Matahari Sedang Tertawa Geli Melihatku Yang Terbirit-birit Menuju Masjid

Matahari mulai turun dari singgasana dan tengah bersiap tergelincir menuju ufuk barat. Sudah pukul dua siang dan hati kian gelisah. Aku tahu seharusnya aku mengambil kesempatan istirahat di awal waktu, mengambil napas, makan. Dan shalat. Tapi ada perseteruan hebat di dalam hati, antara dua pilihan yang saling berkelebat dan akhirnya menuju hasil yang nihil. Aku, siswi yang sedang melakukan praktikum di laboratorium, sedang bingung bukan kepalang.

Kami bertiga satu kelompok mengerjakan praktikum yang sama, dimulai dari pagi hingga sore, seperti biasa setiap minggunya. Rutinitas sehari-hari, tidak lebih dan tidak kurang. Namun, berbeda hari ini. Saat tengah hari merangkak naik, siang telah terpampang dan matahari telah duduk manis tepat di atas kepala, aku mengira-ngira dan menaksir waktu dengan asa, praktikum akan segera berakhir, mungkin setengah jam lagi. Pikiran makin deras sementara waktu pergi dengan bebas. Dan aku tidak tega meninggalkan mereka begitu saja.

Setengah jam telah musnah dan aku meminta setengah jam lagi dengan waktu, sambil menaruh asa walau hati mulai gelisah. Setengah jam sudah musnah kembali, dan aku terjebak dalam lingkaran perjanjian tiada henti. Hingga pukul dua. Mungkin saat itu matahari sedang tertawa geli melihatku yang terbirit-birit menuju masjid. Kalang kabut memenuhi setiap memori di penjuru pikiran dan hati.

Matahari telah turun dari singgasana dan sedang berangkat menuju ufuk barat. Setelah Asar, aku dengan teman lainnya pergi ke toserba modern terdekat, dengan naik angkutan umum satu kali dan jalan kaki. Jalan khusus pedestrian dibuat dengan beton warna merah dan cokelat, dengan saluran air disampingnya. Saluran air itu ditutupi penutup besi yang berbolong-bolong berbentuk kotak. Banyak pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir jalur pedestrian sehingga pembeli yang datang menghalangi pedestrian yang sedang lewat.

Begitulah, ketika aku menghindar dari pembeli tersebut, kakiku menginjak penutup besi yang berbolong dan terperosok ke saluran air. Kakiku tersangkut. Sip. Untungnya saluran tersebut sedang kering. Sementara itu, kakiku yang lain menopang anggota badan. Aku kaget. Sekaligus geli dan miris. Temanku yang berjalan di depan cepat-cepat putar arah dan tertawa. Untungnya kakiku hanya tersangkut sampai bawah lutut dan aku memakai celana panjang ketika rokku tersingkap. Sontak aku jadi pusat perhatian banyak tukang ojek online yang nangkring disana. Bapak-bapak itu mencoba menolongku dengan menarik lenganku, namun hasilnya nihil. Kakiku di bawah sana mulai terasa kelu dan kebas. Bisa masuk tapi tak bisa keluar. Miris.

Akhirnya salah satu bapak tersebut berinisiatif mengambil bilah bambu yang terbagi dua dan mencoba melonggarkan besi yang melingkar pada lututku, sementara bapak yang lain membantu menarikku keluar. Ternyata berhasil. Aku lega. Sekaligus sakit dan pegal. Hanya terima kasih yang mampu kuucapkan saat itu, meski kupikir itu belum sepadan. Temanku membantuku berjalan dan kami membeli obat di toserba. Lebam pun muncul ke permukaan kulit.

Sejenak pikiran melayang, mencoba meresapi hal yang terjadi. Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri*. Memang benar, aku merasakan betul arti dari ayat tersebut. Aku yang lalai terhadap shalat, dan terbuai tipu daya dunia yang fana. Padahal aku bisa saja minta istirahat bergiliran pada temanku itu. Padahal bisa jadi temanku merasakan hal yang sama sepertiku. Padahal kita pun masih punya waktu lebih jika seandainya shalat terlebih dahulu. Padahal…

Dan aku teringat kejadian tahun lalu yang kurang lebih serupa dengan hari ini. Saat itu pun sedang praktikum, aku juga membuat janji dengan waktu yang tentu saja tidak aku tepati. Alhasil, aku shalat Dzuhur jam setengah tiga dan saat hendak pulang, seekor kucing sedang buang air kecil di tasku yang berada di luar masjid. Sip.

Tetapi dengan begitu aku diajarkan untuk ikhlas dan lapang terhadap apa yang terjadi karena perbuatan tanganku sendiri, karena, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya**. Dan itu memang benar. Dan karena kejadian itu pula, aku selalu teringat akan maha dahsyatnya azab Allah di akhirat kelak jika aku menunda-nunda shalat, lebih dahsyat daripada kejadian yang kualami hari ini maupun tahun lalu. Dan ingatanku pun kembali melayang, mengingat hal pertama yang akan dihisab ialah… Shalat.

“Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya,”
(Q.S Al-Kautsar : 4-5)

*Q.S Asy-Syura : 30
**Q.S Al-Baqarah : 286


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *