Surat

Surat

Mojosari 1920 M
Teruntuk Adnan, perkenalkan aku kiai Zainuddin Mojosari. Barangkali kau akan membaca surat yang kutulis dengan setengah ternganga. Tentu Adnan, surat ini benar-benar kutujukan padamu : santri yang hidup seabad kemudian saat surat ini ditulis.
Dingin udara akhir malam menyapa. Semua masih tertidur kecuali burung hantu yang masih terjaga. Adnan, santri yang hidup di tahun 2018 masih fokus akan surat yang tengah digenggam. Dibacanya kalimat pembuka surat itu sekali lagi. Benar. Paragraf pembuka yang dibaca memang begitu adanya. Ia kembali membaca paragraf setelahnya.
Bagaimana dengan suratnya? Aku harap kau menerima surat ini dalam keadaan yang sama saat aku menulisnya seabad yang lalu. Adnan, satu hal yang harus kau tahu, tak usahlah kau berlelah-lelah memikirkan bagaimana surat ini sampai padamu. Yang penting dengan sampainya surat ini merupakan bukti bahwa tak ada dinding yang memisahkan antara aku dengan dirimu sekalipun itu adalah waktu.
Hai Adnan…
Waktu di sepertiga malam terakhir adalah saat kau menerima surat ini. Kau dan santri yang lain pasti setelah ini akan berkumpul untuk shalat tahajud. Aku ingat dikala aku disibukkan karena harus membangunkan para santri yang tertidur. Apalagi ketika musim dingin, mereka barang tentu akan tertidur pulas. Namun itu tak menjadi masalah. Aku memiliki wadah air dan sehelai serbet yang sudah kubasahi untuk membangunkan mereka. Ketika para santriku sudah mulai bangun aku akan sigap mengumpat di balik pintu sehingga mereka tidak tahu siapa yang sudah membangunkannya. Seperti biasanya Adnan, ada juga santri yang bandel tak mau bangun saat aku membangunkan mereka. Aku tak mau kehabisan cara. Kuambil minyak tanah yang sudah siap kuteteskan pada mereka. Sehingga ketika mereka bangun, mereka akan marah dan akan tersipu malu bila tahu yang melakukan itu adalah aku.
Maaf Adnan, aku tak bisa menuliskan surat ini lebih banyak lagi. Kiranya apa yang sudah kutulis untukmu sudah cukup untuk kau ambil pelajaran. Biarlah santri jagoanku, kiai Ahmd Dzajuli Kediri yang akan melanjutkan tulisanku pada kertas yang lain. Sekian.
“Kertas yang lain? Darimana aku mendapatkannya dan bagaimana mungkin kertas itu sampai”. Semakin lama berpikikir membuatnya semakin pusing.
“Adnan”
“Ya”
“Lagi ngapain?”
“Baca surat”
“Surat apa”
“Surat dari kiai Zainuddin Mojosari”
“Jangan ngada-ngada deh”
“Baca saja sendiri”
Pada akhirnya Erik juga kelimpungan setelah membaca surat aneh itu. Apalagi kertas yang sudah menguning, bentuk tulisan, dan tintanya jelas yang biasa digunakan orang zaman dulu.
“Kau tahu siapa kiai Zainuddin Mojosari dan kiai Ahmad Dzajuli Kediri?”
“Gak tahu”
“Beliau berdua ulama jaman Belanda Nan”
Adnan diam seribu bahasa.

Pagi begitu hening. Rona biru pagi memberikan kesan dingin di kulit. Untaian suara burung gereja memelodi dan merajut suara hembusan angin bak secercah nada nan merdu bagi yang mendengarnya. Adnan dan beberapa santri yang lain sibuk lalu lalang keluar masuk rumah pak kiai. Para santri begitu kegirangan ketika ada pengumuman bahwa beberapa dari mereka akan dipilih untuk membersihkan rumah pak kiai yang akan direnov.
Fokus Adnan buyar ketika ia sedang membersihkan jendela. Ia melihat kertas yang telah menguning tergulung dan terhampar begitu saja di lantai. Hasratnya untuk mengambil kertas itu tergagas di lubuk hatinya. Entah kenapa ia begitu yakin bahwa itu adalah kertas selanjutnya. Goresan huruf kiai Ahmad Dzajuli ada disana.
Saat ia ingin mengambilnya, kertas itu tersapu dan karena begitu rapuhnya kertas itu hampir sobek. Panik merambat di sekujur tubuhnya.
“Noval”
“Ya”
“Boleh aku ambil ini”
“Itu sampah”
“Gak papa”
Sepersekian detik kemudian ia sudah berada di luar dan mulai membaca.

Mojo, Kediri 1950 M
Namaku Ahmad Dzajuli. Sesuai perintah guruku tercinta, kiai Zainuddin Mojosari yang kealimannya laksana ujung tombak perjuangan islam di Nusantara. Ilmunya umpama riuh gemerisik samudera di laut lepas. Aku yang tak punya apa-apa berusaha semampuku untuk menulis surat untukmu Adnan. Berharap semua yang diperintahkan beliau mampu kulaksanakan dengan baik meskipun tak selalu sempurna.
Adnan…
Mungkin aku hanya mampu menuliskan beberapa cerita yang kuharap kau mengambil pelajaran darinya.
Memikirkanmu membuatku ingat dikala aku menjadi santri Mojosari. Saat itu aku adalah santri yang benar-benar gagal, terserang rasa malu karena berkali-kali aku tak mampu membaca kitab Taqrib yang disodorkan kiai. Demi Allah saat itu juga aku bertekad untuk belajar lebih giat lagi sampai-sampai waktu tidurku benar-benar sedikit. Temanku yang sejati hanyalah kitab, pena, dan tempat tinta yang lumayan besar.
Adnan…
Asal kau tahu, aku memiliki masa-masa pesantren penuh duka yang tak mungkin kulupa. Saat ayahku meninggal dunia kepalaku penuh memikirkan ibuku yang sudah tua berjuang menafkahiku dan para saudaraku. Terbesit dalam pikiran untuk meringankan bebannya. Kubeli kitab Fathul Qarib lantas kumaknai dengan makna ala pesantren lalu kitab-kitab itu kujual kepada para santri.
Adnan berhenti sejenak membaca. Hanya untuk membiarkan air matanya jatuh dan sejuk itu terasa membasahi dada. “sudahkah aku sebegitu prihatinnya”
Adnan…
Aku ingin bertanya padamu, bagaimana rasanya menempuh pendidikan pesantren di era kemerdekaan? Pastilah serba mudah. Kau tak perlu mengumpat di kegelapan malam dengan tanpa lampu untuk sekadar mengaji. Ketika di zaman Belanda aku dan yang lain tak boleh menyalakan lampu jika ingin rudal tak menyasar menghampiri kami. Pesantren Alfalah yang kurintispun penuh dengan gangguan. Romusha menghantuin para santri ketika penjajah seumur jagung datang. Aku harus bersusah payah keliling dari desa ke desa berpakaian khas pejabat Jepang dengan celana pendek yang kukenakan hanya untuk keperluan politik Jepang.
Itu hanyalah sekelumit kisah dukaku kalaku sepetimu : menjadi santri. Dan ketikaku dihadapkan pada masalah penjajah yang haus kekuasaan. Belajarlah dan terus belajar kemudian menyebarkan ilmu yang kau dapat. Kurasa sudah cukup surat yang ku tulis, aku harap aku telah melaksanakan perintah kiaiku dengan baik. Mungkin ini bukanlah surat terakhirmu. Ada satu surat lagi yang masih menantimu namun aku tak tahu siapa penulisnya. Sekian Adnan.
Adnan masih menahan napas. Untuk beberapa detik matanya masih terbuka, sontak kucuran air mata keluar dari sana. Hatinya melembut tersiram hujan yang dihasilkan dua surat yang dibaca.

Kebingungan yang belum pernah ia rasakan menyebar dipikiran Adnan. Surat yang telah ia baca menginginkan Adnan untuk terus bertafakkur. Surat-surat itu benar-benar membuat Adnan begitu ingin mengolah kembali cara ia berpikir. Ia harus segera sadar siapa ia sebenarnya. “Aku santri” batinnya mengetuk kemudian ia membenarkan dan menegaskan “Status yang kusandang bukan sembarang status”. Bukankah sang penulis surat berangkat dari seorang santri ? apakah Adnan sudah seprihatin mereka. Terbesit percakapan singkat dikala ia sedang menemani Bu nyai yang pada waktu itu berjalan sendirian.
“Saya minta doanya ya bu, biar saya jadi santri berhasil”
“Ya, Ibu bakal doain kamu terus asal kamu prihatin” suara lembut Bu nyai masih jelas mengalun di relung hatinya.
Sekarang tersingkaplah sudah keheranan yang dirasakan Adnan tentang bagaimana surat itu sampai. Ia lebih memilih duduk di salah satu tiang aula sambil memejamkan matanya namun hatinya tetap terbuka berusaha memikirkan pesan yang tertera di surat-surat itu dibanding terus mempertanyakan bagaimana surat itu sampai.
“Aku telah berbuat zolim, mungkin inilah yang dimaksud bahwa manusialah yang berbuat zolim pada diri sendiri”
“Adnan”
“Ya”
“Jangan tidur ! Pak kiai sudah rawuh”
“Ya, terima kasih”

Usai pengajian Pak kiai para santri berkumpul menuju lapangan utama untuk melalar matan atau nadzom yang telah mereka hafal. Suara ratusan santri membaur menjadi satu merajut angkasa biru. melantunkan matan jurmiyah dan tasrifan yang sudah mereka hafal. Sesudah tasrifan imrithpun mereka libas. Lima puluh bait, seratus bait, kemudian seratus sembilan puluh bait. Bait-bait imrithy terus merangkak menuju puncak dua ratus lima puluh bait.
“Kayaa aliyyun ya ghulaamu binthaliq, yaa ghaafilan ‘an dzikri rabbihi afiq”
Saat bait itu dilantunkan Adnan melihat secarik kertas yang telah menguning terbang di udara. Ia sangat yakin bahwa itu adalah kertas selanjutnya, disana ada tulisan seorang ulama yang diinformasikan oleh Mbah Dzajuli. Dengan sekuat tenaga Adnan berusaha meraihnya. Ia menerobos apapun yang ia lalaui, tak peduli meskipun kertas itu terbang melintasi kebun, sawah, dan pekarangan rumah warga. Angin berhenti bertiup saat kertas itu tepat disamping sebuah surau tua, perlahan turun dan jatuh di tangan seorang kakek tua yang berhasil meraihnya.
“Ini milikmu?”
“Ya kek”
“Apa ini?”
“Surat”
“Suratmu akan kukasih jika kau membacanya dalam surau”
“Ya kek, terima kasih”
Tanpa berpikir panjang ia langsung masuk ke dalam surau dan mulai membaca surat terakhirnya.

Mesir 1551 M
“Dari mesir ?”
Adnan…
Bagaimana keadaanmu? Aku harap kau dalam keadaan baik-baik saja. Aku adalah pengarang nadzom imrithy yang kau hafal. Alhamdulillah, ternyata apa yang kukarang benar-benar bermanfaat bagi umat muslim di seluruh belahan dunia. Pasti ini berkah dari pengarang matan jurmiyah, Syekh Muhammad Asshanhaji Maroko. Beliau sungguh waliyullah Adnan, kau bisa bayangkan kitab jurmiyah yang selesai dikarangnya tak basah ketika dilemparkan ke laut. Hal ini membuktikan bahwa kitab yang beliau karang memang sungguh bermanfaat bagi orang banyak.
Adnan…
Melaluimu aku berpesan bagi siapa saja yang mempelajari nadzom imrithy. Hafalkanlah dengan sungguh-sungguh seakan kau tak tak akan pernah rela ia hilang begitu saja akibat rasa malas setelah kau menghafalnya. Untuk apa kau menghafal apabila pada akhirnya kau akan menyia-nyiakan hafalan itu. Apalagi hafalan itu hilang sebelum kau paham makna apa yang terkandung dari tiap-tiap bait yang kutulis. Sungguh tak setimpal dengan perjuanganku mengarangnya Adnan. Tak setimpal dengan matan jurmiyah yang merupakan pondasi berdirinya nadzom imrityh. Tak setimpal dengan jerih payah syekh asshanhaji keika beliau ikhlas mengarang jurmiyah. Aku hanya berharap dengan karanganku itu, kebodohan pada diriku dan kebodohan yang ada pada orang lain hilang. Sehingga agama islam akan terus kekal dan kita semua mendapatkan ridha Allah yang tak ternilai harganya. Kau tak perlu takut Adnan, aku telah mencantumkan baris doaku di dalam muqaddimah karanganku.”Semoga Allah memberikan kemanfaatan ilmu, bagi yang bersungguh-sungguh menghafal dan memahaminya” bukankah begitu?
Adnan tak mampu berucap, lagi-lagi hanya air mata yang melinang mewakili apa yang hendak ia katakan.
Adnan…
Sampaikanlah pula bagi orang yang hendak menghafal karanganku namun tak bersungguh-sungguh. Mereka adalah orang yang lalai mengingat Tuhannya. Sadarkanlah mereka bahwa ilmu Allah itu merupakan cahaya bagi pemiliknya, maka sesatlah bagi orang yang tak mau diberikan cahaya atau tak bersungguh-sungguh menyalakan cahaya yang telah Allah berikan. Aku rasa aku juga telah mencantumkan hal ini di bab nida’, ”wahai orang yang lalai mengingat Tuhannya sadarlah”.
Dan satu hal lagi yang harus kau ketahui Adnan, hanyalah orang yang senantiasa mengakui kelemahannya di hadapan Allah yang akan terus menuai limpahan nikmat dari-Nya yang tak akan mampu terhitung. Maka aku menutup surat ini sekaligus dua surat sebelumnya yang telah kau baca sebagaimana aku menutup karanganku, “Aku Syarifuddin Yahya selaku manusia yang banyak memiliki kekurangan dan kelalaian menutup surat ini dengan mengucapkan pujian untuk Allah selama-lamanya”
Adnan ambruk karena tak mampu menahan dadanya yang sudah terlanjur sesak oleh untaian hikmah dari ketiga surat yang telah ia baca. Ia bertekad kuat dalam hatinya untuk menjadi santri yang sebenar-benarnya. Hanya itu yang bisa ia pikirkan sebelum akhirnya ia pingsan. Adnan tak menyadari bahwa ratusan santri telah keluar dari pesantren menuju surau tua, meneriaki Adnan yang tiba-tiba menghilang. Sang kakek yang tadi memerintahkan Adnan untuk membaca surat di dalam surau menerobos para santri untuk masuk ke dalam surau sambil membawa beberapa gulung kertas yang telah menguning “Masih banyak yang belum kau baca Adnan”[]


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *