Pesantren: Antara Surga dan Penjara

Pesantren: Antara Surga dan Penjara

Menjalani hidup di pondok pesantren adalah sebuah derita. Maka, tepat bila ada yang menganalogikan pesantren sebagai penjara. Penjara suci, tepatnya. Tapi itu hanyalah kesan pertama. Setelah lulus dari pesantren justru kita akan menyadari hidup di pesantren seperti di surga. Maka, kita pun akan merindukannya.

Ujian berat bagi santri yang baru masuk pesantren modern adalah jauh dari orang tua dan teman-teman sepermainan. Bagaimana tidak berat bila selama ini setiap hari kita bertemu dengan orang tua dan bermain bersama teman-teman kemudian harus berpisah dengan mereka? Waktu perpisahan pun tidak hanya 24 jam. Minimal 30 hari atau 720 jam karena santri boleh pulang minimal kalau sudah sebulan di pesantren. Bagi santri yang berasal dari tempat jauh yang hanya bisa pulang saat Hari Raya Idul Fitri, maka ia akan berpisah selama setahun atau 8.760 jam dengan orang tua.
Maka, tak heran bila ada santri baru yang pada hari-hari pertama nyantri menyendiri dan mojok di pojok kamar sambil sesenggukan berlinangan air mata setelah ditinggal orang tua. Itu juga yang saya alami saat nyantri di Pondok Pesantren Daarul Falah di Carenang, Kecamatan Kopo, Kabupaten Serang, Banten, pada 1997 lalu. Ketika melihat tubuh ibu dari jendela kamar asrama lantai 2 yang tak berkaca melintasi kebun belakang pesantren lalu menyeberangi kali dan hilang ditelan pepohonan tiba-tiba rasa sedih menyergap. Hanya satu keinginan saat itu: pulang.
Tapi pulang tentu tak diperbolehkan bagi setiap santri baru. Sebagai santri baru saya harus ikuti kegiatan-kegiatan yang sudah disiapkan oleh pengurus (julukan bagi santri yang sudah lebih senior dan diangkat menjadi pengurus oleh pimpinan pesantren yang tugasnya menegakkan aturan) untuk menyambut santri baru. Banyak sekali kegiatan yang dirancang. Semuanya dibalut dalam satu acara besar tahunan bernama Pekan Olahraga dan Seni atau Porseni.
Sebenarnya kegiatan-kegiatan yang dirancang cukup berhasil membuat santri baru sibuk dan tidak lagi memikirkan rumah. Apalagi, lomba-lomba yang diracang tidak hanya lomba serius semacam cerdas cermat dan pertandingan sepak bola melainkan juga tebak-tebakan yang memancing jawaban-jawaban lucu dan menciptakan gelak tawa.
Santri baru boleh ikut dalam pertandingan-pertandingan Porseni itu atau hanya menonton. Ketika ikut bermain atau nonton pertandingan, pikiran pulang memang seketika hilang. Namun ketika sudah kembali ke asrama karena waktu tidur sudah tiba, kesedihan kembali menyergap. Air mata kembali menetes.
Tahap ini adalah tahap paling kritis bagi setiap santri baru. Pada kondisi ini rasa sedih dan galau yang dialami santri baru akan berlipat-lipat. Banyak santri yang tidak kuat menjalani tahap ini lalu “gugur”. Dengan alasan tidak betah mereka pulang (entah dengan izin atau tanpa izin pengurus alias kabur) lalu tidak kembali ke pesantren. Ini juga terjadi pada dua orang sepupu saya yang masuk bersamaan ke Daarul Falah. Sukmariyah dan Bahriyah, nama keduanya. Kami sekolah di SD yang sama dan masuk pesantren yang sama pula.
Pada tahap paling kritis ini sebaiknya orang tua sering menengok anaknya di pesantren. Bila memungkinkan seminggu sekali. Makin lama, intensitas kunjungan bisa dikurangi seiring perkembangan anak yang mulai betah di pesantren. Dengan catatan, ini hanya bagi santri yang belum apa-apa sudah berani kabur dari pesantren.
Saya sendiri pada sebulan pertama di pesantren sudah tidak betah ingin pulang. Rindu dengan orang tua dan teman-teman. Beruntung pengurus saat itu mengizinkan saya pulang. Kalau tidak, mungkin saya akan kabur dan tidak akan kembeli ke pesantren.
Jika seorang santri berhasil lolos pada tahap paling kritis ini, gangguan dan godaan untuk berhenti mesantren bukan berarti tak ada. Ketatnya disiplin di pesantren akan dirasakan sebagai sesuatu yang membelenggu. Lalu membandingkannya dengan kehidupan sekolah di luar pesantren yang bebas semakin memperkuat tekad menyudahi menjadi santri semakin kuat. Dorongan ini diperkuat lagi oleh ajakan teman sepermainan di kampung yang mengajak pindah sekolah atau pindah pesantren.
“Kalau di sini bebas ngajinya. Namanya juga pesantren salafi,” begitu salah satu teman saya membujuk agar mau pindah satu pesantren dengannya. Beruntung saat itu saya tak mengikutinya. Kalau saya ikuti pasti sampai saat ini saya akan sangat menyesal. Karena beberapa bulan setelah saya dibujuk oleh teman itu dia berhenti mondok.
Saya pernah menyampaikan keinginan berhenti dari pesantren kepada ibu saat pulang (abah saya meninggal sejak saya kelas IV SD). Sambil menemani ibu yang hendak menengok sawah yang sedang digarap saudara jauh saya utarakan keinginan itu.
Sejenak ibu hanya diam. Kemudian ia berkata, “Kan kamu sendiri yang mau masuk pesantren. Kalau dari awal bakal begini mending dari awal enggak usah mesantren.”
Saya tersentak. Ucapan ibu menampar kesadaran. Saya tak menyangka ibu akan menjawab seperti itu. Saya pun teringat mengapa dulu ingin masuk pesantren. Kejadian itu bermula ketika saya duduk di kelas VI SD.
Saat itu saya sebentar lagi akan lulus sekolah. Tentu harus meneruskan sekolah. Alhamdulillah meski single parent ibu masih mampu membiayai sekolah saya. Apalagi yang perlu biaya sekolah hanya saya. Sementara teteh sudah menikah.
Kang Sukri, kakak ipar saya, memberi tahu kepada ibu bahwa di dekat Jayanti, Kabupaten Tangerang, sana ada pondok pesantren bagus. Siapa saja yang bersekolah di sana akan mampu berbahasa asing 2 bahasa, Arab dan Inggris. Saat itu Kang Sukri bekerja di sebuah pabrik dekat Jayanti dan ia dapat informasi pesantren itu dari teman sepabrik.
Pada tahun 1996 itu di kampung belum ada satu pun anak yang masuk pesantren semacam itu. Semua yang pernah nyantri, termasuk teteh dan ibu saya, mondok di pesantren salafi. Orang Serang menyebutnya pesantren rombeng. Jadi, mondok di pesantren kemudian bisa menguasai 2 bahasa asing adalah pencapaian yang sangat luar biasa. Siapa yang tidak akan tergiur? Maka, saya pun memutuskan masuk pesantren itu.
Bahkan dengan bangga saya sampaikan kepada guru-guru di SD saya akan nyantri, ketika mereka menanyakan ke sekolah mana saya akan menanjutkan. Sementara sebagian teman sekelas saya masuk SMP. Paling banyak ke SMP Negeri Kibin karena paling dekat.
Keyakinan saya untuk masuk pesantren semakin mantap ketika saya dan keluarga mendaftar di Daarul Falah. Ketika ditanyakan benarkah para santri akan bisa berbicara bahasa asing cas cis cus bila mondok di pesantren, seketika dijawab dengan jawaban yang lebih mengejutkan.
“Tiga bulan juga insya allah sudah bisa kalau rajin,” jawab seorang ustad mantap di ruang pendaftaran. Saya lupa nama ustad tersebut.
Maka, mendengar pernyataan itu, semangat saya makin menggebu untuk nyantri di pesantren ini.

Disiplin Tinggi
Pondok pesantren modern seperti yang saya masuki dengan pesantren salafi memang berbeda. Keduanya memiliki ciri khas yang sangat jauh meski ada juga sejumlah persamaannya. Pesantren salaf atau salafiyah lebih menekankan pada kesadaran santri. Seorang santri salafiyah yang tidak ikut ngaji kepada kiyai tidak akan mendapatkan sanksi seperti di pesantren modern. Yang lebih ditekankan adalah kesadaran dan kedewasaan seorang santri. Bila santri ingin cepat menguasai ilmu, maka harus rajin. Bila tidak, maka dia bisa bersantai-santai. Paling-paling ia akan merasa malu. Santri salaf tidak dibebankan biaya pendidikan seperti di pesantren modern. Tidak ada SPP, uang makan, uang kursus, dan sebagainya. Santri salafi bebas berambut gondrong, bebas merokok, bebas pulang kapan pun, sesuatu yang sangat terlarang dilakukan oleh santri di pesantren modern.
Di pesantren modern kehidupan terkontrol. Semua kegiatan santri sudah ditentukan waktunya. Dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi sudah ada jadwal tetap. Bahkan kapan waktu makan dan mandi sudah terjadwal. Kehidupan pesanten modern penuh dengan disiplin tinggi. Semua terjadwal dengan ketat. Maka, setiap santri harus pandai-pandai mengatur waktu dengan sebaik-baiknya. Karena bila tidak pintar mengatur waktu maka ia akan melanggar aturan. Dan setiap pelanggaran aturan akan dikenai sanksi tegas.
Sanksi atas pelanggaran aturan bermacam-macam ragamnya. Mulai dari yang ringan sampai berat. Yang paling ringan misalkan teguran lisan kepada santri yang telat masuk kelas atau ngantuk saat jam belajar. Bagi yang melanggar aturan karena tidak berbahasa asing, paling banter dijadikan jasus atau mata-mata yang akan mendapatkan tugas mengintai santri lain yang tidak berbahasa asing lalu melaporkannya kepada Bagian Bahasa (Qismu Lughoh).
Pelanggaran dengan sanksi sedang misalkan sanksi berupa tamparan di pipi. Pelanggaran jenis ini biasanya diberikan kepada santri yang kabur dari pesantren. Ia keluar pesantren tanpa mendapatkan izin dari Bagian Keamanan (Qismul Amni). Bila berkali-kali kabur, maka sanksi lanjutannya digunduli di hadapan semua santri (perempuan dan laki-laki) sesaat setelah upacara hari Senin atau setelah solat fardu. Atau bisa juga setelah muhadatsah, latihan bercakap-cakap menggunakan bahasa asing, Arab atau Inggris, secara berpasangan ketika pagi hari sebelum jam sekolah mulai.
Seorang teman pernah digunduli rambutnya karena ketahuan menjalin hubungan khusus dengan seorang santriwati, adik kelasnya. Barang bukti yang disita dari lemarinya berupa surat-surat cinta.
Sanksi yang tak kalah berat adalah ketika ketahuan merokok. Sudah ditampar dibotaki pula. Setelahnya disuruh menghabiskan satu pak rokok kretek (biasanya menggunakan rokok Djinggo) di hadapan semua santri. Cara merokoknya tidak boleh satu-satu tetapi harus seluruhnya dihisap dalam waktu bersamaan. Teman saya yang pernah kena hukuman itu bersaksi, rasanya tidak enak.
“Mulut terasa panas. Mungkin kalau ngerokoknya satu-satu ditemani kopi akan lebih nikmat,” katanya terkekeh.
Alhamduillah saya tak pernah kena sanksi merokok di hadapan santri begitu. Kalau kena gampar sudah sering. Macam-macam pelanggaran yang saya lakukan mulai dari tidak solat berjamaah, merokok, kabur, bahkan membohongi ustad (sampai sekarang saya masih ingat detail kejadiannya).
Paling berat menjadi santri modern adalah karena ia mempelajari dua hal sekaligus: pelajaran pesantren dan pelajaran umum. Pelajaran pesantren meliputi pelajaran-pelajaran yang sebagian besar berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Pelajaran kategori ini mulai dari bagaimana menulis kaligrafi, dikte bahasa Arab (imla) menghafal kata-kata mutiara berbahasa Arab (mahfudzot), hadits, penggalan ayat al Quran, fiqih, sejarah kebudayaan Islam, ilmu tata bahasa Arab seperti nahwu dan shorof, mantiq, sampai cerita-cerita penuh hikmah (muthola’ah) yang seluruhnya berbahasa Arab dan disampaikan menggunakan bahasa pengantar bahasa Arab. Semua pelajaran itu harus dikuasai (sebagain besar harus dihafal) karena ada ujian khusus untuk pelajaran-pelajaran itu. Kami menyebutnya ujian pondok.
Pelajaran yang masuk kategori kedua adalah pelajaran umum. Pelajaran jenis ini meliputi pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, biologi, geografi, sejarah, dan lainnya. Untuk pelajaran jenis ini, ujiannya menyesuaikan dengan ujian yang ditentukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Jadi, bisa dibayangkan bagaimana para santri harus belajar sunggung-sungguh karena harus menguasai kedua pelajaran itu di waktu bersamaan. Maka, setiap hari kamar asrama tidak akan pernah sepi dari suara-suara santri yang menghafal pelajaran (banyak santri yang saat menghafal harus mengencangkan suara agar cepat hafal). Sebab pelajaran yang diajarkan minggu ini harus dihafal segera karena harus nyetor hafalan kepada guru pada minggu berikutnya.
Suara-suara santri yang menghafal pelajaran akan bertambah ramai manakala mendekati ujian pondok. Tidak ada waktu yang terbuang tanpa menghafal pelajaran. Di sela-sela makan, mandi, tidur, bahkan ketika antre untuk mandi di depan toilet.
Lokasi yang digunakan menghafal atau mengulang pelajaran pun bermacam-macam. Suka-suka santri mau di mana. Ada yang duduk-duduk di lapangan sepak bola, di kamar, di kelas, di masjid, bahkan di atas pepohonan. Saya lebih suka menghafal di lapangan.
Mengapa santri-santri “gila” hafalan? Karena santri yang tak menghafal pelajaran tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan saat ujian pondok. Apalagi bila ujian itu ujian lisan. Ustad atau guru sebagai penguji berhadapan dengan santri yang diuji. Satu per satu. Ustad bertanya santri menjawab. Maka, hafalan menjadi harga mati.
Karena itu, tak mengherankan bila saat liburan setelah ujian menjadi waktu yang sangat ditunggu para santri. Bukan hanya karena ingin pulang bertemu dengan keluarga tapi untuk mengistirahatkan sejenak otak yang sudah ngebul karena digeber siang malam untuk belajar.

Belajar Mandiri
Belajar di pesantren selain belajar ilmu agama sesungguhnya juga belajar hidup mandiri. Bila selama usia SD semua kebutuhan saya (mulai dari makan sampai pakaian) disiapkan dan disediakan oleh ibu dan teteh, maka di pesantren saya belajar menyiapkan semua kebutuhan itu sendiri.
Tak bisa lagi saat akan sekolah baju telah tersedia di lemari. Rapi tersetrika. Wangi telah terparfumi dan tinggal pakai. Jika saya tak mencuci baju karena malas tak akan ada pakaian yang bisa saya kenakan. Bila saya tak menyetrikanya maka selamanya baju itu akan kusut.
Pesantren bukan tempat orang malas. Pesantren adalah tempat mereka yang rajin dan tidak cengeng karena sistem membuatnya demikian. Setiap santri harus berpikir kreatif untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan dalam kondisi serba terbatas sekalipun.
Dalam perkara mencuci pakaian, misalnya, agar tak terasa berat mencuci, pakaian akan saya kenakan lengkap saat mandi. Mulai dari baju sampai celana panjang. Setelah basah, pakaian akan saya sabuni lalu gosok dengan sikat cuci. Begitu juga celana. Selesai mandi, pakaian selesai dicuci.
Persoalan mencuci pakaian lebih mudah ketimbang menyetrikanya. Dulu dalam satu asrama putra paling hanya satu dua yang memiliki setrika. Saat itu belum ada setrika listrik. Masih berupa setrika arang. Bila ingin menggunakannya saya harus membakar arang di dalam setrikaan itu sampai marong. Setiap kali nyala arang mulai melemah, maka kita harus mengipasinya menggunakan kipas bambu agar kembali menyala.
Tapi tidak semua santri bisa merasakan hak istimewa menggunakan setrikaan itu. Maka, saya harus berpikir bagaimana agar baju rapi meski tak disetrika. Ide kemudin muncul ketika seorang kakak kelas memberi tahu agar saya meletakkan pakaian yang ingin rapi itu di bawah tumpukan baju dan celana. Bila baju dan celana yang berada di atas pakaian itu kurang berat, saya akan taruh kitab yang tebal-tebal di atasnya. Dengan cara ini tekanan pada pakaian yang berada paling bawah akan semakin besar.
Dalam jangka waktu satu minggu dengan tekanan baju, celana, dan kitab-kitab tebal itu maka pakaian akan tampak seperti rapi. Meski tentu saja tak serapi bila tersetrika, pakaian itu memiliki lipatan-lipatan yang menonjol, tanda bahwa ia telah tersetrika.

Pesantren Seperti Penjara
Setelah 6 tahun menjadi santri di pondok pesantren saya baru merasakan betapa besar manfaat yang saya dapatkan. Bukan bermaksud sombong, rasanya saya bisa mengungguli pelajar-pelajar yang seusia saat itu bila diminta mengerjakan soal bahasa Arab atau pelajaran-pelajaran keislaman. Apalagi pelajaran bahasa Arab. Saya masih ingat soal-soal ujian sekolah (yang dibuat Kementerian Agama RI?) saat itu saya kerjakan dengan sangat mudah.
Bahkan, ketika saya kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Arab di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten pun pelajaran-pelajaran yang diajarkan di bangku kuliah banyak yang seperti mengulang pelajaran di pesantren dulu, meski tidak seluruhnya. Ibarat ikan, saya baru menyadari pentingnya air ketika sudah tidak berada di dalamnya. Karena ketika masih di dalam air, si ikan seperti menyatu dengan air sehingga ia tidak merasakan manfaat air bagi dirinya.
Saat di pesantren saya tidak menyadari bahwa aturan, disiplin, target belajar, target hafalan, dan semua hal yang sudah menjadi sistem di pesantren di kemudian hari akan sangat berguna bagi saya. Saya baru menyadari hal itu ketika sudah lulus dari pesantren. Setelah saya keluar dari “air” bernama pesantren.
Ternyata disiplin yang diterapkan kepada saya membuat saya harus mampu mengatur waktu, mempergunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat, dan seterusnya. Ternyata kemarahan para guru hanya ditujukan pada sifat yang tidak baik yang ada pada saya. Mereka bukan membenci pribadi saya melainkan sifat buruk saya.
Pada akhirnya tekanan aturan di pesantren saya maknai seperti tekanan pada bola ke dalam air. Bila dilihat sekilas tekanan itu seperti menyiksa bola agar terjerembab ke dalam air. Padahal, dengan tekanan itu ia bisa melompat lebih tinggi ke udara mengungguli bola-bola lain yang tidak mendapatkan tekanan.
Setelah keluar dari pesantren baru saya menyadari julukan pesantren sebagai penjara tidak tepat karena memang tidak demikian. Bagaimana mungkin kau sebut pesantren sebagai penjara bila kau mendapatkan banyak ilmu darinya? Bagaimana bisa kau sebut penjara bila dalam setiap tarikan nafasmu selama di pesantren adalah ibadah? Dan bila kau mati di pesantren, maka kau akan masuk dalam golongan syahid karena sedang menuntut ilmu. Bagaimana bisa pesantren disamakan dengan penjara?


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *