Malam Tarawih Penuh Tanda Tanya

Bulan yang telah ditunggu-tunggu selama 11 bulan telah datang. Bulan yang bukan mengantung di angkasa tapi bulan yang indah bersinar dengan terangnya menurut hitungan kalender. Bulan penuh ampunan dan suka cita. Bulan tempat manusia yang mencintai Allah swt berlomba-lomba mendapat pahala dari-Nya.
Dan di malam pertama bulan Ramadan ceritaku di mulai. Azan Isya berkumandang di daerahku pukul 19.45. 15 menit sebelum itu, aku sudah bersiap-siap untuk ikut tarawih di masjid dekat rumahku. Kira-kira jaraknya hanya 20 langkah. Sangat disayangkan bukan jika aku tidak datang ke rumah Allah jika jaraknya sudah sedekat itu? Sebelum melangkahkan kakiku menuju masjid, aku sempat bimbang. Takdir berkata lain. Saat langit malam cerah tak berair di waktu Maghrib. Tiba-tiba kini tanah dan aspal sudah basah karena hujan jatuh dari langit. “Ah masih 15 menit. Aku tunggu saja dulu. Aku yakin hujannya akan berhenti.” Begitu pikirku.
Lama aku terdiam di ruang tamu sambil membaca buku agar waktu menungguku tak begitu terasa dan tidak sia-sia. 10 menit berlalu. Aku tak lagi mendengar suara gemerisik hujan berlomba-lomba berjatuhan. Aku pikir hujannya telah berhenti. Lalu aku membuka pintu. Ternyata gerimis. Suara gerimis itu tak masuk ke telingaku untuk kudengar.
Ah gerimis. Bagaimana ini? Aku terdiam sejenak. Azan sudah mulai berkumandang. Memintaku memutuskan untuk memilih apakah aku menerobos gerimis atau tidak ke rumah Allah. Ah. Imanku kuat malam ini. Meskipun gerimisnya agak lebat, aku memutuskan berlari ke masjid agar basah yang kuterima tak cukup untuk membuatku sakit. Sesampainya di masjid. Aku terpana. Bukan karena bahagia. Tapi karena bertanya-tanya. Kenapa jamaah masjid ini sepi sekali? Kurang lebih mungkin hanya sampai 2 saf. Kenapa? Ini malam pertama kan? Bukanlah malam pertama masjid selalu penuh bahkan berlimpah kerena menampung kegembiraan umat Islam yang terlalu senang karena bulan Ramadan datang? Ah. Mungkin masih di jalan. Toh ini belum ikamah.
Lalu ikamah bersenandung. Aku melirik kesana kemari. Jumlahnya bertambah. Tapi sedikit. Kali ini mungkin 3 saf penuh kurang sedikit. Lalu sisanya yang kosong bagaimana? Kenapa mereka tidak datang mengisinya? Ah mungkin karena gerimis ini cukup lebat. Aku beruntung rumahku dekat sehingga berani mengambil resiko kehujanan sedikit. Sedang mereka mungkin takut sakit. Ah tapi kan ada paying, kenapa mereka tak pakai payung ke sini? Ah mungkin sudah tak sempat lagi karena kebablasan tidur atau bagaimana. Anggaplah jamaah sedikit di malam pertama ini karena hujan yang tak diundang.
Lalu malam kedua. Semangatku untuk bertarawih sama besarnya seperti malam kemarin. Aku bergegas ke masjid 5 menit sebelum azan berkumandang. Dan malam ini aku terpana. Bahagia karena setelah kulihat-lihat jamaahnya bertambah dari malam sebelumnya. Tapi.. tetap saja semua saf tak terisi penuh. Hanya 3 saf lebih sedikit yang terisi. Padahal tidak hujan, kenapa yang datang hanya segini? Aku ingat sekali dulu dan sudah menjadi seperti tradisi kalau masjid seharusnya penuh di 10 malam pertama. Agak sedikit banyak di pertengahan bulan. Dan di penghujung menuju malam takbir akan penuh kembali. Tradisi Ini seperri teori percintaan. Hangat dan bersemangat hanya di awal. (Ketika di awal-awal terlalu semangat mengejarnya dan jika telah didapatkan sudah biasa rasanya).
Lalu ini kenapa? Tak penuhnya saf ini karena apa? Ah aku terlalu banyak berpikir. Aku enyahkan saja pertanyan-pertanyaanku itu. Aku harus khusyuk beribadah. Di pertengahan jalannya solat tarawih (jeda sebelum rakaat tarawih selanjutnya), aku mendengar celetukan ibu-ibu yang mengkomplain imam tarawih. Ibu itu mengeluh pada teman di sebelahnya kalau imam kami membawakan ayat suci Al-Qur’an dengan tempo yang lama. Dan surah-surah yang dibacakan juga panjang-panjang. Keluhan itu ditanggapi dengan anggukan setuju oleh temannya. Dan ternyata beberapa ibu-ibu yang lain juga ikut mengeluhkan hal yang sama.
Loh kenapa? Aku bertanya-tanya lagi. Bukankah itu bagus? Dan menurutku malah kita beruntung hidup di zaman sekarang hanya 11 rakaat dan di beberapa masjid 23 rakaat. Coba bayangkan di zaman dulu, di zaman Rasulullah saw. Ada yang sepertiga malam sampai hendak menyambut kedatangan subuh. Sangat lama bukan? Tidak terbayang surah apa yang dibawakan imam hingga bisa selama itu. Aku jujur saja tak akan kuat dan memilih tidak ikut salat tarawih berjamaah.
Lalu kenapa? Entahlah. Mungkin stamina ibu-ibu yang sudah tidak kuat. Fisiknya berbeda dengan anak muda sepertiku. Ah tapi tunggu dulu. Di zaman Rasulullah dulu tidak adakah ibu-ibu bapak-bapak ? Tentu saja ada. Mereka kuat-kuat saja menjalaninya. Lantas kenapa? Ah sudahlah. Aku harus khusyuk. Aku terlalu kepo dengan urusan orang lain.
Malam ketiga dan malam seterusnya. Aku kembali terpana akan hal yang sama. Dari 3 saf terus mengalami kemorosotan. Hingga yang tersisa dan selalu konsisten hanya 1 saf setengah. Ah aku sudah tak peduli. Tak perlu aku tanyakan lagi. Karena aku sudah tau jawabannya. Ini semua tergantung niat. Mereka tak berniat atau kurang kuat niatnya datang ke masjid ini untuk salat tarawih berjamaah. Jika mereka kuat niatnya pasti bagaimanapun keadaannya mereka berusaha menemukan cara untuk datang ke masjid.
Pernah aku lihat bapak-bapak menerobos hujan demi bisa salat berjamaah di masjid. Dan hebatnya bapak itu tak mengenakan jas hujan dan tak pakai payung. Mungkin tak punya atau bagaimana aku tak tau. Di tangan bapak itu ada kantung kresek yang berisikan sesuatu. Bapak itu lansung menuju ke WC. Dan setelah ia keluar, aku melihat baju yang awalnya basah bercucur air menitik meskipun tak banyak menjadi kering dan berbeda corak warna bajunya. Ternyata isi kresek tadi adalah baju ganti.
Ya itulah yang namanya niat yang kuat. Persoalannya di zaman milenial ini jika diamati dengan fakta yang ada, mereka tidak, ah sebut saja belum punya niat yang kuat untuk beribadah ke masjid. Di mata mereka teknologi canggih dan keindahan gemerlap dunia lebih menggiurkan daripada beribadah kepada Allah swt.
Ini miris. Seharusnya tak begini. Boleh tergiur oleh keindahan dunia. Tapi jangan lupa pada akhirat. Dunia itu hanya tempat tinggal sementara, sedang akhirat selamanya. Banyak-banyaklah mencari pahala agar kelak kita bisa masuk surga. Aamin Allahumma Aamiin.


Penulis

7 COMMENTS
  • Egita
    Reply

    Yah begitulah kenyataannya.. Semoga kita termasuk orang2 yang istiqomah..

  • A
    Reply

    Bagusss??

  • Wilda
    Reply

    Ada sedikit typo di kalimat. dan ceritanya bagus, cuma kurang gereget saja, kurang membuat pembaca menyesal tidak teraweh atau kurang memotivasi agar pembaca mau teraweh…
    Intinya ceritanya bagus cuma kurang gereget saja ??..

  • Kirania
    Reply

    good job for your hardwork

  • Rohainingsih
    Reply

    Masya Allah, bagus kak ceritanya, jd instrospeksi buat aku juga… Jangan berhenti berkarya kak

  • Putrilia
    Reply

    Masyaallah, ceritanya buat intropeksi diri. Terus berkarya yaa.. Good luck!

  • Meliza
    Reply

    Masyaallah… Bagus sekali ceritanya sebagai intropeksidiri. Semangattt berkarya kakakk ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *