SEDEKAH KEHORMATAN

Deru angin malam menggoyang dedaunan, hening sepertiga malam menambah dingin hawa pagi, sayup-sayup suara adzan memecah lelap kantuk tidur. Nampak musholla reyot dengan dinding kayu lapuk di ujung jalan, Seorang kakek dengan baju putih pudar memaksa tubuh rentanya dengan kaki keriput dan sebatang tongkat melangkah menunaikan sholat subuh, dari mata sipitnya terpancar semangat menghamba dengan tetesan air wudlu menari di ujung bulu mata. Mbah Mijan warga desa memanggilnya.
Mbah Mijan bukanlah seorang tua yang ‘ngongso’ minta dituakan dan ditokohkan, bukan pula cerminan mukmin lemah yang menunggu belas kasihan umat. Mbah Mijan apa adanya dengan kesederhanaannya.
Di suatu kesempatan, tepatnya malam ke-23 bulan suci Ramadhan rumah Mbah Mijan didatangi beberapa warga, “Mohon maaf sebelumnya, Mbah. Maksud dan kedatangan Kami ke sini ingin meminta penjelasan ‘Panjenengan’ terkait kebiasaan ‘Panjenengan’ setelah subuh dengan duduk menghadap ke-empat arah mata angin” kata salah satu warga menyampaikan maksudnya.
“uhuk…uhuk….. Owalah seperti itu toh!’
“Iya Mbah, soalnya warga khawatir jika yang ‘Panjenegan’ lakukan adalah perbuatan sesat” sahut salah satu warga dengan jenggot lebat menyentuh dada.
“Saya akan menjelaskannya, namun akan saya awali dengan sedikit cerita”
Alkisah di suatu negeri nun jauh hiduplah umat mulia sebelum kita. Kehidupan mereka begitu tenteram, damai dan sejahtera, tiada permusuhan dan perpecahan di tengah mereka, kehidupan yang menjadi dambaan kita semua.
Pemimpin mereka bernama Abu Dhondhom seorang pemimpin yang arif bijaksana. Keputusan dan ketetapan Abu Dhondhom selalu dipatuhi rakyatnya tanpa ada satupun yang melanggarnya. Salah satu sebab kesejahteraan warganya adalah karena Dia mewajibkan warganya untuk menyedekahkan kehormatan mereka.

Taukah kalian bagaimana bentuk dan cara sedekah kehormatan? tanya Mbah Mijan mengagetkan warga.
Mbah Mijan melanjutkan.

Abu Dhondhom mengumumkan kepada rakyatnya “Wahai rakyatku, sesungguhnya tiada yang sempurna kecuali Allah, sesungguhnya tiada yang perkasa kecuali Allah, sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kita untuk saling berwasiat kebenaran dan sabar maka bertakwalah kalian kepada Allah.”
“Wahai rakyatku, permusuhan dan perpecahan hanya ada kerugian di akhirnya, hanya penyesalan yang amat dalam yang akan kita peroleh manakala kita bermusuhan dan terpecah belah”
“Wahai rakyatku, aku amanatkan kepada kalian agar saling memaafkan bahkan sebelum sanak saudara kalian berbuat salah”
“Wahai rakyatku, aku wasiatkan doa mustajab yang harus kalian baca dengan hati yang bersih dan tulus. Doa ini cukup kalian baca sekali seumur hidup, hanya saja kemustajaban doa ini harus namapak dalam prilaku kalian, dan doa itu adalah”
“Ya Allah. Aku serahkan jiwa raga dan nama baikku kepad-Mu. maka tidak akan hina mereka yang mencacinya, dan tidak akan teraniaya mereka yang menganiayanya”
“Wahai rakyatku, demikianlah wasiat dan amanatku.”

“Sebab itulah kehidupan mereka penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan” pungkas Mbah Mijan di akhir cerita.
“dan itulah yang senantiasa aku baca ke-empat penjuru mata angin di setiap sholat subuhku. Maka dengan ini pula aku wasiatkan doa ini kepada kalian semua, agar tenteram hati dan kehidupan kalian”
Cakrawala baru telah terbuka, kebenaran akan nampak kebenarannya pada setiap mereka yang menjaga kebenaran, bukan yang mengaku membawa label benar di pundaknya.

*) Farid Febrian
Surabaya, 13 Mei 2019


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *