dan tiada bukan nama si gadis yang selama hampir dua tahun menjadi idaman.
Begitu pula si gadis yang hanya bisa berserah diri kepada Yang Esa. karena cintanya begitu sukar untuk dipertemukan melalui ikatan kekerabatan saudara. Orang miskin tidak layak berbesan dengan orang kaya, begitu sebaliknya. Beginilah adatnya, terkecuali Tuhan berkehendak lain.
Berselang beberapa Tahun lamanya, saat giliran takdir angkat bicara. Kyai Pondok Pesantren Salafi, tiba-tiba memanggil pemuda dan si gadis. Saat keduanya bertatap muka dalam satu ruangan yang tidak terlalu luas. Kyai berkarisma itu berkata :” kalian berdua akan segera dinikahkan”. Sontak wajah terkejut dan merah menyelimuti senyum simpul mereka.

Dan Rabbmu berfirman:”Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari ibadah kepada-Ku (berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina [al-Mu’min/Ghafir/40:60].

Dari cerita singkat di atas, dapat dilerai benang merah berupa keharusan untuk tetap berdo’a kepada-Nya, karena semua do’a pasti terijabah. Jika bukan sekarang maka besok, dan jika bukan besok maka besok lusa dan seterusnya. Selaras dengan sang pemuda yang tanpa jemu berdo’a kepada-Nya. Wassalam.

*Alumnus Pondok Nurul Qarnain
Santri Aktif Ma’had Aly Sukorejo.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *