Pupus

Pukul 05:51 WITA
“Niur!!”
Aku menoleh pada perempuan yang langsung menjatuhkan peluknya melingkar leher, disusul cubitan dua gadis lain tepat pada rona jerawat.
“Aw! Tak berperasaan!” kutepis dua bilah tangan nakal itu dan mengelus jerawat mudaku.
“Biarlah sakit sekejap, supaya kau teringat pada kami nantinya. Kami tunggu dendam kau kala jerawat kami muncup kelak, haha..” gelak tawa mereka melayang menembus manyun bibirku.
“Silakan berjalan ke utara, Terminal Domestik ada disana. Keberangkatan Anda tepat pukul 06:00 WITA.” Ujar pegawai tampan bersetelan rapi memecah canda kami. Sepanjang kaki menapak 500 meter ke utara, Poli, Eysa, dan Tima bergunjing ria bertopik pegawai tampan hingga tiba pada titik dimana hanya aku yang sanggup melaju.
“Niur, hati-hati di Jawa sana, ya.” Poli lamat menatapku dari ujung ke ujung.
“Jangan lupa kau undang kami, kala kau nikahan nanti.” Eysa mundur satu langkah begitu cubitku hendak mendarat di pipinya.
“Tak kan lama memendam rindu. Semoga aku dapat susul kau di Jawa. Hendak masuk UGM, kan?” Tima menarik kami dan merangkul kami dengan tangan panjangnya.
“Terima kasih semua.”
Tak boleh ada tangis. Hanya tawa yang boleh mengantarkanku pada penghidupan baru. Berbalut mimpi dan kepercayaan yang merangkul kami, meleburkan bongsornya pesawat dan bentang laut yang memisah. Menanti esok mewujudkannya.
***
SMA N 1 Bayan, 16 Juli 2018
Kesiur angin bertabrakan membawa riuh gelora anak laki-laki bertanding bola di lapangan sekolah. Perempuan-perempuan macam kami sekedar menengok dari ujung-ujung lapangan, duduk menyoraki serunya permainan atau mencari-cari kakak kelas tampan bagi mereka yang tak tahu bola sama sekali. Ini adalah siang panas di hari Senin, namun euforia istirahat kedua tak pernah surut.
“Niuuuurrr!! Tengoklah Kakak itu! Aduhai tampannya…” Eysa terjerit-jerit menatap lamat arena tanding, tak ingin kehilangan satu detik pun jejak langkah kakak tampan. Apa daya bagiku yang hanya sanggup menahan malu berpunya kawan macam itu.
“Sadarlah! Mana mau dia sama kamu yang berandal!” Jawabku panas supaya terhenti tepuk soraknya kala kakak tampan memasukkan bola.
“Siapa tahu, dia cari yang beda. Kau kan tak tahu isi hati orang!” Ujar Eysa sembari menarikku menjauhi lapangan, duduk di pinggir teras kelas.
“Tandingnya telah usai, kalau kakak itu hendak kembali, pasti lewat sini Ur..” Eysa bersemangat celingak-celinguk menanti rombongan tim kembali ke kelas.
“Dasar kau, tak ada malukah?” Bisikku di telinganya tatkala bayang rombongan tersebut kian mendekat. Eysa justru meringis lebar. Kian lebar dan manis senyumnya setelah dua detik kemudian rombongan itu melintas di hadapan.
“Mari Kak!”
Sontak aku membuang muka kala Eysa mengeluarkan mantra penarik perhatian. Kasihan, ia sekedar dibalas anggukan kakak tampan.
“Eysa, kita masih SMA. Kalau cinta macam itu kembang, paling akan lewat dan lalu saja.” Kataku lepas punggung-punggung rombongan tadi memudar dari pandang.
“Niur, aku tahu. Tapi, apa salahnya berharap?” Jawab Eysa dengan kesungguhan dari sorot matanya, “kerap aku bermimpi hendak hidup macam apa dengan keluargaku kelak. Aku tak ingin jadi pegawai, aku tak ingin rumah mewah besar, jangan sampai anak-anakku tak kenal tetangga gegara keasyikan di rumah. Nanti aku beri mereka kasur tingkat untuk berhemat. Tiap pagi kami minum teh bersama di ruang tengah beralas tikar. Indahnya..”
Aku tersenyum larut dalam imajinya, “lamunanmu boleh indah kawan, tapi jangan lupa, tak ada laki-laki yang lirik kau. Hahaha…”
“Justru cowok berkualitas itu, yang tak suka lirak-lirik, tahu!”
Tawa kami kembang, tanpa rasa salah kala cowok-cowok yang melintas di hadapan kami, tak berkutik terhunjam sindir menyakitkan. Ah, SMA… imaji romansa mencandu penghuninya. Semoga harapan kau terwujud, Eysa.
***
SMA N 1 Bayan, 20 Juli 2018
“Kau akan pindah ke Jawa?!”
Aku sekedar mengangguk, menimpali pertanyaan yang senantiasa kudengar sejak kawan-kawan kuberitakan tentang hal ini.
“Benarkah, Ur? Tak betahkah kau tinggal di tanah kelahiran?” Poli tiada henti mengklarifikasi berita. Kelas senyap, para penuntut ilmu telah berpulang, mengistirahatkan otak untuk diisi ulang keesokan paginya. Aku dan Poli tinggal sebentar, mengerjakan laporan Biologi yang melulu direvisi.
“Bukan karena itu. Aku mesti ikut orang tua kerja di Jawa,” jawabku tanpa mengistirahatkan pena.
Poli menatap mataku antusias, tangannya mengepal, siap dengan orasinya, “Aku pun ingin kerja di Jawa, Ur! Jadi manager pabrik, memakai rok hitam dengan setelan rapi. Ada kartu namaku tertempel pada kerudung! Tiap hari meneteng laptop dalam tas hitam cantik. Dikit-dikit rapat bak orang sibuk nan penting…”
“Keluargamu?” Tanyaku, teringat pada harapan Eysa yang paradoks dengannya.
“Mamakku kata, jangan nikah muda. Kerja dulu yang mapan, kalau sudah bisa menaikkan haji orang tua, bolehlah menikah.”
Aku tertegun membayangkan kapan ia bisa menikah. Sungguh-sungguhkah ia?
“Eh, tetapi rencana ini fleksibel lho, Ur. Haha..” Sambungnya membaca keraguanku.
“Kalau begitu, belajarlah yang rajin, sampai kau kalahkan kepintaran orang-orang Jawa sana!” Kataku sambil menyodorkan kertas folio yang tak kunjung kotor.
Senja bersama laporan Biologi menjadi kebahagiaan, kala ada kawan dengan mimpi-mimpi menyongsong masa depan. Memang tak lama lagi kita harus cari kerja, karena kita sudah kelas dua SMA. Semoga rencanamu terwujud, Poli.
***
SMA N 1 Bayan, 31 Juli 2018
“Kau sudah kelas dua SMA, Ur. Apa tak merasa tanggung, tinggal setahun yang harus kau jalani.” Tanya Poli kala kami berempat nongkrong di kantin.
Aku menggeleng pelan dalam tunduk, tiada sanggup menatap perpisahan yang kian memburu, “Tak ada masalah. Sekolah di Jawa rata-rata lebih bagus kualitasnya. Kepindahanku mungkin justru mampu memudahkan masuk universitas.”
“Kau bakal tinggal di Yogya, bukan? Esok kala aku kuliah di UGM, numpang tidur di rumah kau, ya?!” Ujar Tima dengan mata tajam memaksa.
“Terserah, sih. Aku pun teringin masuk UGM pula. Tapi kalau tak diterima, yasudahlah. Saingannya memang banyak.” Jawabku yang berharap penuh ragu.
Eysa dan Poli mengangguk sama ragu. Namun tidak dengan Tima, ia adalah pelajar bermimpi ulung, “Lembek kali kalian. Tiada mustahil kalau kita belajar. Aku selalu terbayang memakai almamater warna perjuangan itu tiap harinya. Berangkat kuliah naik bis bersama kawan-kawan, pulang kuliah larut malam. Makan di kantin murah dengan nasi gunungan. Ikut BEM dan organisasi lainnya. Seminggu kemudian kamar kostku bak kapal pecah. Hahaha…”
“Ih, jijik. Masa tiada sempat kau bersih-bersih barang sekejap?” Ujar Eysa dengan kening mengedut, heran dengan style kebersihan Tima.
“Udah capek, Sa, kepala ini pening,” balas Tima seolah telah berada di masa depan, “Kalian tengok saja. Esok akan datang dokter dari UGM yang membantu jiwa-jiwa di Lombok Utara, dan ia adalah aku!!”
“Amiiin!!!” Sorak kami bersamaan, bertanding dengan riuh atmosfir kantin, memancing mata-mata untuk menatap kami.
Tiada masalah kami jadi pusat perhatian. Selagi mimpi dan tawa kami terus membumbung di angkasa. Semoga kita mampu masuk UGM, Tima, melenggang bersama di daratan Yogyakarta. Kami nantikan dokter pandai untuk tanah Lombok dan Nusantara tercinta.
***
Yogyakarta, 6 Agustus 2018
Lombok diguncang, tujuh skala richter hebatnya!
Kelam. Tembok kamar bercat putih bersanding lampu duduk temaram tak mampu memberi setitik cahaya. Anganku pupus bersama kabar tv yang hinggap di pagi buta. Ganggang telepon basah oleh keringat dari tangan, pun kipas angin tak mampu menghapus cucur keringat di kening. Mataku berat, seolah jelaga banyak menghinggap.
“Niur?” syukurlah, tersambung!
“Ya, Pak Kades…”
“Teman – temanmu sudah berkumpul. Mereka tersenyum dengan tenang… hendak berkata padamu ‘lanjutkan hidupmu, Ur’.”
Kosong. Tiba-tiba rasa ini teraduk, pikiran berputar delapan arah mencampur spektrum memori menjadi abstrak. Kisah harapan Eysa bersama keluarganya kelak, cita-cita Poli untuk menguasai Jawa, mimpi Tima untuk melenggang dengan almamater warna perjuangan. Angan mereka yang menyeretku untuk berangan pula, mengisi hari-hari kami di SMA, waktu tatkala kami menjadi pemuda, calon istri, calon pekerja, calon mahasiswi. Itu semua angan kami. Kini pupus karena mati, tanpa pernah kami menyebutnya dalam canda tawa kami.
Aku takut pada anganku di akhirat nanti.


Penulis

2 COMMENTS
  • Ilham
    Reply

    Sangat Inspiratif dan menarik ceritanya

  • Hamba Allah
    Reply

    Jalan cerita luar biasa. Perlu membaca 2 kali untuk memahami bahasa..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *