Malaikat Kecil Pembawa Hidayah

Malaikat Kecil Pembawa Hidayah

Aku adalah seorang pekerja kantoran yang penghasilannya cukup untuk membiayai keluargaku. Istri dan putri kecilku. Hidupku tak menentu, tidak mengenal Allah kecuali hanya sedikit. Sejak beberapa tahun belakangan aku tidak pernah masuk masjid, tidak pernah bersujud kepada Allah walaupun hanya sekali.
Aku sering begadang, bukan untuk bekerja melainkan untuk bermain bersama teman-temanku ke tempat hiburan dan permainan malam. Aku meninggalkan istriku dalam kesunyian, ia merasakan kesendirian, kesulitan dan rasa sakit. Hanya Allah saja yang mengetahuinya. Istri solehah dan penuh bakti itu telah lelah menghadapiku. Ia terus menasehatiku agar kembali ke jalan-Nya, namun hasilnya nihil.
Pada suatu malam, aku kembali dari tempat hiburan malam, kepalaku pusing karena banyak minum alkohol. Aku menemukan istriku dan putri kecilku sedang tertidur pulas. Aku menuju kamar sebelah untuk menghabiskan sisa-sisa malam dengan menonton film porno lewat vidio. Saat itu jam menunjukan pukul tiga dini hari, saat Allah turun dan berkata, “Adakah yang berdoa, maka Aku akan memperkenankannya? Adakah yang memohon ampun, maka Aku akan mengampuninya? Dan adakah yang meminta sesuatu, maka Aku akan mengabulkan permintaannya?”
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, putri kecilku yang belum melewati usia enam tahun melangkah masuk, ia memandangiku dengan pandangan heran dan tatapan hina. Ia segera berkata, “Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah.” Ia mengulanginya tiga kali. Kemudian ia menutup pintu dan pergi. Aku gelisah resah, aku segara mematikan vidio, aku duduk dalam keadaan bingung. Kata-kata putri kecilku terus terulang di telingaku, bahkan hampir membunuhku. Hatiku kacau. Aku keluar kamar menyusul putri kecilku, kudapati ia telah kembali ke tempat tidurnya bersama istriku. Aku seperti orang gila. Aku tidak tau apa yang menimpaku saat itu. Hanya beberapa saat setelah itu terdengar suara muazin dari masjid dekat rumahku memecah keheningan malam yanng mencekam, ajakan untuk melaksanakan salat subuh.
Aku berwudu, kemudian aku pergi ke masjid. Sebenarnya aku tidak terlalu ingin melaksanakan salat, hanya saja kata-kata puriku telah masuk ke dalam hatiku yang terdalam, mendorongku untuk salat.
Salat pun dilaksanakan, imam takbir, kemudian membaca beberapa ayat Al Quran. Ketika iman sujud, aku ikut sujud dibelakangnya, aku tempelkan keningku ke atas lantai sampai air mataku tiba-tiba terjatuh. Aku tidak tau sebabnya, ini pertama kali aku sujud sejak beberapa tahun silam.
Tangisan itu merupakan awal pembuka kebaikan bagiku. Dengan tangisan itu, semua yang ada di dalam hatiku menjadi keluar; kekufuran, kemunafikan dan kerusakan. Aku merasakan bahwa keimanan mulai mengalir dalam diriku.

Setelah melaksanakan salat, aku duduk sebentar di masjid, kuangkat tanganku kemudian aku berdoa, “Ilahi Robbi…” suaraku tercekat, air mataku kembali mengalir, kali ini lebih deras. Kata-kata putri kecilku terus terngiang di kepalaku. “Robbi… sayangilah putri kecilku, cintailah ia ya Robbi.” Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulutku. Kata itu keluar begitu saja, bersamaan dengan air mataku. Aku bangkit mengakhiri doaku, kemudian aku kembali ke rumah.
Aku belum tidur walau sejenak, di rumah aku ingin menemui putri kecilku, namun urung, istriku bilang dia masih tertidur. Aku putuskan pergi bekerja.
Ketika aku sampai tempat kerja, temanku menatap heran mengapa aku datang cepat. Biasanya aku datang terlambat satu jam karena begadang sepanjang malam. Ketika ia bertanya padaku apa sebabnya, aku beritahukan kepadanya tentang apa yang terjadi padaku tadi malam. Ia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menundukkanmu, putri kecilmu telah membangunkanmu dari kelalaianmu. Allah tidak mengirim malaikat maut untuk mencabut ruhmu saat itu.” Aku bertahmid sambil menatap wajah temanku itu__ ia adalah teman kerjaku, sama seperti istriku ia selalu menasehatiku untuk berbuat baik.
Ketika tiba waktu salat asar, aku sangat lelah, karena belum tidur sepanjang malam. Waktu kerjaku telah selesai. Aku segera pulang setelah salat asar bersama temanku. Ia sangat senang melihatku mulai salat.
Diperjalanan pulang aku senyum-senyum sendiri. Aku sangat rindu putri kecilku. Belum pernah aku rindu sehebat ini kepada putri kecilku itu, aku ingin segera memeluknya, karena ia adalah sebab aku mendapat hidayah kembali kepada Allah. Aku merasa langkah kakiku berlomba cepat dengan angin.
Ketika sampai di rumah, istriku sudah menunggu didepan pintu rumah. Wajahnya cemas, matanya berair. Tidak seperti biasanya dia menungguku pulang.
“Kamu kenapa sa..” belum sempat kalimatku habis, istriku sudah memelukku dengan sangat erat. Entah kapan terakhir kali aku dipeluk oleh istriku. Aku balas memeluknya. Hening.
Setelah beberapa saat, aku bertanya, “Kamu kenapa menangis?” istriku menjawab dengan tersedu-sedu, “Putri kita….”
“Kenapa dengan putri kita?” aku mulai sedikit cemas. Istriku malah menangis semakin keras. “Putri kita kenapa sayang?” aku memberanikan diri menanggil istriku ‘sayang’ karena memang aku tak pernah memanggilnya ‘sayang’ sebelumnya.
“Putri kita telah meninggal dunia.” Jawab istriku dengan tatapan lemah padaku
Tubuhku mematung, kakiku lemas tak kuat rasanya menopang tubuhku. Aku tak bisa bergerak mendengar ucapan istriku. Aku tak pernah merasakan rasa yang seperti ini, putri kecilku meninggal. Hatiku bagai tersayat seribu pedang, nafasku tak beraturan. Air mataku tumpah.
Aku memeluk istriku, bertanya “Dimana putri kita sekarang?”, “Dia ada di kamar.” Jawab istriku.
Aku berlari ke kamar, disusul istriku. Lihatlah putri kecilku terbaring tak bernyawa. Tubuh mungilnya seperti bercahaya, wajahnya berseri. Aku membelai wajah putriku. Tanganku gemetar. Tangisku semakin keras, bagaimana bisa putri kecilku ini meninggalkanku secepat ini. Istriku memegang bahuku, menguatkan. Aku tak mengingat apa-apa, selain kata-kata putriku, “Ayah, jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah. Ayah jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah. Ayah jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah.”
“Aku menemukan ini di bawah bantal putri kita.” Kata istriku sambil menyodorkan sepuncuk surat dengan sisa tangisnya. “Ini adalah tulisan tangan putri kita, aku tidak tau sejak kapan dia bisa menulis…” suara istriku tercekat. Aku mengambil surat itu, dan langsung membacanya.
“Ma, bilang sama Ayah ya. Aku itu sayang sama Ayah. Mama bilang ayah itu orangnya baik. Ayah berkerja keras sampai larut malam. Sampai tak pernah punya waktu buat kita. Aku pengen dipeluk sama Ayah Ma, pengen digendong. Kapan ya Ayah punya waktu buat kita Ma. Oiya Ma, tadi malem aku nemuin Ayah di kamar Mama. Ayah sedang nonton film. Enggak tau itu film apa Ma. Tapi kayaknya itu film enggak baik deh Ma. Terus aku bilang sama Ayah,”Ayah jangan lakukan itu. Bertakwalah kepada Allah.” Kata itu keluar begitu saja Ma. Aku saja tidak tau apa yang kuucapkan Ma.
Aku kembali mematung membaca surat itu, suara tangisku tak lagi bisa keluar. Aku memeluk tubuh dingin tak bernyawa itu, “Ini Ayah Nak, Ayah menyayangimu lebih dari apapun.” Istriku memelukku erat. Kami berpelukan dalam tangis kesedihan.
Besok paginya, aku mengurus jenazah putriku. Memandikan dan mengkafaninya. Kemudian ku pergi ke masjid,melaksanakan salat jenazah. Setelah itu aku menuju pemakaman, bersama banyak orang yang turut hadir disana.
Aku menyambut putri kecilku dan menguburkannya. Aku berkata pada semua orang, “Aku tidak mengubur putriku. Aku hanya mengubur cahaya yang telah menerangi jalanku menuju Allah. Putri kecilku ini, Allah telah menjadikannya sebagai penyebab aku mendapat hidayah. Aku memohon kepada Allah agar mempertemukan aku dengannya di dalam surga.” Orang-orang di sekelilingku menangis pilu, hati mereka sedih mengingat putri kecilku yang penuh berkah itu.
*****
Demikianlah saudara-saudaraku, tidak ada manusia yang tahu kapan malaikat maut datang menjemput. Kematian tidak mengenal muda atau tua. Allah berfirman,”Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya…” (An-Nahl:61)


Penulis

3 COMMENTS
  • daif
    Reply

    Subhanalloh

  • Renda I.K
    Reply

    Subhanallah dapet inspirasi dari mana adikku, ceritanya begitu menyentuh ?

  • Dedi Kurniadi
    Reply

    Dari baca buku kk, stlh itu inspirasi dtng sendiri hehe:)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *