Dongeng Senja Andalusia

“ Sodaqollahul adziim” aku menutup alquran kecilku dan memasukkannya ke sakuku. Udara semakin dingin. Aku membenarkan posisi syalku. Entah kenapa aku enggan beranjak dari kursi di taman ini meski kurasakan butiran-butiran salju semakin deras berjatuhan disekitarku.
“ hei nak, Kau pasti orang Indonesia ya? Wah..wah, sudah lama aku tidak melihat wajah cucu-cucu dari negriku sendiri.” tiba-tiba aku terkejut ketika seorang lelaki tua dengan aksen bahasa Indonesianya yang begitu lancar itu menghampiriku.
“e….iya pak” jawabku dengan ekspesi muka bingung dan terkejut.
Aku memperhatikan Pak tua itu. Dia memakai pakaian dan syal yang sangat tebal dengan rambutnya yang putih. Dari wajahnya aku bisa menebak kalau dia berasal dari rumpun melayu dan negri yang sama denganku.
Tanpa basa-basi dia langsung duduk disebelahku. Aku sedikit bergeser dari posisiku untuk memberinya ruang lebih luas untuk duduk.
“Kenapa kau hanya diam disini. Harusnya kau siap-siap untuk malam natal nanti” tanya Pak Tua itu padaku.
Aku sedikit tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalaku mendengar pertanyaan itu. Lalu aku jawab “saya muslim, Pak”.
Pak tua itu menoleh kearahku. Beberapa detik ia memperhatikan wajahku. Kemudian mulutnya menganga, lalu ia tertawa. “oh..ternyata..kita punya nasib yang sama ya. Sama-sama akan kesepian malam ini. Padahal teman-teman kita justru sedang bersuka cita dengan orang-orang tercinta mereka. Ha..haa..haa!!uhuk..uhuk..” ia tertawa puas sekali sampai terbatuk-batuk.
Aku tersenyum menanggapi ucapannya. Tapi kalau kupikir, benar juga. Aku memang akan melewati malam ini sendiri. Teman-teman kuliahku disini sibuk merayakan natal dengan keluarga-keluarga mereka.
Akhirnya pak tua itu mampu menghentikan tawanya. Aku masih memperhatikan wajahnya. Matanya menatap ke arah depan. Ke sebrang jalan dimana saat itu banyak orang berlalu-lalang masuk ke toko-toko disebrang tersebut. Dia mulai berbicara lagi, “ Ironis bukan bung? padahal kita ada di negara yang dulunya menjadi pusat Islam di Eropa”.
Aku cukup kaget mendengar ucapan Pak Tua ini. Tampaknya ia mempunyai wawasan sejarah yang cukup luas.
“Bapak tahu banyak tentang sejarah Spanyol ya?” tanyaku. Dia kembali menoleh kearahku. Kali ini dia memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku mulai merasa tak nyaman. “Ehem” aku berdehem untuk mencairkan suasana. “ Aku bukan orang pintar sejarah, Bung. Tapi semua orang pasti kenal Thariq Bin Ziyad” ucapannya kali ini terasa menggebu-gebu.
Aku tidak menjawab. “Hei, jangan bilang kalau kau yang mahasiswa berpendidikan tidak pernah mendengar nama itu” katanya sambil tertawa. Aku hanya tersenyum tipis. Sebenarnya perkataannya yang terakhir cukup menyinggung perasaanku. Aku memang tidak tahu banyak mengenai sejarah islam di Spanyol, tapi kalau sekedar Thariq Bin Ziyad mana mungkin aku tidak tahu.
“Tentu saja saya tahu, Pak. Saya sangat mengidolakan Thariq Bin Ziyad. Saya sangat kagum dengan kisahnya saat dia memimpin pasukannya menyebrangi selat gibraltar untuk memasuki Spanyol” sanggahku.
Pak tua itu tersenyum. Dia mengangguk-anggukan kepalanya mendengar jawabanku. “Dimana kau kuliah, Nak?” tanyanya. Dengan bangga aku menjawab “Saya kuliah di Universitas Cordoba, Pak.”. Entah mengapa aku selalu bangga ketika ada orang yang bertanya mengenai universitas tempatku berkuliah.
“Cordoba?” tanya Pak Tua itu. Aku melihat wajahnya yang ceria saat mulutnya melontarkan pertanyaan tersebut padaku.
“Iya, Pak. Saya mahasiswa pasca sarjana di Cordoba” jawabku yang semakin mantap dengan senyuman yang lebih lebar daripada senyuman si pak Tua sebelumnya.
“Bersyukurlah, Nak. Kau bersekolah di universitas yang bagus. Pada masa kejayaan Islam di Andalusia, universitas itulah yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan muslim di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Banyak orang-orang dari luar Spanyol yang datang untuk menuntut ilmu ke sana.”
Kali ini aku tidak menimpali ucapannya. Aku mencoba menjadi pendengar yang setia. Sebenarnya aku juga cukup mengetahui reputasi kampusku di masa silam. Tapi aku juga ingin mendengar bagaimana cerita versi Pak tua ini.
“Kau tahu,Bung. Bahkan dulu raja Inggris pernah mengirim surat pada Sultan Hisyam. Sang Raja menulis di surat itu bahwa ia kagum dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan industri di Cordoba. Dia ingin supaya putra-putri Inggris bisa bersekolah di Cordoba, Hebat bukan?”
Pak Tua itu nampak bersemangat berbicara. Sorot matanya menunjukan rasa bangga yang luar biasa. Aku mulai merasa kagum juga dengan orang disebelahku ini dengan wawasan dan rasa kebanggaannya itu.
“Hei, kau tahu cerita tentang istana Al-Hambra di Granada itu kan, Bung?”Pak Tua kembali memulai pembicaraan. Aku menganggukkan kepalaku. Kalau aku berkomentar, aku takut salah bicara. “Istana itu benar-benar sebagai bukti betapa hebatnya para umat muslim saat itu. Benar-benar berjasa Thariq Bin Ziyad itu, kalau bukan dia yang memimpin serangan saat itu, mungkin takkan pernah ada bangunan seindah Al-Hambra di negri ini.”
“Thariq Bin Ziyad memang orang yang sangat berpengaruh bagi umat muslim Andalusia ya” kataku menegaskan cerita Pak Tua itu.
“Ya, Nak. Kau benar. Tak bisa aku bayangkan betapa hebat dan beraninya dia” Pak tua menimpali omonganku dengan nada yang lebih menggebu-gebu lagi.
Aku mulai menikmati obrolanku dengan Bapak tua yang amat mengidolakan Thariq Bin Ziyad itu. Hingga hari menjelang senja. Toko-toko yang berjajar di sebrang jalan itu mulai terlihat cantik dengan hiasan-hiasan lampu natalnya yang mulai menyala. Kami berdua masih belum beranjak dari tempat duduk kami sedari sore tadi. Semakin malam udara di kota Sevilla semakin dingin. Salju yang turunpun makin deras. Kami mulai berpikir untuk berpindah tempat.
“Kenapa kita tidak masuk ke cafe itu, Nak? Sepertinya didalam lebih baik” Kata Pak Tua itu ketika melihatku memasukkan tanganku ke saku mantelku. Ya, aku memang mulai kedinginan dengan udara luar, padahal kulihat Pak Tua masih nyaman-nyaman saja dengan kondisinya. Hebat, pikirku. Aku melihat ada sebuah cafe di sebrang jalan yang sedari tadi kuamati. “Ide bagus, Pak. Udara malam kota Sevilla saat musim dingin tidak baik untuk kesehatan” jawabku semangat.
Pak Tua tertawa terbahak-bahak melihatku yang langsung berdiri dengan semangat dari tempat dudukku. Sebenarnya aku aneh, apa yang dia tertawakan. Apa perkataanku tadi itu lucu? Tapi akhirnya aku juga ikut tertawa.
Pak tua kemudian berdiri. Kami berdua pun akhirnya benar-benar pergi dari taman itu, menuju ke sebrang jalan. Entah jalanan yang memang ramai oleh orang-orang yang ingin merayakan malam natal dan cukup banyak ditutupi salju, atau memang jalan si Pak Tua yang lamban, rasanya lama sekali perjalanan dari taman menuju cafe tersebut. Padahal kedua tempat tersebut hanya bersebrangan dan mungkin hanya berjarak sekitar 200m. Aku rasanya sudah tidak sabar untuk memesan secangkir cappucino disana.
“Ha..ha..ha!!! benar-benar ya anak muda jaman sekarang.ha..ha..ha..!!!” Aku masih ikut tertawa walau tak mengerti apa maksudnya. “Bagaimana kalau kau hidup di masa perang bersama Thariq bin Ziyad, Bung! Ha..ha..ha! “
“Zaman sudah berubah, Pak, ha..ha..ha!!” jawabku sekenanya sambil tertawa.
Akhirnya kami berdua sampai didepan pintu cafe yang kita tuju. Aku dan Pak Tua langsung masuk ke cafe yang pintunya sudah terbuka itu. Baru satu langkah kakiku memasuki cafe itu, rasanya udara seketika berubah menjadi hangat. Dekorasi didalamnya tampak meriah dengan bermacam-macam ornamen bernuansa natal. Cafe ini ternyata cukup ramai dipenuhi orang-orang. Kami sempat kebingungan mencari tempat. Sepertinya hampir seluruh meja di cafe itu sudah ada yang menempati.
“Pak, kita duduk disana saja” kataku pada Pak Tua ketika aku lihat ada satu meja yang masih kosong yang berada diujung sebelah jendela.
Kami langsung menuju meja kosong tersebut. Ya, sebelum ditempati orang lain. Setelah duduk aku langsung memanggil pelayan cafe. Tidak sabar rasanya untuk menyeruput hangatnya segelas cappucino.
“Bapak mau pesan apa?” tanyaku pada Pak Tua.
“Terserah, samakan saja dengan pesananmu. Aku mau ke toilet dulu”.
Sambil menunggu pesanan cappucino dan Pak Tua kembali dari toilet, aku kembali mengambil al-quran kecilku dari saku mantel dan meneruskan bacaan tadarusku. Beberapa menit kemudian Pak Tua kembali dari toilet. Aku mengakhiri bacaan al-quranku dan meletakkannya disamping meja.
“Oh,ya.Bagaimana kuliahmu di Cordoba?” Pak tua memulai kembali pembicaraan.
Aku menarik nafas senelum menjawab pertanyaan itu.
“Ya, menyenangkan” kataku. Pak Tua memperhatikan raut mukaku. “Ucapanmu tadi berbanding terbalik dengan apa yang kulihat di mukamu, Nak.”
Aku memandang ke luar jendela. Mencoba memalingkan wajahku dari Pak Tua yang masih saja menatapku tajam.
“Sudah hampir dua tahun saya disini tapi saya tetap tidak betah, Pak. Saya tidak suka dengan suasananya, keadaannya. Ya, entahlah. Banyak orang yang ingin kuliah di Eropa, tapi saya yang punya kesempatan itu justru merasa tersiksa.”
“Lalu kenapa kau kesini? Hahaha!” Pak tua kembali mengeluarkan suara tawa khasnya.
“Paman saya yang mengirim saya kesini. Paman sangat ingin saya kuliah di Spanyol. Dia yang membiayai semua biaya pendidikan saya semenjak ayah saya meninggal” suaraku terasa tertahan saat menyebut nama ayah. Aku meminum beberapa teguk cappucinoku.
“Saya rindu Indonesia, Pak. Ingin sekali rasanya kembali kesana” ucapku sambil memandangi gelas cappucino.
“ Kau tahu cerita saat Thariq Bin Ziyad dan pasukannya baru masuk ke Andalusia. Dia membakar semua kapal yang mereka gunakan untuk berlayar. Sehingga tidak ada pilihan bagi mereka untuk pulang. Mereka hanya punya dua pilihan, menguasai Andalusia atau mati syahid disana”
Aku mendengarkan omongan Pak Tua tapi mataku tak lepas memandangi gelas cappucino dihadapanku.
“Ingat pidato yang dikatakan Thariq pada 7000 pasukannya saat itu? Pak Tua bertanya.
Aku sedikit memgingat inti pidato yang dimaksudkan Pak Tua itu. Aku sempat dua kali membaca buku biografi mengenai Thariz bin Ziyad yang kupinjam dari perpustakaan kampus itu.
Masih dengan mata yang memandang gelas cappucino dan pikiran yang setengah melamun, aku bergumam, “ wahai saudara-saudaraku, lautan ada dibelakang kalian, musuh ada didepan kalian, Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa dipulau ini kalian lebih terlantar daripada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang yang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani pada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian.”
Pandanganku yang semenjak tadi memandang lekat gelas cappucino itu akhirnya beralih ke wajah Pak Tua. Pak Tua tersenyum mendengar ucapanku tadi. “Kau ingat isi pidatonya ya? Kau tahu kan maksud dari pidato Thariq Bin Ziyad yang kau ucapkan tadi?” katanya.
Senyumku merekah. Tidak seperti senyum-senyumku sebelumnya. Seakan tiba-tiba ada suntikan semangat yang masuk kedalam tubuhku. “Suatu saat nanti, kalau kau pulang ke Indonesia, kau harus pulang dengan kepala tegak seperti idolamu itu yang pulang ke Damaskus setelah menaklukkan sebagian besar daratan Eropa. Bukan dengan kepala tertunduk lesu seperti para umat muslim yang dipaksa untuk keluar dari Spanyol.” Pak Tua berbicara setelah meminum cappucinonya.
“bersemangatlah, Nak. Jangan sia-siakan kesempatanmu. Indonesia ada di tangan generasi-generasi muda sepertimu. Kuatkan imanmu, Bangunlah generasi Islam yang tangguh untuk masa depan Indonesia” Pak Tua kembali berpanjang lebar menasihatiku.
“Andai saja umat Islam tetap berjaya di Spanyol ya. Mungkin malam ini kita tidak akan berada dalam keadaan seperti ini ya, Pak” kataku dengan nada bercanda.
Pak Tua memandang ke luar jendela, kearah langit yang semakin deras menurunkan salju. “Ya, memang sangat disayangkan” katanya sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Islam berjaya disini selama 800 tahun. Entahlah, apa 800 tahun itu waktu yang cukup lama atau justru terlalu singkat. Lalu matanya kembali mengarah ke mukaku. “Kenapa kau tidak berpikir mungkin kau yang akan meneruskan perjuangan Thariq bin Ziyad, Nak?”
Aku menyandarkan bahuku kebelakang. Mencoba mencari posisi duduk yang lebih rileks. “Maksud bapak?”kataku. Melihatku yang merubah posisi dudukku kebelakang, Pak Tua justru berbicara dengan makin mencondongkan badannya kearah depan, “Thariq bin Ziyad adalah orang muslim pertama dari Afrika Utara yang menaklukkan Eropa. Bagaimana kalau kau jadi orang muslim pertama dari Indonesia yang kembali menguasai benua ini. Pasti hebat, kan?” katanya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa hingga akhirnya kami berdua tertawa lepas.
“Thariq bin Ziyad akan selalu menjadi inspirasi saya, Pak. Tapi setelah kuliah saya selesai, saya akan lebih memilih pulang ke Indonesia, menerapkan semua yang saya dapat disini untuk kemajuan negri saya, itu wujud pengabdian saya yang seharusnya” kataku yang disambut dengan senyum lebar dan tawa renyah Pak Tua itu.
Aku melirik jam dinding yang dipasang di salah satu sudut cafe itu. Sudah hampir jam setengah tujuh malam. “Astagfirullah, saya belum shalat maghrib, Pak!” ucapku kaget. Aku memang sering tidak ingat waktu shalat, karena jarang sekali terdengar suara adzan. Tidak seperti di Indonesia, dimana ketika waktu shalat tiba seluruh mesjid saling bersahut-sahutan mengumandangkan adzan. Salah satu yang membuatku makin rindu dengan kampung halaman.
Pak Tua menghentikan tawanya. Ia juga langsung melirik ke arah jam dinding. “Astagfirullah, aku juga sampai tidak ingat, Nak. Kau mau shalat dimana?” kata Pak Tua dengan ekspresi yang sama kagetnya denganku. Aku mengeluarkan dompet dari saku mantelku. “Saya shalat di apartemen saya saja, Pak. Tidak jauh dari sini kok. Insya Allah masih sempat” kataku sambil membuka dompet.
“Yasudah. Kau cepat pulang saja. Biar cappucino ini aku yang traktir”tangan Pak Tua menutup dompetku. Aku bengong. “Mahasiswa sepertimu pasti banyak pengeluaran kan untuk sekolah disini. Simpan saja uang itu di tabunganmu,ya”.
Aku tersenyum. Kumasukkan kembali dompetku ke saku mantel. Aku berdiri dan membenarkan mantelku. “Terima kasih, Pak. Saya pulang duluan. Assalamualaikum”. Aku langsung berbalik menuju ke arah pintu keluar sebelum si Pak Tua sempat menjawab salamku. “Luqman!” baru saja aku hendak melangkah keluar cafe, aku mendengar ada orang yang memanggil namaku. Aku mengenal suaranya. Suara yang sedari sore tadi akrab ditelingaku.
Aku berbalik. Benar saja. Aku melihat Pak Tua berjalan menghampiriku. “Bapak tahu nama saya?” tanyaku sedikit kaget. “Ini, ada namamu tertulis disini” kata Pak Tua sambil menyodorkan sebuah alquran kecil padaku. Astagfirullahaladzim, karena aku terlalu tergesa-gesa aku sampai lupa mengambil alquranku yang tadi kutaruh dipinggir meja. Disitu memang ada secuil kertas yang bertuliskan namaku. “Malam ini kau akan kesepian. Jadikan alquran ini sebagai temanmu, Nak.”
Aku tersenyum. Kuambil alquran yang disodorkan Pak Tua itu. “terima kasih, Pak. Assalamualaikum” kataku.
“Waalaikumsalam. Buenas Noches! Hahaha!” jawab Pak Tua
“Buenas noches,senor” jawabku setengah berteriak dari luar cafe. Aku segera mempelebar langkahku supaya bisa lebih cepat sampai di apartemen.
***


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *