Sepotong Roti

Di pedesaan yang asri seorang perempuan paruh baya hidup dengan anak laki-lakinya. Mereka hidup dengan sangat sederhana. Suaminya sudah tiada puluhan tahun lamanya. Marni, sebut saja namanya. Hidup sendiri dan menghidupi seorang anak kecil tentu tidaklah mudah. Dia berjuang tanpa mengeluh dan berkeluh kesah. Hidup sulit membuatnya begitu kuat dan tegar. Marni membuat roti untuk menafkahi anaknya. Hidup sederhana tapi selalu bahagia. Tangannya begitu terampil mengolah bahan adonan menjadi roti berkualitas tinggi. Sehingga roti buatannya tak asing lagi di desanya. Marni orang yang sangat dermawan. Setiap membuat roti maka selalu di siapkan beberapa buah untuk sedekah. Sebagai wujud syukur atas nikmat yang Allah beri padanya.

Setiap hari Marni meletakan sepiring roti di depan rumahnya. Siapapun bisa mengambil roti itu dengan cuma-cuma. Tak pandang status mereka kaya atau miskin. Minah tak pernah mengeluhkan siapa yang mengambil rotinya. Setiap yang lewat dengan leluasa akan bisa mengambil dan menikmati. Ada seorang pemulung dengan pakaian lusuh yang setiap hari selalu singgah dan mengambil satu roti dan membawanya pulang. Tak pernah terlewat sehari pun untuk mengambilnya. Tak masalah bagi Marni, siapa yang akan mengambil dan menikmati. Tak juga butuh ucapan terima kasih atau sanjung puji atas setiap tindakannya. Marni ikhlas melakukan. Hanya setiap kali si pemulung itu datang dan mengambil roti bukan ucapan terima kasih yang terucap.
“Semua akan kembali kepadamu. Setiap kebaikan akan menolongmu
dan keburukan akan juga kembali padamu.” Demikian selalu terucap dari bibirnya.

Sudah bertahun lamanya apa yang diucapkan si pemulung setela mengambil roti tak pernah berubah. Marni heran dengan ucapannya. Biasanya orang akan mengucapkan terima kasih atau sekedar memuji roti buatannya. Roti yang termasyhur karena kelezatannya. Marni menjadi jengah. Tapi, untuk apa berhenti melakukan kebaikan karena ucapan si pemulung. Bisik hati Marni ketika ingin berhenti, hanya saja kupingnya panas juga rasanya mendengar kata
itu terlontar berulang setiap hari.

Suatu hari anak semata wayangnya menghilang. Anak itu pergi tanpa pamit, Marni sangat putus asa. Setiap hari menangis dan memanggil nama anaknya. Hingga harapan untuk berjumpa kembali dengan anaknya yang hilang. Kemana harus mencari, sekitar rumah sudah di cari. Seluruh penjuru desa hingga desa tetangga pun juga sudah dikelilingi berulang kali. Marni sangat tertekan. Beberapa hari tak bisa membuat roti lagi. Hanya menangis dan melamun saja. Tapi, hidup harus terus berjalan. Dengan atau tanpa kehadiran anaknya.

Hari ini Marni mulai lagi membuat roti setelah sekian lamanya libur.
Marni juga seperti biasa menyimpan sepiring roti untuk berbagi. Di
letakan roti itu di tempat biasa. Si pemulung dengan pakaian lusuh datang lagi dan mengucap kata yang sama.
“Semua akan kembali padamu. Setiap kebaikan akan menolongmu dan keburukan akan kembali padamu.”
Amarah Marni pun memuncak.
“Harus ku beri pelajaran orang tak tahu di untung itu. Tidak tahu apa,
jika aku sudah berbaik hati, belasan tahun lamanya menikmati
makanan pemberianku. Tidak tahu terima kasih. Besok jika kau
datang lagi akan aku beri racun roti buatanku. Mungkin nanti kau bisa
berterima kasih padaku di alam baka,” Ucapnya dengan murka.

Esok harinya, si pemulung terlihat dengan tergopoh-gopoh datang.
Marni tersenyum sinis. Sedari tadi sudah di siapkan roti dengan
racun untuk si bungkuk. Saat akan memberikan roti. Minah merenung,
berpikir ulang dengan apa yang dilakukannya. Menimbang baik
buruknya. Tangan Marni bergetar. Jika roti ini aku berikan, maka aku akan membunuh pria bungkuk itu. Tangan yang biasa membuat roti akan menjadi seorang jagal. Adonan yang aku buat menjadi pengantar kematian.

Marni melempar roti itu ke tempat sampah.
“Mengapa harus membunuh hanya karena tersinggung. Kelak di akhirat akan di laknat. Hidup di dunia penuh dengan tatapan kebencian orang. Entah berapa lama lagi usiaku tersisa. Aku sudah renta dan hidup tanpa keluarga, haruskah menodai sisa usiaku dengan perbuatan dosa.” Batinnya.
Marni menangis. Menyadari kekeliruannya. Marni mengulur sepotong roti yang terbaik buatannya pada si pemulung. Seukir senyum hadir dari wajah si pemukung. Tampak semringah wajah yang belasan tahun hanya di lihat dari balik jendela, kini ada di hadapannya.
“Semua akan kembali padamu. Setiap kebaikan akan menolongmu dan keburukan akan juga kembali padamu.”
Entah mengapa kali ini Marni merasa lega dengan ucapan si bungkuk
tua. Tak ada lagi marah dan gusar ketika mendengar. Dadanya
terasa lapang. Tanpa terasa air mata mengalir di pipinya. Wajah
kurus si pemulung yang nyaris jadi korbannya, tampak begitu polos.
Hampir saja menjadi korban dendam kesumat hati. Bisikan syetan
nyaris menguasai diri, hingga berujung penyesalan yang tak berkesudahan.

*****

Di tengah malam buta Minah terjaga. Suara ketukan pintu terdengar. Siapa yang mengetuk di malam begini. Tanya Marni di hati.
‘Krek’ …. Handle pintu dibukanya.
“Rahman, anakku” Pekik Marni tak percaya.
“Ya Ibu, ini aku. Anakmu sudah pulang” Jawabnya sembari menangis
tersedu.
“Kemana saja kau, Nak ?”
“Aku tersesat saat bermain dengan kawanku. Entah di mana berada.
Hingga hampir mati kelaparan tadi siang seorang pemulung dengan pakaian lusuh datang memberiku sepotong roti dan segelas air minum. Akhirnya dengan sisa tenaga yang tersisa aku bisa pulang.”
Seorang pemulung dan rotinya. Mendengar itu Marni sangat terpukul.
Lututnya seolah tak ada tulang penopang. Mungkin si pemulung itu orang yang sama dengan yang di beri roti olehnya. Si pemulung yang hampir di bunuhnya.

Kembali terngiang ucapan si pemulung. Sungguh benar ucapannya.
“Semua akan kembali padamu. Setiap kebaikan akan menolongmu.”
Kebaikan karena memberi makan si bungkuk telah membuat anaknya
selamat dari kelaparan dan bisa pulang kembali ke rumah.
“Keburukan juga akan kembali kepadamu.”
Jika saja roti beracun yang di berikan sudah tentu roti itu akan membuat anaknya meninggal.

MasyaaAllah. Senantiasalah berbuat kebaikan meski tanpa sanjung puji. Tak ada tepukan penghormatan atau sebuah lencana penghargaan. Kita tak pernah tahu siapa yang akan membalas setiap perbuatan baik kita. Janganlah berharap imbal balik yang sama dari orang yang kita tanam kebaikan. Setiap kebaikan atau keburukan takan pernah luput dari hisab-Nya.

Semoga bermanfaat


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *