THE EXISTENCE OF CLARITY

THE EXISTENCE OF CLARITY
“Welcome to London Exhibition Centre !”
Suara pembawa acara itu menggema ke seluruh ruangan sampai membuat bulu kudukku berdiri. Sebenarnya aku masih tidak percaya bahwa aku sekarang berada di London yang menjadi pusat dari Britania Raya ini. Siapa sangka pelukis yang berasal dari daerah yang cukup terpencil di Indonesia dapat menghadiri dan menjadi nominasi di acara bergengsi dunia. Tiba tiba suara musik khas pun terdengar dan pembawa acara beraksen inggris kental yang memperkenalkan diri bernama Cathrine itu pun mulai menyebutkan Best Painters .
“ …., Ms. Fatimah from Indonesia and Mr. Arthur from Ireland !”
Aku tenganga. Aku pemenangnya ? Alhamdulillah. Dari sekian banyak lukisan yang dipajang disana, punyaku termasuk yang memiliki skor tertinggi. Padahal masuk nominasi saja aku sudah bersyukur karena dibiayai untuk ke London selama 1 minggu.
Orang kedua yang menang bernama Arthur dan dia orang Irlandia. Perawakannya tinggi dan wajahnya tampan. Rambut pirang acak acakan dan matanya yang berwarna hijau zamrud membuatku menundukkan pandanganku dan ber-istighfar karena sempat terpesona dengan ketampanan pria asal Irlandia itu. Jujur, aku benar benar takut terjerumus ke dalam zina. Karena sungguh, azab zina itu sangat pedih. Dan aku akan menjaga mataku semampuku, insya allah.
Setelah menerima hadiah berupa uang tunai dan menyampaikan sedikit pidato secara bergantian, dia mendatangiku dan bertanya dengan alis bertaut,
“Kenapa kamu tadi mengalihkan pandanganmu ? Apa aku benar benar jelek?” Bahasa inggrisnya yang masih bercampur aksen Irlandia sebenarnya hampir membuatku tertawa. Tapi dia sedang serius sekarang. Aku takut nanti dia tersinggung.
“Tidak, itu hanya ajaran agama kami” aku menjawab dengan tenang.
“Tapi orang bisa salah paham,kau tahu?” Dahinya mengerenyit. Dan aku benar benar tertawa kali ini. Ekspresinya benar benar lucu dan polos.
“Kenapa kau tertawa?” mukanya tambah masam.
“Tidak, barusan ekspresimu lucu sekali. Seperti anak kecil” Aku menjawab jujur. Dan pipiku mulai hangat.
Kulihat pipinya juga memerah. “Kamu memakai kerudung,apakah kamu muslim?” Dia bertanya antusias sekaligus mengalihkan pembicaraan.
“Iya, memangnya kenapa?” aku balik bertanya, perasaanku mulai tidak enak.
“Tidak apa apa, tadinya aku ingin memberimu selamat dengan bersalaman. Tapi kalian tidak diizinkan bersentuhan kecuali dengan suami kalian kan?” Dia bertanya lagi. Rasa penasarannya tinggi sekali.
“Sebenarnya bukan hanya dengan suami, tapi kami juga boleh bersentuhan dengan keluarga ataupun mahram kami. Dan kamu tau sebanyak itu tentang Islam dari mana?” Aku menjelaskan sedikit dan kembali bertanya.
“Aku membaca banyak jenis buku, dan salah satunya tentang Islam. Tapi aku kurang mengerti karena bahasanya tinggi sekali” Dia mengeluh. Tampaknya dia tertarik dengan Islam.
Setelah percakapan yang cukup panjang tentang islam, aku pun pamit untuk kembali ke flat yang sudah disediakan oleh pihak penyelenggara. Hari sudah gelap dan sedikit berkabut. Aku mengeratkan jaketku dan mengusap telapak tanganku yang kedinginan. Malam ini adalah malam keduaku di London. Aku sampai di bandara kemarin pagi dan langsung diantar ke flat untuk beristirahat. Sorenya, panitia datang untuk mengambil lukisan buatanku yang masuk nominasi di acara award pagi tadi.
Walau sudah 2 hari disini, aku masih kesusahan dalam hal beradaptasi. Suhu yang terlalu rendah, gaya berpakaian yang jauh berbeda, belum lagi susahnya mencari makanan yang halal untukku memaksaku untuk mencari makanan di kedai fast food yang jelas label “halal” nya. Terkadang kalau aku ragu aku hanya akan memesan salad atau yang tidak mengandung daging.Karena aku tahu sekali larangan memakan daging hewan yang tidak disembelih atas nama Allah SWT .
Ting!
Aku mengambil telepon genggamku dan membuka pesan teks yang baru saja aku terima. Ternyata besok aku diminta datang untuk meramaikan acara untuk nominasi kedua, yaitu Best Song Writer . Wah, seketika aku excited karena pasti besok aku akan mendengar banyak lagu bagus..
Sesampainya di flat, aku menghempaskan diriku di sofa dan menyalakan penghangat ruangan. Aku menghela nafas pelan. Aku lelah sekali. Jadi aku memutuskan untuk tidak makan malam dan langsung tidur.
Besoknya, saat bersiap untuk ke London Exhibition Centre , tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Aku pun bergegas membuka pintu dan terbelalak karena yang datang adalah Arthur . Dia tersenyum lebar sambil menggaruk kepalanya canggung.
“Arthur ?! Kamu tau alamat flat ku dari mana ?” Aku berseru kaget. Dan aku menyesali nada suaraku yang terkesan tidak suka akan kedatangannya.
“Well, aku bertanya pada panitia kemarin sore” Dia menundukan kepalanya. Persis seperti anak SD yang sedang dimarahi gurunya. Aku pun tertawa terbahak bahak. “ Kenapa kamu tertawa ?” Dia mengangkat kepalanya, alisnya bertaut.
“Hahaha, kamu kayak terdakwa yang siap dihukum mati itu loh” aku masih tertawa.
“Jadi kamu nggak marah ?” Dia bertanya riang. Aku menggeleng pelan.
‘ Ayo! aku mau ajak kamu sarapan bareng. Lagipula acaranya masih 2 jam lagi”
Aku pun mengangguk dan mengikuti langkahnya ke tempat parkir dan seketika terkesiap saat melihat mobil Porsche keluaran terbaru terparkir dengan elegan disana. Aku tetap berusaha tenang walaupun dalam hati aku kaget karena ternyata Arthur adalah orang yang kaya bukan main.
“ Aku cukup tau aturan umat muslim dalam hal makanan. Jadi aku akan mengajakmu ke kedai temanku yang orang Bangladesh di sebelah timur London . Dia membuka restoran ala Asia-India yang enak sekali . Dan yang pasti halal” Dia memulai percakapan .
“ Di dekat restoranya juga ada East London Mosque yang merupakan masjid terbesar Inggris dan merupakan salah satu masjid pertama yang di izinkan menggunakan pengeras suara untuk menyiarkan adzan di inggris. Jadi nanti kamu bisa Shalat Dhuha disana sebelum kita ke acara award nya. ” Dia menjelaskan panjang lebar .
Aku ternganga. Dia bahkan tau tentang Shalat Dhuha? Subhanalllah .Bahkan aku sendiri yang muslim tidak terfikir untuk mencari masjid di London dan memilih shalat di rumah. Kami pun terus melaju ke Whitechapel Road, London dan berhenti di sebuah kedai yang cukup besar dan penuh dengan orang Turki atau India yang menetap di sekitar sini. Aroma kari dan rempah yang khas pun mulai tercium membuatku mendadak lapar.

Di kedai, aku benar benar merasakan nuansa Asia-India yang kental dan banyak makanan halal yang terhidang di meja . Bahkan cukup banyak dari mereka yang menggunakan hijab.
Kami pun menuju meja untuk memesan. Seorang cowok berbadan tinggi besar dengan muka khas India segera tersenyum lebar dan menyapa kami. Tampaknya dia segera mengenali dengan hanya melihat hijabku Kami pun memesan hidangan kari disana. Dan kau tau? saat aku mencoba karinya aku refleks mengatakan Subhanallah, karena rasanya enak sekali. Seperti cita rasa India dengan sentuhan rempah ala Indonesia.

“Apa banyak non muslim yang juga makan disini?” Aku bertanya. memulai percakapan. Piringku sudah kosong. Tapi aku belum mau beranjak.
“ Ya, kedai ini lumayan populer disini. selain halal dan enak, pelayanan disini juga bagus.” Arthur menyuap kari terakhirnya. Aku hanya mengangguk dan bersiap berdiri untuk membayar pesananku. Tapi Arthur langsung menyuruhku berhenti,“ Biar aku yang bayar. Aku kan seorang gentle man” Dia nyengir. Aku sontak tertawa dan mengangguk.
Kami pun memutuskan untuk ke East London Mosque dengan berjalan kaki sekaligus menikmati hiruk pikuk London di pagi hari. Bus merah ala London lalu lalang sibuk mengantarkan pekerja dan ibu ibu yang mukanya sudah sedikit berkerut karena takut terlambat.
Tidak lama, aku pun terkesiap saat melihat bangunan masjid megah yang berwarna cokelat elegan menjulang tinggi dengan gagahnya di depanku. Tanpa sadar air mata haru menetes dari kelopak mataku karena diberi kesempatan untuk dapat melihat satu dari sekian banyak kuasa Allah SWT di tanah Britania Raya ini. Dan kalian tau? Walaupun dari luar tampak tidak terlalu besar, ternyata di dalamnya luas dan megah sekali. Aku sampai mengucap subhanallah berkali kali.
Setelah shalat Dhuha, aku melihat bekas air mata di pipi Arthur.

“Arthur, Kamu kenapa?” Aku bertanya cemas.

“Tidak, aku baru saja membaca beberapa lembar terjemahan buku ini. Sungguh ini menyentuhku, Fatimah” Dia berkata pelan. Kepalanya tertunduk menatap Al-Qur’an milikku yang dia pegang. Aku tanpa sadar terkesiap. Pertama, dia menangis karena membaca terjemahan Al-Qur’an. Kedua, ini pertama kalinya dia memangilku dengan nama “Fatimah”.
“Itu adalah kitab suci kami, Al-Qur’an. Bimbingan yang berisi hukum dan dasar-dasar penting dalam kehidupan. Kau mau? ambillah. Aku masih punya satu lagi” Aku tersenyum.
Dia mengangguk. Sepanjang perjalanan dia sering termenung dan tidak fokus menyetir.

“Fatimah, selama ini aku tersesat dan tidak mengakui keberadaan tuhan. Apakah dia masih bisa memaafkanku?” Dia bertanya . Wajahnya redup.

“Tentu saja, selagi kamu benar benar bertaubat” Aku tesenyum. Hatiku tersentuh mendengar pertanyaannya. Dia terdiam. Bisa kulihat bibirnya gemetar.

“Walaupun aku banyak sekali dosa?” Dia bertanya lagi.
“Iya Arthur, Sesungguhnya Allah maha pengampun” Aku kembali menjelaskan.
Dia sontak menangis sesengukan. Dia bahkan, di acara penghargaan itu hanya duduk dan membaca terjemahan Al-Qur’an dalam diam dan sesekali mengusap air matanya pelan. Bahkan, saat aku diantarnya pulang, dia masih sempat bertanya tentang tata cara shalat dan berwudhu.

Namun setelah kejadian besar itu, aku benar benar tidak melihat Arthur selama 2 hari berturut-turut. Dia bahkan tidak menghadiri award yang notabene bergengsi dan berkelas dunia. Jujur, aku jadi sedikit cemas. Tapi sekarang aku tidak ambil pusing. Toh, dia sudah besar. Jadi aku rasa dia bisa mengurus dirinya sendiri. Ting!
Aku merogoh saku dan mengambil handphone ku dengan malas. Dan aku sontak terbelalak. Karena yang mengirim pesan adalah Arthur.

To : Fatimah
Assalam mualaikum ( apakah penulisannya benar?)
Ini aku, Arthur. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku memutuskan akan menjadi mualaf . Jangan tanya kenapa. Dan aku dibantu Imam Ali, yang menjadi Imam di masjid yang kita kunjungi dua hari yang lalu. Besok bisakah kau datang ke masjid ? Aku ingin kau hadir saat aku mengucapkan dua kalimat syahadat. Terima kasih sebelumnya.

Tanpa sadar aku mengucap Alhamdulillah dan air mata haru mengalir deras dari pelupuk mataku. Dadaku terasa lapang. Aku bahagia sekali melihat orang yang mendapat hidayah dan memutuskan untuk masuk Islam. Berulang kali kuucap hamdalah. Sungguh Allah SWT dengan kuasanya membolak-balik hati manusia. Bahkan saking bahagianya, aku berencana membelikan Arthur buku yang berisi Ilmu Islam dan hadis hadis untuk menguatkan pemahamannya sekaligus menjadi hadiah untuknya yang telah menemukan cahaya Islam setelah 20 tahun tidak mengakui adanya tuhan.

Jadi, aku ingin pamit ke kalian semua karena cerita ini telah mencapai akhirnya. Lagipula aku tidak akan lama lagi di London. Jadi aku berencana mengunjungi lebih banyak lagi masjid di Britania Raya ini. Ah, kalian tau apa maksudku kan?


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *