Mentari bersinar hangat, sinarnya menyeruak masuk melalui celah-celah jendela kamarku. Aku mengucek kedua mataku kulihat tirai jendela kamarku yang sedikit terbuka, dengan sigap aku menutup tirai itu sehingga tidak lagi memberi ruang bagi mentari untuk mengusik mimpi indahku. Dengan cekatan kuraih bantal guling yang tadi terjatuh di lantai lalu memeluknya erat-erat. Berhubung hari ini adalah hari libur, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menghabiskan waktu bergelut di tempat tidurku dan berlayar ke pulau mimpi sejauh-jauhnya. Baru saja aku hendak melayarkan mimpiku ke pulau impian, tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Aku mendengus kesal, dengan langkah malas aku berjalan menuju pintu kamarku berharap tak ada orang yang benar-benar mengetuk pintu. Namun terkadang iklan di televisi tak pernah meleset sedikitpun. Ya, saat kenyataan tak semanis ekspektasi. Kini di depan kamarku berdiri seorang gadis yang sebaya denganku tengah melempar senyum jahil yang sontak membuatku refleks menjitak kepalanya.
“Aduh! Sakit tau. Ini kepala bukan batok kelapa.” Celetuk gadis itu sambil mengelus puncak kepalanya yang sakit. Aku kembali mendengus kesal, “Apa yang kamu lakukan pagi-pagi buta di rumahku? Atau jangan-jangan kamu mau menculikku ya?” Tanyaku asal. Hana hanya tersenyum lantas tertawa. “Yee, siapa juga yang mau menculikmu. Penculik tingkat bawah sekalipun, pasti tahu menculikmu itu tidak ada untungnya,” canda Hana yang sukses membuatku memanyunkan bibir. Melihat ekspresiku yang mulai tidak bersahabat seperti awan mendung yang siap berkolaborasi dengan petir, Hana langsung berlari ke bawah sambil tertawa lepas. “Cepatlah Hilyah, hari ini kita harus ke pondok jangan sampai terlambat. Aku tak mau dihukum lagi sama Ustadzah Maemunah!” Teriak Hana yang semakin menjauh dari pandanganku. Mendengar ucapan Hana barusan, aku menepuk jidat.”Oh iya, kenapa aku lupa ya, hari ini kan seluruh santri diwajibkan datang ke pondok.” Ucapku merutuki ingatanku yang cukup payah. Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk kembali ke dalam kamar dan segera mencuci muka lalu mengganti pakaian. Aku tak akan sempat mandi lagi. Membayangkan hukuman Ustadzah Maemunah saja sudah membuatku bergidik ngeri, apalagi menjalaninya. Uh, sudahlah kuyakin aku akan mengalami mimpi buruk tiga hari berturut-turut. Setelah mengenakan jilbab dan kaus kaki yang senada dengan gamis hijauku, aku bergegas turun ke bawah menemui Hana dan tak sabar untuk menjitak kembali gadis itu. Sesampainya di ruang tamu, kulihat Umi yang sedang berbincang santai dengan Hana. Aku menghampiri Umi dan Hana, “Assalamualaikum Umi.” Sapaku pada Umi sambil mencium punggung tangannya.
“Waalaikumsalam kakak.” Balas Umi lalu mengecup singkat keningku. Di keluargaku aku terbiasa dipanggil kakak oleh Umi, Abi, dan Zayn adikku. Setelah menyapa Umi dan menanyakan keberadaan Abi dan adikku, tanpa buang waktu aku dan Hana memutuskan langsung berangkat ke pondok. Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. “Aduh, Hana sepertinya kita akan terlambat.” Ujarku setelah memakai sandal dan segera berlari-lari kecil menuju pangkalan angkot yang berada tak jauh dari rumahku. “Kamu sih, bangunnya telat. Kan, sudah ada pengumuman kemarin dari Ustadzah Maemunah,” balas Hana sembari berusaha menyejajari langkahnya denganku.
“Iya aku minta maaf. Lebih baik sekarang kita bergegas sebelum Ustadzah Maemunah mendapati kita terlambat lagi.”
“Tapi Hilyah, kalau ketahuan sama Ustadzah Maemunah kita harus bilang apa?” Tanya Hana.
“Ya tinggal jujur saja, toh meskipun terlambat tapi setidaknya kita dapat nilai pahala dari kejujuran. Iya kan?”
Hana mengangguk pelan lalu tersenyum.
“Kamu memang teman terbaik, Hilyah.” Balas Hana masih dengan seulas senyum yang menghiasi wajahnya.
Aku ikut tersenyum simpul bersamaan dengan itu sebuah angkot berhenti tepat di depan kami. Tanpa menunggu lama, aku dan Hana langsung masuk ke dalam angkot, barharap hari ini takdir berbaik hati pada kami agar tidak bertemu dengan Ustadzah Maemunah terlebih dengan sebuah rotan yang selalu bergantung manja di tangannya.
Setelah beberapa menit kuhabiskan waktu di dalam angkot yang sangat sumpek dan pengap, akhirnya kami tiba di pondok. Setelah membayar tagihan dari si pemilik mobil, aku dan Hana langsung bergegas menuju ke aula pesantren yang terletak di samping perpustakaan.
“Aku takut, Hilyah.” Kudengar suara Hana yang setengah berbisik. Aku menoleh,
“Takut kenapa? Kita bukan mau perang loh, Hana,” celetukku.
“Kalau tiba-tiba kita ketemu sama Ustadzah Maemunah, gimana dong?”
“Astagfirullah Hana yang cantik, memangnya Ustadzah Maemunah itu monster? Hahaha.” Candaku.
“Gak lucu, Hilyah.” Balas Hana. Aku hanya tertawa cekikikan melihat tingkah sahabatku yang satu ini. Aku menatap sekelilingku, santri yang lain mulai berdatangan, aku menarik tangan Hana buru-buru masuk ke dalam aula pesantren sebelum semua tempat duduk penuh. Hari ini adalah hari terakhirku di pondok setelah melaksanakan ujian nasional tingkat MTs kemarin. Selama tiga tahun aku mengenyam pendidikan di sini, cukup banyak pengalaman dan pelajaran hidup yang kudapatkan. Mulai dari belajar mandiri dan jauh dari orang tua, belajar ikhlash dan sabar ketika mendapat hukuman, belajar disiplin waktu, dan berbagai macam pelajaran hidup lainnya.
“Eh Hilyah, kamu rencana mau lanjut kemana?” Tanya Hana sesaat setelah kami duduk. Aku menggeleng pelan, “Entahlah Hana, aku juga masih bingung. Tapi yang pastinya aku akan mondok lagi,” jawabku yang di balas anggukan singkat oleh Hana.
“Bagaimana denganmu?” Hana mengedikkan bahunya lalu menggeleng,
“Sama sepertimu, aku juga belum tahu.”
Ujar Hana. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, “Eh, Hana gimana kalau kamu ikut saja denganku mondok lagi? Supaya kita bisa bareng lagi,” Usulku.
Hana nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya bersuara, “Insya Allah Hilyah, kita berdo’a saja. Kuharap juga begitu.” Balas Hana sambil mengulum senyum. Aku mengangguk mengiyakan. Bersamaan dengan itu, terlihat Ustadzah Maemunah yang kini berjalan menuju panggung utama dan tentu saja lengkap dengan rotan yang terlihat seperti mencari mangasnya. Aku mengembuskan napas berat. Hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang, aku berharap semua kenanganku di pondok ini akan tersimpan sebagai memori yang paling indah.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini roda kehidupan membawaku kembali bernaung di bawah langit pesantren. Di sinilah aku saat ini, dengan perasaan senang dan sedih yang bercampur aduk aku melangkahkan kaki menuju asrama yang telah ditentukan untuk para santri baru setelah resmi lulus dan menjadi santri di pondok ini. Meskipun ini bukan kali pertama aku mondok namun rasa sedih tetap menyelimuti perasaanku. Sedih karena harus berpisah lagi dengan abi, umi, dan Zayn adikku. Rasanya baru saja kemarin aku menghabiskan waktu bersama mereka dan kini takdir menyeretku kembali berstatus sebagai santri. Ah, tiba-tiba aku teringat dengan Hana, setelah memutuskan pindah keluar kota bersama keluarganya aku tak lagi bertemu dengannya. Sedih rasanya berpisah dengan Hana, selama tiga tahun mondok bersama, Hana adalah sahabatku yang selalu ada dan memberiku semangat saat-saat aku berada pada titik jenuh dalam menghadapi berbagai masalah yang menimpaku. Hana kuharap kau selalu berada dalam lindungan Allah, semoga tetap istiqomah dan ingat aku selalu. Tak terasa bulir air mataku mulai berjatuhan. Skenario Allah terlalu indah dalam mengatur cerita hidupku. Tak mau berlarut dalam kesedihan, aku mempercepat langkahku menuju sebuah asrama yang tak jauh berada di depanku. Sesampainya di sana, tanpa memperdulikan para santri yang lalu lalang aku segera menyusuri satu persatu kamar-kamar yang berjejer rapi sembari mataku yang terus menelisik setiap lembaran kertas yang tertempel di pintu setiap kamar. Langkahku terhenti saat kulihat namaku tertera jelas di pintu kamar yang kuketahui kamar dua. Tanpa pikir panjang aku langsung memasuki kamar baruku, aku mengedarkan pandanganku kesekeliling kamar. Ukuran kamar ini terbilang luas dengan empat buah jendela dan sekitaran dua belas lemari yang berjejer rapi. Tak ada siapa-siapa di kamar ini selain aku dan tentunya barang-barang yang kini mulai kususun rapi di lemari yang terdapat namaku di sana. Selang beberapa menit, kudengar derap langkah kaki seseorang yang berjalan menuju kamarku. Karena penasaran, aku menoleh dan tepat saja di ujung pintu kamar, kulihat seorang gadis cantik yang mengenakan jilbab ungu tengah tersenyum manis padaku. Dengan ragu aku balas tersenyum kikuk. Sepertinya dia santri baru juga di kamar ini, terbukti dengan sejumlah barang yang terletak di dekatnya. Detik berikutnya, gadis itu menghampiriku menghiraukan barang-barangnya yang masih tergeletak di dekat pintu kamar.
“Hai, kamu juga santri baru ya?” Tanya gadis yang belum kuketahui namanya itu. Aku mengangguk sopan, “Iya, aku lulusan pesantren Al-Ikhlash,” jawabku.
Gadis itu bergumam pelan, lalu ia menyulurkan tangannya padaku, “Kenalkan aku Zaidah, sama sepertimu santri baru juga.” Ucapnya sambil mengulas senyum. Aku menyambut uluran tangannya dan balas tersenyum, “Aku Hilyah. Lengkapnya Hilyatul Hayah.” Jawabku memperkenalkan diri.
“Masya Allah nama yang indah!” Puji Zaidah yang membuatku kembali mengulum senyum. “Namamu juga indah, bahkan lebih indah,” tuturku yang membuat Zaidah tertawa kecil.
“Ah, tidak juga. Hilyah kuharap kita bisa berteman,”
“Tentu Zaidah, kenapa tidak? Hehe,”
“Baiklah, kupikir aku juga harus segera menyusun barangku.” Setelah mengucapkan kalimatnya barusan, Zaidah bergegas pergi mengambil barang-barangnya yang tadi ia tinggalkan di dekat pintu. Aku menatapnya sambil tersenyum. Kesanku padanya adalah dia gadis yang ceria dan ramah, dengan sikapnya yang seperti itu tentu tak membuat Zaidah kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya tak seperti denganku.
“Hei, apa kamu memikirkan sesuatu?” Aku tersentak dan menoleh mendapati Zaidah yang kini menatapku bingung. Aku menggeleng cepat, “Ah, tidak apa-apa.” Balasku.
“Ya sudah. Kalau ada sesuatu bilang saja padaku jangan sungkan, insya Allah aku bisa membantumu.”
“Jazakillah Zaidah.” Ucapku tulus.
“Tidak masalah.” Balas Zaidah.
Setelah menyusun barang-barangku, aku memilih untuk beristirahat sejenak. Suasana kamarku terluhat ramai, satu dua orang santri mulai berdatangan. Kulihat Zaidah yang tengah sibuk merapikan barang-barangnya ke dalam lemari sambil sesekali bertegur sapa dengan beberapa santri sekamarku yang lainnya. Ah, enaknya menjadi seperti Zaidah yang mudah akrab dan bergaul dengan orang baru, Sungguh berbeda denganku. Aku menghela napas panjang pandanganku menerawang menatap langit-langit kamar dan menit selanjutnya aku memejamkan mata berniat kembali berlayar ke pulau impian.
****
Tak terasa sudah tiga bulan aku di pondok ini. Tidak ada yang beda dengan pondokku sebelumnya. Hanya saja, peraturan di pondok ini jauh lebih ketat dibandingkan dengan pondokku yang dulu. Saat ini aku berada di masjid bersama Zaidah di sampingku yang sudah terlihat gugup dan cemas dari tadi. Aku menggeleng pelan, “Tenanglah Zaidah, kurasa namamu takkan disebut,” ucapku seraya menepuk lengannya.
“Aku takut Hilyah, membayangkan jilbab itu saja membuatku mati kutu. Bagaimana kalau harus memakainya? Aduh mau ditaruh di mana mukaku ini?” Aku terkekeh pelan mendengar celotehan Zaidah. Sampai beberapa nama santri disebuat, nama Zaidah tak kunjung terdengar. Hingga tiba di nama terakhir, Zaidah menghela napas lega setidaknya untuk malam ini, di absen dari tempat ‘sakral’ itu. Di pondok ini, aku menemukan hal baru yang tidak kutemukan di pondokku sebelumnya. Seperti hal yang tadi contohnya, di pondokku terdapat sebuah organisasi yang serupa dengan OSIS, kami menyebutnya Mudabbir. Anggota Mudabbir terdiri dari sekumpulan santri yang telah diseleksi untuk menjadi tangan kanan pembina. Setiap orang berada di devisi berbeda, seperti yang tadi. Setiap malan akan ada pengumuman pelanggaran bahasa dari devisi penggerak bahasa. Nama-nama yang disebutkan adalah mereka yang dalam sehari ini melakukan pelanggaran dengan menggunakan bahasa Indonesia. Setiap santri pelanggar, yang namanya disebut empat kali berturut-turut, maka sanksinya harus mengenakan jilbab hijau yang telah dicoret dengan coretan tinta spidol, dan telah ditambal menggunakan potongan-potongan sarung. Jilbab itu harus digunakan selama satu hari penuh, kemanapun kita pergi kecuali saat shalat dan berada di asrama. Ah, sungguh hal yang sangat menyenangkan menurutku. Aku kembali mengedarkan pandanganku ke sekeliling, kulihat teman, adik kelas, dan juga kakak kelasku ada yang sibuk bersenda gurau ada yang terlihat sedih karena namanya disebutkan barusan, dan berbagai bentuk pengekspresian lainnya. Aku menghela napas panjang, ya Allah kuharap dengan semua takdir yang Kau goreskan padaku, membuatku menjadi hamba yang semakin taat dan bersyukur terhadap semua nikmat dan karunia-Mu. Amin ya rabbal alamin.
2 COMMENTS
keren, blog ini sangat menolong. saya jadi mengerti banyak hal dari blog ini. lanjutkan!!!
Terima kasih. Semoga bisa mengedukiasi.