Ketika Iman Kami Diuji

Kisah ini dialami oleh keluarga saya ketika saya masih kecil. Saat itu usia saya masih 5 tahun. Tapi, masih terekam jelas apa yang terjadi dan seakan sulit untuk hilang dalam folder ingatan saya.

Saat itu, bapak yang bekerja di sebuah yayasan, difitnah mencuri beberapa unit komputer kantor. Bapak langsung diberhentikan dari pekerjaannya. Dan, tidak berhenti sampai disitu, Bapak pun dilaporkan ke pihak berwajib. Beberapa polisi mendatangi rumah kami dan menggeledah semua sudut rumah. Tapi, karena memang bapak tidak mengambilnya, pihak berwajib pun tidak menemukan komputer-komputer tersebut. Alhasil, bapak tidak dipolisikan, namun tetap dikeluarkan dari kantor.

Sejak kejadian itu, kehidupan ekonomi keluarga pun mulai goyah. Untuk kebutuhan sehari-hari, kami mengandalkan dari hasila jualan mamah dan nenek. Tidak hanya kondisi ekonomi, tapi kami pun mengalami tekanan batin yang luar biasa. Kami sekeluarga dikucilkan oleh masyarakat sekitar, termasuk jamaah dan pengurus masjid. Padahal saat itu, bapak pun merupakan salah satu pengurus masjid. Tapi, orang-orang sudah termakan fitnah.

Kami sekeluarga hanya bisa sabar dan berdoa. Satu-satunya tetangga yang begitu peduli adalah tetangga sebelah rumah, padahal mereka adalah non muslim. Di satu sisi kami senang dibantu mereka, tapi di sisi lain rasanya hati ini sedih karena saudara seiman malah menjauhi kami. Tidak hanya itu, kami pun sering didatangi oleh beberapa orang dari salah satu gereja. Awalnya mereka memberi kami bantuan sebagai tanda empati, tapi akhir-akhirnya mereka membujuk kami untuk berpindah ke agama mereka.

Saya bersyukur karena saat itu, bapak teguh pada pendiriannya. Bapak dengan tegas menolak ajakan mereka. Bahkan, permintaan mereka untuk meminta saya ditolak dengan tegas. Ya, saat itu, saya memang masih berumur 5 tahun, perawakan saya yang gemuk dan bermata sipit, mungkin menjadi salah satu daya tarik mereka untuk mengadopsi saya.

Sekali lagi, saya bersyukur karena kami sekeluarga masih diberikan ketetapan iman dan Islam. Selain itu, saya juga bersyukur karena masih bisa menjadi bagian dari keluarga sampai sekarang. Tidak terbayang kalau saat itu, bapak mengiyakan untuk memberikan saya kepada mereka dengan alasan ekonomi, entah seperti apa jalan cerita hidup saya. Naudzubillah…

Sejak saat itu pun, kami menolak bantuan yang diberikan oleh orang-orang dari gereja. Kalau kepada tetangga sebelah, kami masih menjaga sikap. Namun, tetap saja bapak selalu mengingatkan bahwa agama kita berbeda dan jangan sampai kita terbawa oleh mereka. Tapi, untunglah mereka pun akhirnya paham dan bahkan lebih menghargai kami.

Meskipun hidup kami boleh dikatakan pas-pasan bahkan kekurangan. Seringkali kami harus memakan rebusan daun ubi sebagai lauk makan kami. Tapi, kami tetap bersyukur karena kami masih bisa berkumpul dan yang lebih penting lagi kami masih dipersatukan dalam keyakinan dan ketaatan.

Allah tidak pernah tidur. Itulah yang kami rasakan. Akhirnya terkuak juga siapa yang mencuri computer kantor tempat bapak bekerja. Ternyata anaknya sendiri yang mencuri. Kami kembali bersyukur karena orang-orang yang tadinya menjauh, mereka kembali mendekat dan mau bersilaturrahim dengan kami.

Banyak sekali pelajaran yang saya ambil dari kejadian tersebut. Pertama, kefakiran itu memang dekat dengan kekafiran. Kalau kita tidak terus mendekat kepada Allah, maka keimanan kita akan goyah. Kita akan dengan mudah tergoda untuk menggadaikan bahkan menukar iman dengan harta dan kesenangan sesaat. Kedua, sabar dan sholat merupakan obat termanjur untuk menyelesaikan masalah yang kita alami. Ketiga, doa itu benar-benar senjata bagi kita orang yang beriman. Ketika kita yakin dengan doa yang kita panjatkan, maka pertolongan Allah akan datang dari jalan yang tidak pernah kita kira. Keempat, peran bapak sebagai imam keluarga yang bisa membawa kami tetap di jalan Allah meskipun masalah demi masalah menerpa. Kelima, keberadan dan kesolidan keluarga merupakan harta yang paling berharga. Disinilah muara dari semua cinta dan cita.

Selain itu, satu hal yang selalu saya ingat, Allah itu tidak pernah tidur. Allah tidak pernah membiarkan kita berjalan sendiri. Kuncinya, kita yakin akan ketetapan Allah. Allah itu dekat, tapi terkadang kita yang sering menjauh dari-Nya.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *