Malam itu sunyi sepi senyap Andi memilih untuk berdiam diri menatap terangnya lampu belajar dikamar pribadinya, ia mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya, mengambil sebungkus rokok dan sebuah mancis kemudian dengan gerakan tergopoh ia menghisap sepuntung rokok yang tiada arti bagi kehidupannya sendiri. “Andi, sudah waktunya makan malam. Keluar nak! Ibu sudah menyiapkan makan malam untukmu.” Terdengar suara tidak asing dari balik pintu, itu adalah suara ibunya. Andi tidak menghiraukan ibunya dan ia masih asyik menghisap rokoknya secara perlahan. Si Ibu yang sedari tadi menyadari bahwa tiada jawaban dari anak semata wayangnya itu, merasa khawatir dan dengan diam-diam ia membuka pintu kamar Andi. Ia menemukan anaknya tengah asyik menghisap sepuntung rokok dengan kaki yang diletakkan di atas meja belajar dan menyandarkan tubuhnya dikursi. “Astaghfirullahal azim.. Andi! Ada apa denganmu?” Andi terhenyak dan membuang puntungan rokoknya dengan segera. “Andi, jawab ibu! Apa tadi itu rokok?” Tanya ibunya kembali membuat hati Andi bergetar dan takut. “Tidak bu. Andi hanya sedang stres, Ibu jangan khawatir. Andi hanya menghisapnya sekali dalam sehari” Jawab Andi mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Biarkan Ibu mendaftarkan dirimu ke Pesantren Darul Annas” Ujar Ibu meninggalkan dirinya. Andi hanya bisa menerima nasibnya yang kurang beruntung, ia telah ditinggal oleh ayahnya sejak ia masih duduk dibangku Sekolah Dasar hingga sekarang. Andi bersekolah di salah satu Sekolah Menengah Umum yang terletak di tengah kota yang penuh hiruk pikuk, sedangkan ibunya adalah seorang dosen yang sibuk berkerja setiap hari dan kurang memperhatikannya. Seminggu telah berlalu, Andi masuk ke Pesantren Darul Annas yang terletak di ujung desa Bukit tinggi. Ustadz Noval, seorang guru di pesantren tersebut mengajak Andi masuk kedalam untuk melihat-lihat lingkungan sekolah barunya sejenak, dan mengantar Andi ke kamarnya. “Andi, ini adalah kamar kamu. Kamu akan berkenalan dengan teman-temanmu yang baru” ujar ustadz Noval sambil memperkenalkan teman-teman barunya. Andi hanya terdiam tanpa bergerak sedikitpun. Ketika ustadz Noval keluar dari kamarnya, ia segera tidur ditempat tidurnya yang baru tanpa menghiraukan teman-temannya yang lain. Dua bulan berlalu, Ibu tidak pernah mengunjunginya di asrama. Walaupun demikian, kegiatannya di asrama tetap berjalan dengan lancar seperti teman-temannya yang lain, Andi membaca Al Qur’an dan shalat lima waktu tidak pernah tinggal.
Pada suatu hari, saat jam pelajaran matematika berlangsung, Andi meminta izin untuk keluar sebentar ingin buang air kecil. Pak Hanif yang menyadari Andi belum kembali sejak dua puluh menit yang lalu, merasa tidak ada yang beres dengan hal itu. Ia pun menelepon Ustadz Noval untuk melaporkan Andi yang tidak kembali ke kelas sejak dua puluh menit, mereka mencari Andi kesana kemari tetapi tidak juga bertemu. Mereka melewati sebuah pondok yang sudah lama tidak terpakai, ustadz noval mencium aroma asap rokok dari balik pondok. Ia segera masuk dan mendapati Andi tengah menikmati sepuntung rokok dengan segelas alkohol eceran. Betapa kagetnya Ustadz Noval yang menemukan Andi dalam keadaan seperti itu, bagaimana tidak? Andi yang ia kenal selama dua bulan ini adalah anak yang sangat diam dan sangat menuruti apa perkataan guru-gurunya, ia juga tergolong anak yang mahir dalam membaca Al Qur’an dan rajin shalat. Andi yang terhenyak melihat guru-gurunya mendapati ia tengah dalam keadaan itu, hanya terdiam dan mengeluarkan air mata. “Aku benci hidup!” Ujarnya sambil melemparkan segelas alkohol eceran tersebut ke arah ustadz Noval, ustadz Noval yang selama ini menganggap Andi adalah santri terbaiknya, hanya bisa terdiam melihat kelakuannya barusan, tidak terasa air mata ustadz Noval mengalir secara perlahan.
“Apa kamu bilang? Percuma kamu shalat dan mengaji selama ini jika perilaku kamu tidak mengikuti junjungan! Untuk apa kamu berdo’a dan shalat sunnah selama ini jika kamu masih berteman dengan syaitan laknatillah!” Ujar pak Hanif dengan emosi yang tidak terkendali, hampir saja ia menampar wajah polos tak berdaya itu. Andi hanya menangis seperti orang yang tidak bersalah. “Aku shalat hanya untuk Ibu bahagia, aku mengaji supaya Ibu bangga, aku masuk kesini hanya untuk tidak menganggu waktunya yang kian hari makin sibuk. Aku hanya ingin menjadi anak yang lebih diperhatikan, bukan anak yang tidak dianggap seperti orang yang tidak dikenal sama sekali. Dulu Ayah dan Ibu saling mengungkap janji bahwa aku adalah anak semata wayang yang akan selalu jadi idola bagi mereka selain Nabi Muhammad, mereka menuntutku menjadi anak yang shalih seperti Nabi Ismail, tapi apa yang Ayah perbuat? Mencampakkan aku dan Ibu seperti tidak ada iman. Ia pergi dengan wanita lain dan mengkhianati Ibu yang selama ini sudah seperti khadijah baginya. Sementara Ibu? Tidak pernah menjengukku selama dua bulan ini. Ia sudah lupa dengan aku yang ia anggap sebagai kedua kakinya. Percuma gaya hidup seperti hidup para nabi, untuk apa aku menjadi shalih dan masuk surga sementara kehidupan rumah tanggaku berantakan. Aku benci gaya hidup seperti ini!” Ujar Andi sambil menangis terisak. “Jadi shalat lima waktumu selama ini, Al Qur’an yang sudah 5 kali kau khatam dan sunnah-sunnah nabi yang sudah kamu ikuti selama ini kamu anggap hanya sia-sia? Terus apa gunanya kamu percaya dengan adanya rukun iman. Apa maanfaatnya kamu mempunyai Allah yang selalu membuat hatimu sejuk tanpa ada bara dalam hati. Sekarang coba kamu renungkan sedikit tentang hadits kesabaran.” Jawab ustadz Noval kemudian meninggalkan Andi dan pondok tersebut. Andi segera terdiam diri dan menenangkan dirinya sendiri, kemudian ia kembali ke kamar dan menyegarkan dirinya kembali dengan mandi dan wudhu’, setelah ia menunaikan shalat dhuhanya, ia membuka buku kumpulan hadits dan membacanya satu persatu sampai ia menemukan sebuah hadis riwayat tarmidzi dari hadits Sa’ad rodhiyallahu’anhu yang isinya “Wahai Rasulullah SAW, siapa yang paling berat ujiannya? Beliau menjawab:”Para Nabi, kemudian yang seperti mereka dan yang seperti mereka. Maka seseorang itu diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika agamanya kuat, maka akan berat cobaannya dan jika agamanya ringan atau lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Senantiasa ujian dan cobaan itu menimpa seorang hamba sampai ia berjalan di atas bumi ini dalam keadaan tidak mempunyai kesalahan.” Ia segera menyadari segalanya. Ia memohon ampun atas apa yang telah terjadi selama ini, barang haram yang ia pakai kini telah ia tinggalkan. Ia menemui ustadz Noval yang tengah mengajar ngaji para santrinya. Andi berlutut di hadapan ustadz sambil mengatakan “Aku rindu Ibu. Bagaimana caranya agar rinduku ini tidak menjadi beban dalam jiwa sampai aku merasakan sakit yang amat dalam?” Tanyanya sambil mengadahkan wajah polosnya itu dihadapan sang ustadz. “Berdo’alah kepada Allah, mengadulah kepadanya tentang apa yang kau rasa. Ibumu mengirimkan kau kesini hanya untuk kehidupanmu lebih baik dan teratur sebagaimana kehidupan para nabi yang kamu bilang tadi. Ibumu menginginkan anaknya menjadi shalih seperti nabi ismail, dan menjadi idola kedua bagi Ibumu setelah Rasulullah. Jadikanlah hidupmu lebih berharga dari yang sebelumnya, pesantren ini dibuka bukan untuk penempatan jiwa-jiwa tak beriman dan tidak berakhlak. Jangan takut akan orang yang menyamakan kamu dengan orang-orang yang sudah rusak moralnya, jangan kau pedulikan omongan mereka. Pesantren ini adalah tempat dimana Umat islam yang beriman membekali dirinya untuk kehidupannya yang lebih sejahtera seperti kehidupan para nabi. Bukankah begitu?” Ujar ustadz noval diakhiri dengan senyum yang sangat ikhlas. Andi sadar dengan kelakuannya selama ini, ia segera bangkit dan tersenyum bahagia.