Pilih: pisang, apel, sirsak, atau nasi

Pilih: pisang, apel, sirsak, atau nasi
———-
Nama saya Ahmad Ndolak. Lahir di sebuah Desa yang sulit dilacak oleh GPS di era 80-an. Mungkinku juga sampai tahun 90-an desaku pun belum dapat dibaca GPS. Kira-kiraku. Nama desaku adalah Meraka Kecamatan Lambuya Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Saking terkenalnya teman sebayaku saja dari desa tetangga yakni desa Tanggobu acapkali mempelesetkan desaku. Katanya, “desamu penghuni Neraka”. Padahal kalau dikaji secara bentuk huruf “M” dan huruf “N” bak bumi dan langit. Mana bisa disamakan dengan Neraka apatahlagi sampai masuk kesana. Amit-amit ikan asin. Namun plesetan itu bertahan abadi buatnya untukku.
Meskipun begitu pertemanan kami selalu terjaga. Selalu bersama dari kelas 1 SD sampai dengan kelas 6 SD. Sejenak bernostalgia di masa SD, masa di mana kami mulai membangun karakter-karakter yang tanpa disadari jadilah kami yang 30-an tahun sekarang. Jadilah kami dengan karakter tak jauh dengan yang kami ciptakan sendiri kala itu. Masa di mana proses untuk mengetahui sesuatu itu terasa besar. Kalau tidak salah ingat kami ketika itu kelas 4 atau 5 SD. Udin temanku itu mengajak untuk mengikuti lomba azan yang diadakan oleh Masjid Baabut Taqwa Meraka. Terdaftarlah kami ketika itu mengikuti lomba azan. Esensinya kemudian kalau dipikirkan bukanlah juara atau tidaknya. Ketika direnungkan secara dalam olehku masa-masa itu adalah masa terbaik oleh kami karena berani mendaftar. Cerita barangkali akan berubah manakala masa itu kami hanya menjadi bagian dari murid SD yang hanya mendengar, berlarian, menertawai mereka yang mengikuti lomba.
Kalian harus percaya. Percaya kalau Saya dan Udin selalu menjadi juara ketika itu. Udin juara 1 saya juara 2 nya. Kalau juara 1 hadiah lumayan baguslah pun sedih dari juara kedua. Juara satu berhak mendapat beberapa buah buku tulis juga pulpen. Sedangkan juara kedua mendapatkan mie instan tiga bungkus. Tentu bagusan mie instan bukan. Hahaaa. Stop cerita masa itu Ahmad Ndolak. Stop.. lama.
Baik. Baiklah.
Maka dari tahun ke tahun saya selalu mengikuti lomba keagamaan yang diadakan Masjid. Semua lomba selalu saya ikuti. Juga Udin. Sehingga pada satu masa maka jadilah kami pengurus Masjid. Bukan sebagai anak murid yang pengen daftar lomba lagi. Kalau ingatan benar kelas 1-an SMA. Kala itu. Kami sudah menjadi bagian remas Masjid tercinta. Pembaca yang baik. Masa inilah yang kemudian mulai membuat ribuan Tanya. Ribuan ragu. Tentang agama pada diri Ahmad Ndolak.
Tahun itu 1997-2000an kalaulah tidak salah. Kala itu belumlah semarak Ormas-ormas keagamaan layaknya sekarang. Kala itu saya hanya tahu bahwa diri saya adalah NU… tahu bahwa NU adalah ormas atau partai pun TIDAK. Pengertian NU pun kalau sampai ada yang tanya tentu tidak tahu. Terlalu kan? NU itu kita, kata Ama Ina atau Papa Mama. Maka seiring waktu berproseslah kami menjadi remas masjid yang selalu sibuki diri di situ.
Tiba-tiba entah kapan. Lupa saya. Muncullah sekelompok orang dengan pakaian serba putih serba jenggotan serba surban serba jalan kaki serba memikul bawaan banyak serta serba bertongkat. Dalam hati saya acap berkata apakah mereka NU seperti kesemua kami disini. Dengan izin pemerintah atau tanpa pun (saya tidak tahu itu sob) mereka ternyata hendak tinggal tiga hari tiga malam di masjid kami. Sungguh senang mengetahui itu awalnya. Kami pun sering diajar tentang agama, diajak makan bersama ala mereka, shalat bersama, dan lain sebagainya.
Anehnya, ketika kami tidak di Masjid selalunya dicari. Aneh bagi kami yang belum selalu lima waktu di Masjid. Apa lagi bagi teman-teman lainnya. Masih main domino enak-enak diceramahi. Duduk di deker-deker pun kena ajakan ke Masjid. Sedang bercengkrama dengan keluarga di rumah pun tak luput ajakan mereka ke Masjid. Alhasil, mulailah timbul kontra-kontra dari orang tua yang dituakan desa kami. Agama apa itu? Aliran apa itu? Kok maksa orang ke masjid. Dan masih banyak lagi keluhan-keluhan yang terlontar ke mereka. Itulah kami. Ke semua kami kan NU. Mereka ternyata Jamaah Tablik. Maka mulailah muncul antipati kami ke mereka. Kami kan NU. Beda dengan kalian. Begitu pun dengan orang tua – orang tua kami. Kami dilarang bergabung dengan mereka. Nanti terekrut dengan mereka. Kata orang tua – orang tua kami. Benar saja, kedua hari mereka di masjid, terlihat tidak satu pun dari kami mau berjamaah dengan mereka lagi. Bahkan, ajakan untuk makan bersama, kajian bersama selalu remas tolak dengan cepat pulang ketika kami selesai sholat sendirian. Itulah kami. Kami NU kata Ama ina atau papa mama.
Setelah tiga hari pindahlah mereka ke masjid Tanggobu. Masjid Udin. Rasakan kamu Udin, kataku dalam hati. Setelah tiga hari di masjid tanggobu ternyata Udin. Ingatkan? Temanku Udin ikut mereka ke masjid-masjid berikutnya. Udin. Udin kamu tersesat. Udin berhasil dipengaruhi. Begitulah tanggapan-tanggapan orang tua – orang tua kami. Sehingga dalam waktu yang lama saya tidak pernah dengar kabar Udin lagi. Udin.
Setahun berlalunya jamaah tablik membuat kami tahu bahwa NU punya antipati. Yaitu jamaah tablik. Hahaaaa. Itulah kami kala itu..
Di tahun yang sama antara 1997-2000an. Terjodohkanlah oleh Allah Swt. Seorang perempuan kami dengan lelaki dari Kendari. Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara sob. Iswandi, S.Pd. namanya. Nama samaran. Awalnya tidaklah ada yang aneh dengan pernikahan tersebut. Semua begitu gembira. Apalagi dengan perempuan mempelai. Tentulah bergembira ria.
Entah apalah. Takdir atau ujian. Tahulah ? Di Jumat. Pelaksanaan shalat Jumat, imam kami tidak hadir. Orang tua – orang tua kami tak satu pun berani jadi imam. Tak berani atau tak tahu beda siletlah.
Majulah si Iswandi, S.Pd. dengan tak tahunya kami.
Luruskan, rapatkan saf. Katanya. ….
Alhamdulillahi rabbil alamin. …
Bisa bayangkan setelah ia memimpin shalat tanpa bismillah? Apa ayo!
Sebagian orang tua – orang tua kami langsung bergegas pulang tanpa berdoa seperti biasa. Sebagian lagi berani berkata di belakang … oo oo inilah aliran Muhamadiyah yang melarang bersanji, baca-baca keselamatan, tahlilan, dan lain sebagainya.
Ternyata tanpa bismillah adalah aliran Muhamadiyah. Saya tahu sekarang. Saya tahu sekarang.
Maka, perlahan-lahan pun warga kami mulai antipati dengan Iswandi, S.Pd.
Hanya saja. Iswandi ini hebat sob. Dengan banyaknya tekanan ia tidak gentar. Malah berani mengatakan baca-baca bid’ah. Tahlilan bid’ah. Bersanji adalah cerita nabi. Semua itu bid’ah. Tidak sesuai tuntunan nabi Saw. Beliau sangat berani.
Sedikit-sedikit mulailah saya tertarik dengan aliran Muhamadiyah itu. Seringlah pula saya menemui, belajar atau tepatnya diajari olehnya. Akan tetapi, tidak sampai ikut membaca Al-fatihah tanpa bismillah. Saya tidak berani. Saya tetaplah NU.
Ingin kukatakan kepada kalian bahwa dengan keberanian Iswandi itu membuat dirinya dibenci. Dibenci oleh kami. Begitu pun ia tidak pernah lagi memimpin kami shalat. Atau imam kami tidak lagi alpa. Mudah-mudahan selalu sehat. Pinta kami.
Yang saya mau katakan. Ternyata NU atau kami mulai banyak antipati. Aduuh.
Pertama jamaah tablik. Lalu muncul Muhammadiyah. Pokoknya tetap NU. Apa itu NU? Bagaimana itu NU? Intinya kami semua mayoritas NU.
Bergeser antara tahun 1999-2005an desa kami begitu berbahagia. Betapa tidak sebut saja Wahyu mendapat gelar S-2 pertama di desa kami. S-2 nya diperoleh di salah satu perguruan tinggi di ibukota provinsi. Dia bahkan menjadi ikon bagi pemuda-pemudi yang belum lanjut ke jenjang S-1.
Bukan S-2 nya yang hendak saya ceritakan sob. Akan tetapi, komitmennya terhadap agama begitu menggebuh-gebuh. Ia kerap banyak kali menyebut khilafah, khilafah islamiyah. Ia juga begitu senang dengan pemuda yang ingin menegakkan islam secara kaffah. Menurutnya itu harus.
Unik kubilang untuknya. Wahyu ini tidak mempermasalahkan bersanji, baca-baca keselamatan, tahlilan. Bahkan, ia sering bersama-sama kami melaksanakannya. Maka baginya, banyak orang tua – orang tua kami menyukainya. Tak satupun muncul antipati padanya. Tidak satu pun.
Ternyata. Ternyata sob. Dengan pernyataan diri bahwa ia merupakan ormas HTI. Sadarlah kami. Sadarlah kami NU tidak antipati pada HTI. Saat itu.
Belajar pulalah saya padanya berbagai hal keagamaan. Sama seperti saya diajarkan berbagai hal oleh Iswandi. Dari itu juga sering saya ceritakan ajaran Wahyu ke Iswandi. Ajaran Iswandi ke Wahyu.
Satu yang sangat saya ingat hingga sekarang. Ketika Iswandi mengatakan, kami ingin murnikan ajaran Rasulullah Saw. Kami ingin mengikuti sunnah rasul secara langsung tanpa mengikuti imam-imam mazhab yang dipelajari oleh NU. Oleh kami. Ketika itu saya ceritakan ke Wahyu. Sontak keluar kalimat-kalimat KELIRU DIA. DIA KELIRU.
Jujur saya katakan. Saya NU. Masih NU. Akan tetapi, otak keagamaan yang tertancap di kepalaku membenarkan Wahyu. Segala penjelasan-penjelasan tentang masalah-masalah yang saya tanyakan benar. Benar. Apa mungkin karena dia pintar dan saya bodoh?. Apa mungkin karena benci kami NU ke Iswandi?. Apa mungkin karena Wahyu bersama-sama ikut bersanji, tahlilan?. Saya bingung…
;;;;;;;;
Dengan kebingungan antara mereka. Mereka yang hadir di desaku. Tablik, Muhammadiyah, HTI, NU. Saya beranikan bertanya pada Wahyu. Maksud hati ingin mengobati kebingungan di diri ini. Begitu.
Wahyu bagaimana menurutmu? Dengan banyaknya aliran keagamaan sekarang? Ada NU, Tablik, Muhammadiyah, dan HTI.
Ahmad Ndolak lapar. Di meja ada pisang, ada apel, ada sirsak, dan ada Nasi. Maka pilihlah salah satu makanan yang benar-benar dapat mengenyangkanmu? Tidak boleh kita pilih semua. Dan ingat hidup itu adalah pilihan! Katanya ke saya.
Kata-kata itu sampai sekarang selalu saya ingat. Tidak akan saya lupa. Dan hebatnya buat saya, sampai sekarang belum memilih makanan apapun di meja itu …
——–
———
Malam ini merupakan malam ke-14 Ramadhan 1440 H. Sungguh khidmat dan menyentuh ketika dipimpin oleh seorang Imam Hafiz Alquran. Serasa hilang semua ragu di hati. Serasa bingung itu menjadi debu yang terkibas angin surga. Dan bersyukurnya imam Hafiz itu adalah Udin.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *