Kakek Berpeci Putih

Menurutku dia adalah orang yang spesial. Belum lama kukenal, namun caranya menghadapi orang-orang terasa akrab, hangat, dan terbuka. Meskipun orang yang dia hadapi lebih muda, termasuk dengan diriku. Karena kesan pertama yang kudapat adalah peci putih yang selalu beliau kenakan, aku memanggilnya dengan sebutan Kakek Berpeci Putih.

Ciri khas itulah yang memudahkanku untuk mengingat sosoknya. Peci putih itu tidak hanya beliau pakai pada saat beribadah saja. Dalam kesehariannya, beliau juga sering memakai peci putih untuk bepergian kemana saja, entah jarak dekat maupun jarak jauh. Sering aku melihatnya berpeci ketika berjalan-jalan dan berinteraksi dengan warga kampung.

Tepat di tarawih pembuka, aku pertama kali bertemu dengan beliau. Kakek Berpeci Putih itu berada di shaf pertama. Awalnya aku kira dia hanya orang yang kebetulan singgah dan ikut tarawih di masjid kampungku. Tapi ternyata hari-hari selanjutnya, dia terus menempati barisan terdepan.

Wajah Kakek Berpeci Putih itu terasa asing buatku. Wajar, karena aku belum pernah bertatap muka sama sekali. Walau begitu, kakek itu tampak sangat akrab dengan warga kampung. Awalnya kulihat beliau tampak dekat dengan orang-orang tua. Jelas, jika beliau seperti ini. Naluri alami seseorang untuk bergaul dengan orang seumurannya. namun di lain hari, aku bertemu beliau juga terlihat akrab dengan orang-orang kampung yang lebih muda dari beliau termasuk orangtuaku sendiri.

Seiring waktu berjalan, banyak pertanyaan yang mengusikku tentang Kakek Berpeci Putih tersebut dan memaksaku untuk segera mengungkapkannya. Awalnya aku bertanya kepada orangtuaku sendiri. Kebetulan aku pernah melihat mereka berbincang dengan Kakek Berpeci Putih. Itu meyakinkanku jika keduanya ialah sumber yang tepat.

“Bu, sebenarnya kakek yang memakai peci putih kemarin itu siapa sih?”, tanyaku pada ibu pada saat kami berdua pulang dari tarawih di masjid bersama.

“O…yang kakek yang kemarin berbincang dengan ibu?”, ibu memperjelas pertanyaanku.

“Ya.”

“Nama beliau Latif, adik Kakek Mahfud?”

“Adik Kakek Mahfud yang belum lama meninggal itu?”

“Betul. Setelah kakaknya meninggal, Kakek Latif pulang ke sini untuk menempati dan merawat rumah Kakek Mahfud yang sebenarnya merupakan peninggalan kedua orangtua mereka.”

“Jika memang saudara Kakek Mahfud, mengapa Kakek Latif jarang ke sini? Aku saja baru tahu beliau sekarang.”

“Kalau tentang itu, dulu keluarga besar Kakek Mahfud memang tinggal di sini. Akan tetapi setelah menikah, hanya Kakek Mahfud sebagai anak sulung yang tinggal di sini, sedangkan semua saudara kandungnya memilih untuk tinggal secara mandiri di kota lain. Sebelum kembali ke kampung ini, Kakek Latif tinggal di Samarinda,” jelas ibu.

“O, jadi begitu orangnya.”

“Memangnya ada perlu apa kamu menanyakan beliau?”

“E, tidak ada apa-apa kok, Bu. Cuma ingin tahu saja.”

“Kalau memang ingin tahu tentang beliau, bertanya langsung kepada Kakek Latif saja. Tidak perlu takut, beliau orang ramahdan terbuka dengan warga kampung sini kok,” saran ibu.

“Baiklah kalau begitu.”

Keesokan harinya, setelah Asar di masjid, kulihat Kakek Latif sedang duduk sendirian di teras masjid. Langsung saja kudekati beliau,”Kok di sini sendirian, Kek?”, tanyaku sembari menyapa.

“Oh…ya ini. Sedang ingin sendiri saja, Nak. Kalau boleh kakek tahu, siapa namamu?” Kakek Latif balas menanyakan namaku.

“Tentu. Perkenalkan Kek, nama saya Haris, putranya Pak Suhandi,” kataku sambil berjabat tangan.

“O…jadi kamu putranya Pak Handi. Sudah besar ya sekarang.”

“Ya, Kek. Sudah kelas sebelas SMA.”

“Wah, hebat!” puji beliau. “Nama kakek, Latif. Adiknya Kakek Mahfud, kamu pasti sudah tahu dia kan?”

“Ya.”

“Kakek sebenarnya juga warga kampung sini, namun setelah menikah, memilih tinggal di Samarinda. Sebelum meninggal, Kakek memang diminta Kakek Mahfud untuk mengurus rumah di sini. Rumah peninggalan orangtua, tempat Kakek dulu menghabiskan masa muda.”

Sejak itu, aku dan Kakek Latif semakin akrab. Ada ceritanya yang menarik perhatianku. Mulai waktu mudanya, keluarga besarnya, masa ketika beliau tinggal di Samarinda, hingga cerita tentang peci putih yang selalu melekat di kepalanya. Kakek Latif sangat terampil untuk menyampaikan kisah hidupnya. Sebenarnya tidak hanya aku yang mendengar ceritanya saja, akan tetapi hanya kepadaku bercerita lebih banyak. Aku merasa beliau lebih terbuka padaku daripada warga kampung lain.

Yang tidak mengenakkan beberapa temanku mulai memanggilku “cucu peci putih”. Kedekatanku dengan Kakek Latif memang menjadi bahan ejekan mereka, tetapi aku tidak perlu membalasnya. Di bulan puasa ini ada yang jauh lebih berharga untuk diucapkan daripada sekedar saling menjuluki. Apalagi Kakek Berpeci Putih itu memberiku sangat banyak ilmu, yang mungkin bisa “memaksaku” untuk memakai peci putih juga agar lebih mirip dengannya.

Ilmu yang Kakek Latif bagi memang banyak, tetapi lebih banyak menyangkut hal-hal yang sedang terjadi di kehidupan sekarang. Pernah suatu kali beliau berkata padaku, ”Kakek bingung. Mengapa anak muda jaman sekarang sangat berbeda dengan jaman kakek. Anak muda sekarang terkesan lebih bebas dan longgar, dibanding jaman kakek yang bahkan meskipun sudah berkepala dua saja masih dibawah pengawasan ketat orangtua.”

“Wah pasti tidak nyaman sekali jika seperti itu?”

“Memang tidak nyaman, tapi kamu bisa lihat hasilnya. Kami tumbuh menjadi lebih dewasa. Itu juga kakek terapkan dalam pendidikan pada putra-putri kakek. Akhirnya putra-putri kakek bisa tumbuh menjadi pribadi yang dewasa pula. Akan tetapi kakek sadar jika sekarang, hal seperti itu sulit dilakukan.”

“Wah, kenapa bisa sulit?”

“Jelas itu hal yang sulit, karena anak sekarang seperti kamu menghadapi hal yang berbeda dengan apa yang kita hadapi di masa lalu. Jaman sekarang apa saja menjadi lebih mudah dan lebih murah. Berbeda sekali dengan waktu yang telah lalu.”

“Bukankah baiknya memang seperti itu, Kek? Manusia dan dunianya terus berkembang menjadi suatu bentuk kehidupan yang lebih baik.”

“Memang seperti itulah kodrat manusia. Terus berkembang. Akan tetapi, dengan segala kelemahan yang dimilikinya manusia belum tentu bisa menemukan sesuatu yang baru, sekaligus mempertahankan hal yang lama, meskipun itu bernilai baik. Bagi manusia, jika ada yang masuk pasti ada yang dikeluarkan atau ditinggalkan.”

“Bukankah manusia hidup bersama secara sosial? Tidak bisakah itu digunakan untuk saling mengisi dengan yang lainnya?”

“Seharusnya bisa. Namun keinginan manusia untuk sama dengan yang lain membuat keinginan untuk saling mengisi itu seperti mimpi percuma. Yang kemudian muncul adalah kumpulan manusia yang mempunyai banyak kemiripan. Karena mirip, kemudian yang terjadi adalah makin banyak gesekan.”

“Tetapi dari yang pernah kualami, tuntutan untuk menjadi sama seperti sudah ditetapkan? Bagaimana kalau begitu?”

“Ya seperti itulah yang terjadi dalam kehidupan kita. Ada standar-standar yang menuntut kita mencapai sesuatu yang telah ditetapkan. Dalam mencapainya kita harus bersaing dengan yang lain, bahkan tidak jarang sampai saling menyakiti. Untuk menghadapinya, kita harus kembali pada nalar dan hati nurani kita.”

“Maksud kakek?”

“Nalar dan hati adalah tempat dimana kendali kehidupan kita berada, tempat dimana cahaya Ilahi turun pada kita. Maka dari itu pikirkan baik dan dengarkan hati nuranimu. Tidak butuh waktu lama, pasti muncul pilihan terbaik buatmu.”

“Akan tetapi banyak orang yang seringkali terjebak oleh pilihannya sendiri dalam hidup mereka.”

“Itu karena mereka tidak menghayati dan mensyukuri apa yang telah mereka pilih dan sedang dihadapi. Selama kita masih hidup, Tuhan tidak menutup peluang kita untuk mengoreksi diri sendiri. Seperti kita berdua yang sedang berbicara ini. Tidak hanya kamu yang belajar dari kakek, namun juga kakek belajar dari anak muda seperti kamu. Apalagi pemikiranmu berbeda dengan anak seumuranmu, lebih dewasa, lebih cepat mengerti.”

Aku kaget. Baru kali ini kutemukan sosok orang tua seperti beliau yang mengaku tidak sungkan mempelajari hal baru dari anak muda. Yang aku tahu, kebanyakan orang yang berumur lebih tua sering bertindak sebagai guru di depan yang lebih muda, Mereka cenderung menjaga jarak agar tidak sering dibantah.

Sering bergaul dengan Kakek Latif dan karena sering diejek, malah mendorongku untuk mencari sebuah peci putih yang mirip dengan apa yang dipakai oleh beliau. Maklum, anak muda, masa pencarian identitas diri. Terkadang mudah untuk menirukan apa yang dilakukan oleh orang lain agar memiliki suatu ciri khas yang sama. Akan tetapi bagiku tidak harus sama dengan kebanyakan orang. Kelompok kecil namun bermanfaat jauh lebih mulia daripada sekedar ikut-ikutan orang banyak.
Sayang, peci putih baruku belum sempat dan tidak akan pernah Kakek Latif lihat. Duet “Kakek-Cucu Berpeci Putih” tidak akan pernah ada lagi. Itu hanya akan menjadi cerita di kampungku yang tidak akan pernah terlupakan. Kesedihan menjelma spora penyakit yang dalam waktu singkat berhasil merasuk dalam tubuh warga kampung.

Ini terjadi pada malam keduapuluhlima di bulan puasa ini. Keadaan tampak biasa saja di kampungku. Orang-orang bangun untuk sahur. Ada yang tergesa-gesa karena bangun terlalu pagi dan ada yang santai karena sebelumnya telah bangun. Hingga azan Subuh berkumandang dari masjid kampung menggema dan menyatu dengan lainnya, mengisi langit pagi yang beranjak meninggalkan petang menuju cerah yang dimulai dari munculnya garis mega di ufuk timur.

Warga kampung yang masih bersemangat untuk melaksanakan Subuh berjamaah di masjid datang berduyun-duyun dari penjuru kampung. Masing-masing menunjukkan keinginan kuat untuk bertahan di tengah dingin waktu pagi. Ayam-ayam yang sebelumnya hanya satu persatu berkokok, kini terdengar kompak bersahut-sahutan menyambut mereka yang berjalan menuju pahala, berkah, dan cahaya surga.

Begitu pula denganku ikut menyambut pagi dengan udaranya yang segar. Kulangkahkan kaki ke masjid, tepat ketika azan berkumandang. Aku tidak ingin terlalu tergesa-gesa berangkat ke masjid. Sampai di masjid, kulihat beberapa orang telah memenuhi shaf terdepan, termasuk Kakek Latif dengan peci putihnya yang setia menutupi kepalanya. Dia tampak khusyuk dalam menjalankan sholat sunahnya.

Aku juga segera melakukan hal yang sama namun ketika selesai, terjadi keributan. Beberapa orang mengerumuni Kakek Latif yang sekilas kulihat sedang dalam posisi bersujud. Aneh. Mengapa beliau masih bersujud. Seharusnya kan beliau sudah selesai sholat. Akhirnya aku ikut berkerumun. Orang-orang yang mencoba membangunkannya tidak mendapatkan respon. Kakek Berpeci Putih itu tetap pada posisinya. Sebagian orang yang mencoba mengecek keadaan beliau justru menunjukkan mimik muka khawatir. Itu menjalar padaku.

“Sudah. Sebelum ini berakhir dengan buruk, lebih baik ayo kita bawa ke rumah sakit saja,” usul ketua takmir masjid.

“Pakai mobil saya saja, sebentar saya keluarkan dulu,” salah satu warga ikut menawarkan bantuan.

Sebagian orang bergegas membawanya ke rumah sakit, sedangkan lainnya yang tidak ikut meneruskan ssubuh berjamaah dan menyusul ke rumah sakit. Kabar selanjutnya begitu menohok. Tepat pada pukul tujuh pagi, beliau menghembuskan nafas terakhir. Diagnosa dokter menyebutkan, Kakek Latif itu meninggal karena gagal jantung.

“Innalillahi wa innailaihi rajiun,” semua orang tampak terkejut mendengar berita sedih yang mendadak ini.

Orang-orang di rumah sakit langsung menghubungi warga di kampung untuk menyiapkan pemakaman. Jumat pagi itu kampungku berkabung. Meskipun orang baru, kami merasa baru saja kehilangan sosok yang terbuka, ramah, dan menghormati orang lain. Bagi diriku sendiri, itu lebih mendalam. Aku kehilangan sosok guru baru yang tidak hanya mengajar, akan tetapi memberi teladan yang baik dan menghargaiku sebagai anak dan juga teman.

Jenazah disholatkan selepas sholat Jumat, dan segera dikebumikan. Siang hari, mendung terlihat mengelabukan kampung. Seolah ikut bersedih melepas kepergian sang Kakek Berpeci Putih itu. Bumi memang terbuka, akan tetapi tetap terasa raut berat dan sedihnya.

Selamat jalan Kakek.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *