Jembatan Hijrah

Suka sebab rasa, itu sangat biasa. Akan tetapi, suka sebab iman, itu baru luar biasa.

Jujur saja, pertama kali Aretta melihat punggung tegap laki-laki yang tengah bercanda gurau dengan temannya di depan teras masjid ada rasa yang sangat berbeda, terlebih saat laki-laki itu menoleh dengan senyuman yang masih tercetak jelas di bibirnya, rasanya gadis yang kerap disapa Retta itu ingin sekali ikut tersenyum.

Wajah teduh laki-laki yang saat ini Retta ketahui bernama Fakhrizal Arga, membuat gadis itu beranggapan bahwa dirinya tengah dirundung rasa suka pada pandangan pertama. Retta tidak menampik bahwa wajah laki-laki yang akrab disapa Arga itu terbilang ganteng—sebagian temannya pun beranggapan sedemikian. Namun, lambat laun rasa yang gadis itu miliki bukan hanya soal fisik yang dimiliki oleh Arga, tetapi juga kepribadian laki-laki yang saat ini tergabung ke dalam organisasi berbasis rohani islam.

“Maaf, bukannya gimana-gimana, tapi saya hanya tidak setuju jika akhwat yang bakal tampil di acara yang notabennya untuk umum.”

Tidak bisa ditahan lagi, jantung Retta kini berdegup lebih cepat dari biasanya. Tahu, dirinya sangat tahu jika ia bukan satu-satunya perempuan di dunia ini, akan tetapi di saat Arga berucap dengan maksud menghargai sosok perempuan yang laki-laki itu sebut dengan kata “akhwat”, membuat Retta lagi-lagi kagum dengan sifat laki-laki itu.

“MasyaAllah banget, ya, Kak Arga. Dia tuh, ya, udah ganteng, baik, menghormati perempuan banget lagi. Cocok dijadiin mantu buat mama gue, nih.”

Ucapan Balqis membuat Retta mengalihkan pandangannya. Gadis itu kini menatap Balqis yang sudah menjadi temannya sejak bergabung dengan organisasi Rohis dengan tatapan tajam.

“Denger, ya, Kak Arga itu udah jadi jembatan hijrah gue. Dan, mungkin juga Allah emang udah ngasih dia buat jadi pendamping gue,” balas Retta dengan menekan suara di dua kata paling akhir.

Sadar akan ucapan bernada dingin Retta, Balqis merangkul pundak gadis itu, seraya menepuk-nepuknya. “Bercanda tadi itu gue. Gimana, ya, namanya juga usaha, kan, kali aja berbuah manis gitu.”

Retta mendecak, gadis itu tidak peduli dengan segala kata yang keluar dari bibir tipis Balqis. Ia kini kembali fokus memerhatikan Yusuf—kakak kelas, sekaligus ketua pelaksana di sebuah program kerja Rohis yang akan diadakan bulan ini.

“Ada alasan yang mendasari nggak?” tanya Yusuf atas pernyataan yang dilontarkan oleh Arga beberapa detik yang lalu.

“Ada.” Suara Arga kembali terdengar di balik pembatas yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan, dan Retta pun kembali memasang telinganya baik-baik. “Kita ini membawa nama Islam, yang artinya setiap langkah yang kita ambil atas dasar ajaran Islam. Kalian semua tau—terlebih akhwat, Islam sangat memuliakan wanita. Apa kalian rela kalo akhwat jadi pusat perhatian di acara nanti?”

Yusuf menghela napas pelan. Laki-laki berkacamata dengan lengsung di kedua pipinya hafal sangat dengan sifat Arga yang dijuluki dengan sebutan ‘alim sampai ke DNA’. Arga yang selalu berpegang teguh terhadap Islam memang terbilang kaku baginya. “Tapi, Ga, ini masalah yang beda. Tolong dikesampingin dulu perihal itu. Toh, kalau ada alasan syar’i diperbolehkan, bukan?”

“Alasan syar’inya apa? Pake pakaian syar’i gitu? Terus nyanyi sambil memerlihatkan gestur dan mimik? Itu nol, Suf. Setertutup apapun perempuan mereka itu selalu jadi fitnah terbesar bagi kaum kita,” balas Arga dengan nada yang masih terbilang santai namun ada penekanan di setiap kata.

Yusuf kalah, laki-laki itu mengetuk-ngetuk meja. “Ini udah tinggal dua minggu lagi acara. Ice breaking, hiburan, dan segala macemnya belum ditetapin. Jadi gimana? Ancur kalo cuma gini-gini aja.”

“Tenang, Suf. Nggak semua masalah ditanganin dengan emosi kaya gini.” Amira membuka suara. Gadis dengan kerudung panjang itu sangat terlihat santai saat menghadapi masalah. “Istigfar jangan lupa.”

Mendengar perkataan Amira, Yusuf langsung beristigfar dengan tangan mengusap-usap dadanya. “Gini, Ga, akhwat itu udah siap, sedangkan dari ikhwan sama sekali belum dilatih lagi. Gue nggak mau sampe hiburan yang buat keseluruhan acara jadi ancur.”

Arga berdehem. “Bukannya kita punya sanggar bakat? Kenapa nggak ambil dari situ aja?”

“Internal udah bosen. Lagian juga sanggar udah nggak aktif lagi,” balas Yusuf.

“Gini,” Ghani membuka suara, laki-laki yang menjabat sebagai ketua umum Rohis itu membetulkan posisi duduknya, “walaupun sanggar bakat udah nggak aktif, tapi masih ada orang-orang yang tergabung di dalamnya, bukan? Kenapa nggak kita minta mereka aja buat ngeluarin bakat mereka. Perihal anak internal yang udah bosen, itu bukan masalah, nanti kita poles lagi aja. Gimana?”

“Oke, yang lain gimana? Ada yang punya saran lain?” ucap Yusuf.

Beberapa menit suasana ruang rapat hening. Tidak ada yang memberi tanggapan sedikitpun.

“Kalo diem kaya gini, saya anggap keputusan sudah bulat, ya. Nanti tinggal tim acara mengkoordinasikan dengan divisi kreativitas aja, kalo emang kesulitan mengingat sebagian besar anak acara baru kelas sepuluh, bisa minta tolong sama saya atau kelas sebelas atau dua belas yang lain,” jelas Yusuf seraya merapihkan kertas-kertas yang berserakan di depannya.

Arga hanya mengangguk-anggukan kepalanya setuju. Jujur saja, laki-laki itu tidak mau berdebat panjang, apalagi mengetahui sifat Yusuf yang keras kepala.

“Rapat saya tutup dengan membaca lafaz hamdallah,” ucap Yusuf yang membuat peserta rapat mengucapkan kalimat alhamdulillah berbarengan. “Kurang lebihnya saya mohon maaf. Karena kesalahan terletak pada saya, dan kesempurnaan hamya milik Allah. Wassalamu’alaykum warrahmatullah wabarakatuh.”

•••

Retta menghela napas pelan. Sehabis mengikuti rapat OSIS yang membahas perihal kegiatan bakti sosial, agaknya membuat gadis itu merasakan pening di kepalanya. Pasalnya, ia ditunjuk sebagai koordinator acara, yang notabennya akan berkerja sebelum, saat, bahkan sesudah acara untuk evaluasi.

“Kantin ada yang buka, nggak?”

Nadia menoleh, sadar akan pertanyaan Retta yang tertuju padanya membuat gadis blesteran Jepang itu menaikan kedua bahunya. “Kurang tau gue. Biasanya, sih, ada dua sampe tiga penjual yang buka kalo hari Sabtu kaya gini. Mereka juga, kan, tau kalo hari ini biasanya anak eskul pada kumpul.”

Retta mengangguk-anggukan kepalanya. “Oalah, gitu. Yaudah, gue coba ke kantin dulu, deh, tiba-tiba perut gue laper,” ucapnya seraya mengaitkan tas di bahu kirinya.

“Perlu gue temenin nggak, nih?” tawar Nadia.

Retta tersenyum simpul, seraya menggeleng kecil gadis itu menjawab, “Nggak usah, lo juga lagi buru-buru, kan. Udah biasa sendiri juga gue.” Dan, diiringi dengan derai tawa kecil.

“Yaudah, kalo gitu gue duluan. Hati-hati jatuh hati,” ucap Nadia seraya berjalan menuju pintu dan keluar dari ruang rapat.

•••

Retta buru-buru keluar kantin ketika dirinya melihat wajah teduh Arga yang sedang terduduk di salah satu bangku kantin. Saking terburu-burunya, Retta hampir saya menjatuhkan minuman yang baru ia beli, untung saja minuman itu berhasil tertangkap oleh ibu kantin.

Setelah mengucapkan kata ‘terima kasih’ kepada ibu kantin yang telah menolongnya tanpa ingin melihat wajah Arga sedikitpun Retta berjalan cepat keluar kantin. Pasalnya, saat ini gadis itu tidak sedang memakai pakaian sesuai syariat Islam, dirinya hanya menggunakan celana jeans ketat, dengan kaos polos yang ia lapisi kemeja flannel dan kerudung pasmina yang hanya ia lilit ke belakang. Sangat tidak mencerminkan pakaian muslimah. Retta hanya bisa mengutuk dirinya sendiri saat ini.

Namun di sisi lain, Arga yang mendengar suara agak familiar yang mengucapkan ‘terima kasih’ menoleh. Dengan kedua alis bertaut menjadi satu, Arga mencoba mengingat-ingat kembali siapa perempuan itu.

“Bukannya dia anak Rohis?”

•••

“Sebagai anak Rohis atau bisa dibilang pendakwah sekolah, kita itu emang rawan banget. Rawan dalam artian, kita itu gerak-geriknya sangat dinilai, salah sedikit kena kritik,” ucap Amira dengan nada santai khas gadis itu.

Retta menganggukan kepalanya mengerti. “Separah itu, ya, Kak?”

Amira tersenyum tipis. “Lebih parah dari itu, orang-orang pendakwah itu orang-orang terpilih, mereka harus sabar. Terlepas dari itu semua, terkadang jalan dakwah itu jalan buat seleksi, siapa yang bener-bener beriman sama cuma ngaku beriman. Ada yang bertahan, dan ada juga yang milih buat keluar dari jalan dakwah. Tapi, Allah akan menggantikan orang-orang yang keluar dari jalan dakwah-Nya dengan orang-orang yang lebih baik, berlipat kali lebih baik dari mereka.”

Angin berhembus cukup kencang, sejuk udara kini menyapa mereka berdua—Retta dan Amira yang saat ini tengah berada di balkon masjid sekolah.

“Wah, keren! Kakak pernah ngalamin dikucilin nggak, Kak? Maksudnya, dikucilin sebagai anak Rohis?” Retta menatap wajah teduh Amira, kakak kelasnya yang sedari awal masuk SMA membuatnya kagum akan gaya berpakaiannya pun nada bicaranya yang sopan.

“Pernah, dan kayanya semua anak Rohis pernah, ya, walaupun cuma bercanda seperti; ukhti nggak panas pake kerudung sampe kaya jargon tango, berapa lapis? Ratusan!” cerita Amira seraya tersenyum membayangkan temannya berkata sedemikian kepadanya. “Hal yang biasa, nanti juga kamu bakal ngerasain, kok.”

Lagi-lagi Retta menganggukan kepalanya mengerti. “Bismillah, deh, kalo sampe nanti bakal kaya gitu bisa sabar ngadepinnya,” ucapnya diiringi derai tawa. “Oh iya, Kak, sebenernya Kakak ngajak saya ngobrol berdua kenapa? Hanya itu aja atau ada yang lain?”

Amira menepuk dahinya seraya berujar, “Astagfirullah, saya lupa.” Gadis itu menarik napas lalu membuangnya pelan. “Jadi gini, saya kemarin tuh ngobrol sama Arga, kamu kenal, kan?”

Jantung Retta tiba-tiba saja berdegup lebih cepat ketika nama Arga tersebut. Cepat-cepat gadis itu menganggukan kepalanya ragu. “I-iya, kenal. Kenapa, Kak?”

Entahlah, ada sedikit api cemburu yang menghampiri Retta setiap kali dirinya melihat ataupun mendengar jika Amira dan Arga berbicara, terlebih lagi banyak yang bilang jika Arga dan Amira sangat cocok. Padahal, siapa Retta? Punya hubungan apa ia dengan keduanya? Cemburu yang tak beralasan.

“Maaf kalau kamu tersinggung,” ucap Amira yang dihadiai sebuah anggukan oleh Retta. “Hari Sabtu lalu, Arga kalo nggak salah katanya lihat kamu di kantin pakai celana jeans, itu bener?”

Mati saja Retta! Ternyata Arga menyadari keberadaan dirinya di kantin sabtu kemarin. Bagaimana bisa?

“Eh, iya, Kak. Itu saya habis rapat OSIS. Memangnya ada apa, ya, Kak?” sahut Retta dengan diiringi pertanyaan.

Amira memegang pundak kiri Retta. “Gini, kamu tau sendiri, kan, kalau udah masuk Rohis itu bakal jadi contoh—seperti yang saya bilang tadi, rawan. Arga pesen coba perlahan kamu ubah penampilan kamu, seperti pake rok. Itu hanya pesen Arga, ya, kalau kamu emang masih berat, nggak masalah asalkan tau kondisi dan tempat aja.”

Degup jantung Retta semakin cepat berdegup. Jujur saja dirinya seakan-akan terbang saat tahu Arga diam-diam memerhatikannya—bahkan peduli atas dirinya. Bilang jika ini terlalu berlebih, Retta tidak peduli. Rasanya campur aduk, entahlah.

“Arga bilang, Islam sangat memuliakan wanita, kenapa wanita susah banget memuliakan dirinya sendiri. Padahal perintah Allah itu semata-mata untuk kebaikan umatnya,” lanjut Amira dengan senyum tipis khas gadis itu.

Retta tidak peduli jika kini pipinya sudah menampilkan warna kemerahan. “In Syaa Allah, saya akan coba, Kak. Terima kasih, Kak, dan sampein untuk Kak Arga juga terima kasih udah ingetin tentang betapa berharganya wanita.”

Amira mengangguk dengan jari-jari tangan mengusap-usap bahu Retta. “Semangat dakwahnya! Tetap genggam bara api walaupun panas, ya,” ucapnya yang membuat Retta menautkan kedua alisnya pertanda bingung. “Maksudnya tetap berdakwah walaupun banyak kritikan, cacian, bahkan hujatan di luaran sana, oke?”

Retta tersenyum. “Siap, Kak! In Syaa Allah.”

•••

“Aku cinta kamu karena Allah, bukan aku cinta Allah karena kamu.”

Retta tertawa geli mendengar kalimat yang diucapkan oleh kakak liqo-nya. Dirinya ingat bagaimana ia bisa hijrah sampai dengan sekarang.

“Hijrah itu karena Allah, bukan karena seseorang. Tapi terkadang juga Allah mengirimkan seseorang untuk membuat kita hijrah. MasyaAllah banget orang-orang yang dipilih Allah buat menjadi jembatan hijrah, pahalanya berlipat, tuh,” lanjut Rahma—kakak liqo Retta sejak gadis itu kelas sepuluh hingga kini dirinya kelas dua belas.

Tiba-tiba saja Retta teringat dengan sosok Fakhrizal Arga. Arga yang kini sudah menjadi ketua umum lembaga dakwah fakultas di salah satu perguruan tinggi negri di kota Malang benar-benar serius berdakwah, hingga mengikuti LDF, dan akhirnya terpilih menjadi ketua umum setelah kurang lebih satu periode terlibat ke dalam pengurusan.

Jangan heran mengapa Retta tahu semua hal tentang Arga, gadis itu merupakan stalker handal—apalagi soal Arga. Walaupun hampir dua tahun tidak melihat wajah teduh laki-laki itu secara langsung, namun Retta tetap memiliki rasa kagum terhadap kakak kelasnya itu.

“Lho, Kak, Retta aja hijrah gara-gara kakak kelas yang disuka. Gimana, tuh?”

Retta langsung tersadar dari lamunannya setelah mendengar nada cempreng milik Balqis. “Eh, nggak, Kak, bohong dia. Karena Allah,” bantahnya.

Rahma tersenyum. “Apanya, nih, yang karena Allah?”

“Mencintai Arga karena Allah, Kak,” celetuk Balqis yang membuat Retta menyubit lengannya.

Rahma menaikan kedua alisnya. “Arga siapa? Jembatan hijrah kamu?” tanyanya diiringi tawa kecil.

Retta mengusap-usap dadanya seraya beristigfar berkali-kali, lain halnya dengan Balqis yang kesakitan karena lengannya dicubit oleh Retta.

“Hanya Allah, Kak, yang tau.” Singkat, padat, dan jelas, Retta menjawab pertanyaan Rahma.

Cinta itu menjaga, bukan merusak. —Fakrizal Arga, 2016.


Penulis

2 COMMENTS
  • Nis
    Reply

    Kerennnn ??

  • Nis
    Reply

    Kerennnnn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *