Pertolongan Ajaib dari Langit

Katanya sih, orang jujur sudah semakin langka di dunia. Banyaknya berita negatif yang tersebar di luar sana mengenai penipuan atau kecurangan yang merajalela di berbagai aspek kehidupan, seolah membuat pernyataan tadi semakin kuat dan sulit untuk dibantah.

Kejujuran jadi salah satu prinsip hidup yang aku terapkan dalam menuntut ilmu. Dan prinsip ini ternyata diuji oleh Allah ketika aku harus menghadapi Ujian Nasional (UN) SMA di tahun 2007 lalu. Sehingga pengalaman ini merupakan salah satu keping episode kehidupan yang paling berharga bagiku.

Saat itu, ada tiga mata pelajaran yang diujikan. Bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Meskipun masuk jurusan IPA, tapi ilmu eksakku semua lemah. Nilai ulanganku di Biologi, kimia, fisika dan matematika seringkali jauh di bawah nilai ketuntasan. Dari ketiga mata pelajaran yang masuk ke UN, matematikalah yang menjadi musuh terbesarku.

Di hari pertama, kami berjuang menjawab satu per satu soal bahasa Indonesia yang penuh dengan bacaan. Beberapa teman sempat heboh karena sebelum ujian dimulai, mereka dapat sebaran jawaban yang didapatkan via pesan singkat atau SMS. Ada saja yang percaya dengan jawaban soal yang tidak jelas asal-usulnya tersebut. Aku hanya menyunggingkan senyuman saat ada teman sekelasku yang menawari jawaban untuk disalin.

Bahasa Indonesia bisa kami atasi dengan baik. Meskipun sebenarnya kami tidak terlalu yakin dengan hasilnya, karena seringkali jawaban dari soal-soal bahasa Indonesia sulit dibedakan mana yang paling benar serta acapkali menjebak.

Hari kedua Ujian Nasional pun tiba. Hari yang begitu menakutkan bagiku dan juga kebanyakan dari teman-teman seangkatan. Ada sebagian dari teman-temanku yang semakin panik, karena pengawas ruangan ujian mereka adalah guru-guru dari SMA Santa Maria, yang memiliki kedisiplinan tinggi. Mereka tidak akan membiarkan anak-anak yang mereka awasi leluasa untuk bekerja sama saat ujian atau saling memberikan contekan.

Dalam hati, aku terus berdoa kepada Allah. Ikhtiar sebelum ujian sudah dimaksimalkan dengan belajar, mengulang-ulang pelajaran dan berlatih mengerjakan soal. Tapi tetap saja, hati ini terus saja gelisah, deg-degan dan perasaan negatif lainnya yang tidak karuan.

Kami masuk ke ruangan ujian pukul 07.00. Setelah berdoa bersama, pengawas ujian pun membagikan Lembar Jawaban Komputer (LJK), kertas buram, dan soal dalam keadaan tertutup. Setelah selesai mengisi identitas di LJK dan waktu sudah menunjukkan pukul 07.30, kami pun dipersilakan untuk mulai mengerjakan soal.

Aku melihat dengan saksama lembar soal dan melihat jumlah soalnya. Ternyata hanya 30 soal saja. Dengan mengucapkan basmalah, aku pun mulai mengerjakan satu demi satu soal yang ada. Saat sudah sampai di nomor 30, aku melihat jam yang ada di depan kelas. Waktu sudah menunjukkan pukul. 08.00 tepat. Akan tetapi, aku baru bisa menyelesaikan 5 soal saja yang bisa aku kerjakan. Itu pun aku tidak terlalu yakin dengan jawabannya apakah benar atau tidak.

Seketika perasaan takut tidak lulus begitu menyelimuti diriku. Saat itu aku benar-benar gelisah, khawatir, jika tidak bisa menyelesaikan semua soal yang ada. Jika hanya 5 soal saja yang benar, itu berarti aku tidak akan lulus dan harus mengulang lagi belajar selama satu tahun di kelas XII. Bayangkan, bagaimana malunya aku dan juga orang tuaku jika hal itu terjadi.

Di sisi lain, ada sebagian kecil teman-temanku yang mulai beraksi untuk saling memberikan jawaban. Lebih tepatnya mencocokkan jawaban, apakah jawaban yang masing-masing dari mereka itu sama atau tidak. Mereka menggunakan kode-kode yang hanya mereka sendiri yang paham untuk mengelabui pengawas ujian.

Ada keinginan untuk bertanya kepada teman sebelahku yang memang jauh lebih pandai dariku. Tapi aku takut. Takut jika pengawas ujian memergokiku berbuat curang. Takut jika nanti aku mengecewakan orang tuaku yang telah begitu banyak berkorban agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik. Takut jika nanti sekiranya aku mendapatkan nilai yang bagus dengan cara yang curang, membuat hidupku tidak berkah.

Aku pun teringat pada sebuah pesan dari baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda: “Man gassyana falaisa minna” yang artinya barangsiapa yang melakukan kecurangan, maka bukan termasuk umatnya beliau. Setelah terlintas hadits ini dalam pikiran, aku membuang jauh-jauh niat untuk menanyakan jawaban kepada temanku. Aku bertekad untuk mengerjakan semuanya sendiri. Apa pun hasilnya, aku serahkan dan pasrahkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Tiba-tiba, ada suara dari arah masjid sekolah. Suara yang begitu kukenal. Suara bacaan Al Quran yang dibacakan oleh pak Asep Saifullah, guru fisikaku di kelas XII, melalui pengeras suara masjid. Aku memejamkan mata dan mencoba fokus mendengarkan lantunan ayat suci yang dibacakan beliau. Hanya sekitar satu setengah menit, suara beliau menghilang. Aku kembali membuka mata dengan perasaan yang jauh lebih tenang.

Aku mengambil lembar soal dan mulai mengingat-ingat kembali rumus yang pernah dipelajari. Alhamdulillah, atas izin Allah, rumus-rumus yang sebelumnya terlupa, kembali hadir di dalam ingatan. Alhasil, 30 soal bisa kujawab semuanya, meski aku pun tak tahu apakah jawabannya benar atau tidak. Setidaknya aku lebih percaya diri untuk menjawab soal-soal tersebut.

Pukul 09.30 kami keluar ruangan dan sudah cukup banyak teman-teman sekelasku menangis. Mereka yang menangis itu adalah teman-temanku yang diawasi oleh para guru dari SMA Santa Maria. Mereka bercerita bahwa tidak ada kesempatan sama sekali bagi mereka untuk bekerja sama atau saling bertukar jawaban selama ujian berlangsung. Aku pun mencoba menenangkan mereka semampuku agar mereka kembali fokus menghadapi satu ujian lagi yang akan kami hadapi esok hari.

Keadaan kembali tenang setelah beberapa belas menit berlalu. Aku kembali teringat lantunan bacaan Al Quran yang kudengar ketika ujian berlangsung, sontak saja aku bertanya kepada salah seorang teman.
“Kamu dengar tidak, tadi pak Asep ngaji Quran di masjid?” tanyaku.

Temanku itu pun memasang muka heran dan menjawab bahwa dirinya tidak mendengar apa yang aku maksud. Karena penasaran, aku bertanya kembali ke beberapa teman lainnya dengan pertanyaan sama. Anehnya tak ada satu pun di antara mereka yang mendengar suara tersebut. Sampai ada temanku yang bilang, “Masa iya sih, kan kita sedang Ujian Nasional.”

Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Apa hanya aku yang mendengar suara bacaan Al Quran tadi? Dan memang tidak mungkin jika beliau membaca Al Quran lewat pengeras suara masjid sekolah di saat sekolah sedang berlangsung Ujian Nasional. Dari situlah aku mulai menyadari, bahwa suara yang aku dengar tadi merupakan bentuk pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, agar diriku menjadi tenang dan menghilangkan ketakutan dengan mendengarkan bacaan Al Quran.

Aku pun semakin yakin, bahwasanya pertolongan Allah itu begitu dekat untuk hamba-hamba-Nya yang berusaha tetap berada di jalan keridhaan-Nya. dan pada akhirnya aku pun berhasil lulus dari SMA dengan nilai yang cukup memuaskan, termasuk juga nilai matematika. Aku patut bangga dengan hasil yang kumiliki, karena nilai itu kuraih dengan kejujuran dan menjauhi berbagai bentuk kecurangan di dalam ujian. Alhamdulillah.


Penulis

1 COMMENT
  • RF
    Reply

    MasyaaAllah baru lulus kmrn ustadz hahaha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *