MENYAMBUT RAMADAN DENGAN TERPAKSA

Apa benar ramadan dinantikan? Apa benar ada orang yang sedemikian gembira menyambut ramadan? Karena menurut awam sepertiku, ramadan hanya penghalang bagi perut dan nafsu. Hanya borgol yang membatasi setiap gerakku. Hanya sebuah ritual yang belum bisa kuterima dengan ikhlas.
Jam tiga, mendahului ayam berkokok, ibu menyuruh bangun. Dengan nyawa yang belum genap memuluk satu demi satu butir nasi. Bahkan rasanya, aku pernah makan sambil tidur. Setelah itu langsung mengambil wudhu lalu mengaji sembari menanti adzan subuh. Baru tidur sejenak, ibu membangunkan sekolah. Di sekolah mengaji lagi. Dengan otak yang terasupi sedikit makanan dipaksa memecahkan rumus matematika. Pulangnya mengaji lagi. Tidur sebentar lalu dibangunkan untuk membelikan ini-itu untuk bekal berbuka puasa. Ah, bukankah semua itu menyengsarakan? Apalagi jika harus dilakoni sebagai pegawai pabrik atau tukang bangunan, puasa pasti lebih menyiksa.
Jawaban paling mendekati mengenai orang-orang yang berbahagia menyambut datangnya ramadan adalah para pemburu pahala dan penanti gaji lebih. Tapi tunggu dulu, aku akan sedikit mengoreksi esensi terhadap yang mereka nantikan.
Bagi penanti gaji lebih, jelas alasan mereka menyambut datangnya ramadan ini karena tunjangan. Tapi, bagi pemburu pahala, rasanya aneh jika harus menunggu momentum ramadan untuk melakukan hal-hal yang menghasilkan ganjaran. Apa kita harus menunggu ramadan untuk bersedekah? Apa kita perlu menunggu ramadan untuk salat malam?
Lagipula bukankah tanpa ramadan kita tetap bisa mendapat pahala? Dengan tubuh yang penuh nutrisi dan gizi saat tidak berpuasa, kita lebih berkemungkinan melalukan banyak hal. Bagi seorang anak bisa membantu ibu di rumah. Bagi seorang ayah bisa lebih aktif bekerja. Bukankah pada akhirnya semua pekerjaan baik itu berakhir dengan pahala?
Memang, jika dapat bekerja sambil berpuasa tentu lebih hebat. Tapi pada kenyataannya, orang semakin takut keluar rumah karena puasa. Orang semakin malas gerak dan berpikir karena puasa. Diakui atau tidak, puasa menghambat rutinitas kita sehari-hari. Ketidakmampuan melakukan rutinitas inilah yang kemudian mereduksi nilai bulan ramadan itu sendiri.
Sekali lagi ingin kutekankan, bahkan mencari pahala tidak perlu menunggu ramadan. Kapanpun kita bisa berbuat baik, soal pahala harusnya bukan urusan manusia, tapi urusan Tuhan, sebab seorang pekerja tidak mungkin bisa menentukan gaji yang diberikan majikannya.
Dalam hal pahala, aku sendiri lebih percaya kata Nietzche bahwa “satu tangan yang bekerja, lebih baik dari seribu tangan yang berdoa”. Pemujaan tertinggi bagi Tuhan bukan pembacaan-pembacaan kitab tapi implementasi tindakan dari kitab itu sendiri.Quran terbaik bukan tulisan-tulisan arab yang ada dalam lembar-lembar kertas tapi yang menyatu dalam tarikan nafas, dalam aliran darah, dalam tiap gerak tubuh, dalam tiap ucap dan laku. Mushaf adalah pedoman atau aturan bagi manusia. Output-nya adalah perilaku yang baik. Oleh karena itu menurutku, pekerjaan-pekerjaan yang dilandasi Tuhan jauh lebih baik daripada sekadar duduk seharian membaca ayat demi ayat. Jika dirumuskan, tatanannya begini: membaca–memahami–implementasi.
Sementara aku bukan dari dua golongan di atas. Tidak ada pahala ataupun gaji yang kukejar. Keputusanku beramadan semata-mata karena bentuk sukur atas kebaikan yang telah Tuhan berikan. Selama sebelas bulan Tuhan membebaskanku menikmati rahmat kenyang, rahmat bertotalitas di hadapan orang-orang, rahmat segar bugar. Dan ramadan ini menjadi rem, yang memaksaku berhenti sejenak dari semua itu. Toh setelah kupikir-pikir, ramadan bukan hal yang terlalu buruk. Dengan berhenti dari rutinitas di bulan non-ramadan, kesehatan fisik dan jiwa bisa disetel ulang. Distabilkan. Seperti motor, jika terus-menerus digunakan berkendara, pasti akan lebih cepat bobrok. Harus ada jeda, harus ada waktu mesin diademkan.
Kalaupun aku belum bisa menerima ramadan dengan ikhlas, menurutku tidak masalah. Bukankah letak cinta ada pada perjuangan kita pada Sang Kekasih? Baik itu terpaksa atau suka rela. Sebab aku yakin, tidak ada satu orang pun yang di hatinya selalu ikhlas dengan permintaan-permintaan yang diajukan pasangan. Ada saat kita merasa berat menuruti permintaan kekasih. Ketika dia meminta seorang perokok aktif sepertiku berhenti, misalnya. Itu adalah hal yang tidak gampang. Perlu perjuangan, perlu pengorbanan, tapi di sanalah akan terlihat letak cinta.


Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *