Untuk Apa Aku Hidup ?

Ia berlari, makin kencang. Dengan pakaian yang lusuh, ia tak peduli. Matanya lebam, wajahnya penuh dengan air mata. Hingga akhirnya, langkah kakinya terhenti di pinggir jalan. Hari itu, dengan seribu kesunyian malam, ia merasa hidupnya makin terpuruk. Berkali-kali ia menampar pipinya, menyalahkan dirinya sendiri. Ia menjambak rambutnya, berharap waktu bisa diundur, ia tak ingin lahir di dunia ini. Lalu, gadis itu mendongakkan kepala dan menatap langit. Gelap, hanya bulan sebagai penerang. Perlahan tangisnya mulai reda, pikirannya kembali teringat atas apa yang terjadi dalam hidupnya. Masih terlintas jelas dalam pikirannya ketika semua orang menertawakannya. Ia ingat bagaimana temannya memaki kekurangannya. Ia ingat ketika keluarganya hancur karena fitnah. Memori yang melekat di otaknya. Ia berusaha melupakannya, namun selalu gagal. Ia kembali menunduk, tubuhnya bersimpuh di pinggir jalan kemudian menelungkupkan kepala. Ia kembali menangis, hanya itu yang bisa ia lakukan ketika rasa pahit menghampiri. Dalam hati ia berkata “Untuk apa aku hidup di dunia?”
Terik matahari menyilaukan matanya, ia berusaha membuka matanya yang terasa berat. Ia melihat sekeliling, ia masih berada di pinggir jalan itu. Semalaman ia tertidur di pinggir jalanan yang sepi. Gadis berusia 16 tahun itu berusaha bangkit dari tidurnya dan mulai berjalan. Karena kelelahan, ia duduk di sebuah saung di dekat sawah. Tiup angin menerbangkan rambut panjangnya. Senyum tipis terukir di wajahnya. Ya, sepercik kebahagiaan ia rasakan ketika matanya dimanjakan oleh pemandangan sawah di desanya saat pagi hari. Hanya sejenak, tapi sangat bermakna baginya.
“Fida, kamu ngapain di sini? Kamu kemarin malem dimana?” tiba-tiba seorang lelaki bertanya ke arah gadis itu.
Gadis bernama Fida itu hanya terdiam dan tatapannya kosong ke arah sawah. Lelaki itu bernama Zidan, saudara sepupunya yang tinggal satu rumah dengannya sejak tiga bulan yang lalu. Dan selama itu pula, Zidan tahu bagaimana kehidupan dan masalah yang dihadapi Fida. Selisih umur Zidan yang lima tahun lebih tua dari Fida membuatnya seperti kakak kandung bagi Fida. Kemudian, Zidan duduk di sebelah Fida dan menatap wajahnya.
“Kamu mikirin masalah kamu lagi? Kalo kamu gini terus, kamu mau jadi apa?” tanya Zidan.
“Kakak bisanya nge-judge mulu, bisanya kasih nasihat, bisanya kasih semangat. Tapi kakak ga tau gimana rasanya jadi aku! Sebenernya kakak ga tau apa-apa soal hidup aku. Udah deh biarin aja aku sendiri!” bentak Fida.
Fida berlari meninggalkan Zidan sendirian di saung itu. Zidan hanya bisa menatap Fida yang semakin menjauh. Zidan tahu, masalah yang dihadapi Fida cukup sulit. Ia tak tahu harus dengan cara apa lagi untuk membantu sepupunya itu. Ia menghela napas panjang dan melangkahkan kakinya untuk pulang.
Sesampainya di rumah, Zidan menuju ke kamar Ibu Lilis, ibunya Fida. Kemudian Zidan memberikan obat kepada tantenya itu. Kondisi Bu Lilis semakin hari, makin parah. Sakit jantung yang diderita ditambah dengan sakit hati akibat ditinggal sang suami. Kemudian ia menanyakan keberadaan anaknya, Zidan hanya menggelengkan kepala. Kemudian pandangan bu Lilis teralihkan ke arah pigura kecil di meja kamarnya. Terlihat potret kebahagiaan keluarganya yang dulu. Fida dan suaminya, orang yang paling berharga dalam hidupnya, kini rasanya tinggal kenangan. Rasa sakit yang dirasakan makin terasa. Ia menggenggam tangan Zidan dan berkata.
“Maafin bulek ya le, bulek ga bisa bahagiain kamu sejak orang tua kamu meninggal. Sekarang malah ngerepotin kamu.” Ucapnya dengan lembut.
Zidan hanya membalas dengan senyuman. Ia menahan air mata, Zidan tak ingin tantenya itu melihat ia menangis. Dalam hatinya, ia hanya ingin bertekad untuk membuat kondisi keluarganya jadi lebih baik lagi. Zidanpun pamit keluar rumah untuk kembali mencari Fida. Di tengah perjalanan, banyak warga yang berbondong-bondong ke tempat pemakaman, ada salah satu warga yang meninggal. Ternyata di depan pemakaman sudah ada Fida yang melihat ke arah pemakaman.
“Ternyata kamu di sini. Emangnya kamu kenal dengan anak yang meninggal itu?” tanya kak Zidan.
“Dia teman sekolah aku, dia meninggal karena habis pesta miras semalam.” Jawab Fida.
Kemudian Zidan menarik tangan Fida dan mengajaknya pergi. Zidan melihat tubuh Fida yang masih kelelahan. Kemudian mereka duduk di teras mushola yang dekat dengan pemakaman itu.
“Kamu masih inget kan, gimana dulu waktu kakak nangis sejadi-jadinya waktu ngeliat orang tua kakak, bu dhe sama pak dhe dikubur? saat itu kakak ngerasa semuanya benar-benar hancur. Rasanya harapan buat hidup udah ga ada lagi. Hingga akhirnya ibu kamu mau ngajak kakak buat tinggal bareng sama kamu.”
Fida hanya terdiam, berusaha mencerna perkataan kak Zidan.
“Selama ini, terutama sejak kakak tinggal sama kamu, kakak banyak belajar banyak hal. Terutama saat kakak kehilangan semuanya.”
“maksud kakak apa?” tanya Fida keheranan.
“kakak mau cerita satu hal sama kamu. Sebelum kakak tinggal di sini, bisa dibilang dulu keluarga kakak lupa sama agama. Mungkin karena kehidupan kami yang sudah mapan. Dulu kakak sangat berlimpah harta, kakak juga sering juara kelas, teman kakak juga sampai ga bisa diitung. Orang tua kakak yang sukses di bidang bisnis dan kak Fitri, kakaknya kak Zidan yang jadi model terkenal. Rasanya hidup kakak dulu sangat sempurna Fid. Tapi kamu belum tau hal ini ya Fid?”
Fida hanya mengangguk. Kemudian kak Zidan kembali menjelaskan.
“Kalo mengenang zaman dulu itu emang indaaah banget Fid. Sampek kami semua terbuai sama keindahan yang ada. kami dulu ga pernah ibadah, apalagi sedekah. Hingga akhirnya, ada suatu masalah dimana hidup kami jadi hancur seketika. Kak Fitri hamil di luar nikah, usaha bisnis papa yang ditipu orang dan mengalami kebangkrutan. Kak Fitri yang ga terima dengan kondisinya, ia memilih bunuh diri di dalem kamarnya. Waktu itu papa sama mama bertengkar hebat. Saling menyalahkan keadaan. Pertengkaran orang tua kakak makin menjadi. Saat mereka ada di dalem mobil. Lagi-lagi mereka bertengkar, karena sedang emosi, papa tak melihat ke arah jalan. Dan seketika mobil mengarah ke tepi jalan dengan laju yang kencang. Mobilnya tertabrak, mereka meninggal di tempat. Waktu itu kakak benar-benar stres. Kakak juga sempat menyalahkan semua orang dan menyalahkan diri sendiri. Pahit Fid rasanya. Keindahan yang kakak miliki diambil semua. Sakit Fid rasanya. Dulu kakak juga sempat menyalahkan Tuhan yang gak ngasih pertolongan buat hidup kakak. Tapi lucu juga sih. Kakak nuntut Allah ngasih pertolongan yang sebelumnya kakak ga pernah nyembah Allah” jelas kak Zidan dengan berlinang air mata.
Fida terdiam sejenak. Ia menatap mata kak Zidan. Ia perlahan membuka mulutnya, mengatakan sesuatu.
“Jadi, sebenernya. Tuhan itu ga adil ya kak. Keluarga kita sama-sama hancur. Kita hidup, tapi akhirnya kita hancur. Terus, buat apa kita hidup?” kemudian ia kembali berkata “aku rasa, hidup ini itu kejam kak. Dulu waktu ayah Fida jualan bakso sampai laris, tapi ada yang fitnah baksonya pakai daging tikus. Sampai jualan ayah sepi ga ada orang yang beli. Terus ibu Fida, kena sakit jantung. Dengan teganya ayah Fida ninggalin gitu aja. Di sekolah juga, Fida terus terusan diolok anaknya tukang bakso tikus. Diolok ayahnya kawin lagi. Diolok keluarga miskin. Diolok…. ga punya masa depan.” Fida menundukkan kepalanya.
“terus, yang bikin kamu sampai kabur dari rumah itu apa Fid? Apa karena itu juga?”
“Lebih dari itu, Aku akan dikeluarin dari sekolah kak. Karena uda satu tahun ini belum bayar SPP. Sebenernya aku udah capek kak sama hidup aku. Aku ga bisa hidup yang enak kayak orang lain.yang punya harta banyak, temannya baik-baik, terkenal, pokoknya enak banget deh hidupnya. . aku ga layak dan ga berhak buat hidup, masalah hidup aku ga pernah selesai. Tuhan emang ga adil kak.” ucap Fida dengan pasrah.
“Kamu kira kamu manusia yang paling sengsara? Kamu pikir kamu ga berhak hidup? Aku jadi inget kata-kata kamu tadi pagi. Yang kamu bilang sebenernya kakak ga tau apa-apa soal hidup kamu. Tapi sebenernya, kamu yang ga tau hidup itu seperti apa. Kamu peka ga selama ini kamu sibuk mengeluh terus, kamu ga pernah membuka pikiran tentang kehidupan ini. kamu terlalu sibuk mengorek kesalahan dan kenelangsaan hidup kamu. Kamu terlalu dengerin omongan orang yang ga tau apa-apa soal hidup kamu. Sampai kamu nyalahin keadaan, sampai kamu nyalahin Tuhan.”
“Jadi, maksud kakak, aku yang salah? Aku yang terlalu berlebihan? Terus aku harus gimana kak, aku udah capek. Aku gabisa berbuat apa-apa lagi. Aku lemah kak” sahut Fida.
“kakak juga pernah berada di titik seperti kamu. Buntu, ga ada jalan keluar. Maunya kakak, hidup harus sempurna. Sampai kakak lupa siapa yang Maha Sempurna. Kakak juga sibuk menyalahkan orang lain, menyalahkan Tuhan. Tapi, kakak juga salah. Kakak nuntut Tuhan bantu kakak, tapi kakak lupa dan ga pernah menyembah Allah. Kakak ga tau apa-apa soal kehidupan. Kakak Cuma hidup sekedar hidup. Kakak Cuma mau cari kebahagiaan buat kakak aja. Hingga Tuhan negur kakak, dengan mengambil segala kenikmatan yang kakak punya. Kakak bisa apa? Saat itu kakak menempatkan kesenangan dunia sebagai Tuhan kakak. Yang sebenarnya itu salah.” Jawab kak Zidan, kemudian ia menambahkan.
“coba deh, kita pikir-pikir lagi. Kesalahan manusia dalam berpikir itu bisa berakibat fatal. Adanya masalah sedikit bisa menyebar kemana-mana. Kak Fitri, terbuai dengan pergaulannya. Dia lupa sama agamanya. Orang tua kakak, mengandalkan emosi dan terlalu cinta sama harta, sampai ga bisa berpikir jernih. Ayah kamu, lupa sama tanggung jawabnya. Dengan mudahnya ninggalin kamu dan ibumu. Kalo kita ga bisa berpikir lebih jauh dengan beban yang kita pikul, semua berakhir dengan buruk. Kita ini manusia Fid, kita punya kekuatan untuk berpikir. Kita punya bekal yang sama, akal. Kalo kita cuma mikir tanpa ada solusi, masalahnya ga akan selesai. Namanya hidup juga pasti ada masalah toh. ” Jelas kak Zidan dengan tatapan yang tajam ke arah Fida.
“Kita punya agama Fid, tapi kita ga mengenalnya. Kita tau Allah Fid, tapi Cuma sekedar tau aja. Kita semua punya masalah Fid, tapi beda-beda kadar dan penanganannya. Kita punya akal Fid, tapi ga semua orang menggunakannya.” Imbuh kak Zidan memperjelas ucapannya.
Fida hanya tertunduk lesu, ia bingung harus berkata apa. Ucapan kak Zidan membuka pikirannya. Kini ia tau bahwa kesalahan manusia sendiri yang bisa menjerumuskan seseorang.
“Saat kita terlambat memaknai hidup, dan akhirnya memilih ke jalan yang sesat. Jangan sampai hidup kita terbuang sia-sia karena kita ngelakuin hal bodoh. Hidup kita dihabiskan untuk hal yang sebenarnya ga penting. Coba deh pikir lagi, selama ini Allah udah kasih kenikmatan yang banyak loh buat kamu. Kamu masih bernapas, organ yang lengkap, masih punya ibu. Itu juga suatu kenikmatan loh Fid”
Fida termenung. Benar, kita sama sama punya peluang yang sama di dunia ini. punya hal yang harus kita lakukan. Bukan untuk sibuk dengan urusan dunia kita saja. tapi juga harus memaknai hidup. Kalau kita salah memaknai hidup, kita akan salah menentukan tujuan hidup. Seperti kak Zidan bilang. Ia salah memaknai hidup yang akhirnya ia menentukan dunia sebagai tujuan hidupnya. Ia mulai menanyakan, kehidupan yang sebenarnya. Ia tak ingin jika hidupnya berakhir dengan rasa penyesalan. Ia tak ingin, hidupnya merugi karena terlalu sibuk ingin hidup yang sempurna seperti orang lain.
“kamu benar kak. Selama ini, aku menuntut hidup yang baik dan sempurna. Tapi aku lupa sama Allah. Bahkan aku sering menyalahkan Allah yang ga adil sama hidup aku. Selama ini aku ga tau sebenarnya hidup itu buat apa. Aku hanya berpikir aku ingin bahagia, dan ga ada masalah. Aku lupa, kalo kita juga punya tanggung jawab yang harus kita pikul. Tanggung jawab menjalankan perintah Tuhan. Aku takut, Allah akan marah dan mencabut nyawaku. Aku belum punya bekal apa-apa. apa Allah mau memaafkanku kak?” ucap Fida dengan rasa penyesalan.
“Insya Allah, Allah Maha Pengampun Fid, sekarang yang paling penting adalah kita bersama-sama nyelesaiin semua masalah kita. Fokus. Ga usah dengerin omongan orang yang justru jatuhin kita. Kita sama-sama cari uang buat bayar sekolah kamu dan beli obat buat ibu kamu. Jadiin ibu kamu bangga. Kita semua boleh jatuh Fid, tapi kita harus bangkit. Dan hal yang paling penting adalah, kita harus selalu inget dan kenal sama Allah serta agama kita. Kita harus paham betul tujuan hidup kita buat apa. Biar ga salah jalan lagi. Kita akan sama sama belajar islam lebih jauh lagi ya Fid, biar ilmu kita kaffah, ga setengah-setengah.” Ucap kak Zidan
“kakak jadi inget ayat Quran yang bikin kakak sadar. Kita hidup ga berhenti sampai jadi orang kaya, kita hidup ga berhenti sampai jadi orang terkenal. Kita hidup bukan untuk mengeluh, bukan untuk terpuruk saat ada masalah. Yok, kita sama-sama cari kebermaknaan dalam hidup, diniatkan untuk ibadah buat Allah. Sama-sama menetapkan surga sebagai tujuan hidup kita.”tutup kak Zidan dengan tersenyum ke arah Fida.
Fida tersenyum lebar ke arah kak Zidan. Fida bersiap untuk memulai hidup yang lebih baik dengan penuh semangat. Kini ia tahu, Untuk Apa Ia Hidup. Bukan untuk menyesali ia lahir di dunia. Tapi untuk menggapai tujuan hidup yang baru. Ia ingin lebih mendekatkan dirinya kepada sang Tuhan. Dan melakukan yang terbaik untuk mencapai ridlo-Nya.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” Q.S Al-Baqarah : 214


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *