Prolog
Bulan Ramadhan kali ini menjadi bulan yang penuh tantangan buatku. Sebagai seorang sarjana muda, diriku merasakan masih banyak kekurangan, khususnya kekurangan akan ilmu dan pengalaman. Mengambil jurusan Ilmu Komunikasi yang berkonsentrasi pada jurnalistik, diriku dididik dan dilatih untuk menulis. Masih kuingat betapa menyulitkannya masa-masa kuliah yang dikerjar deadline. Berhubung konsentrasiku jurnalistik, maka tugas-tugas kuliah yang menghantuiku, hamper semuanya berkaitan dengan bidang kepenulisan.
Penulisan berita, penulisan artikel, dan penulisan bidang olahraga hingga penulisan feature adalah beberapa mata kuliah yang selalu mengahantuiku semasa mengejar gelar sarjana. Berkat perjuangan keras melawan rasa malas, akhirnya tugas-tugas kuliah itu berhasil kubereskan tepat waktu. Semester demi semester berlalu, hingga tak terasa empat tahun tiga bulan yang kubutuhkan untuk mendapat gelar sarjana Ilmu Komunikasi.
Akan tetapi, diriku merasakan ada yang kurang sebagai sarjana Ilmu Komunikasi. Rasa “gugup” tak pernah hilang ketika aku berbicara dihadapan forum. Bahkan, saking gugupnya, diriku tidak jarang bertingkah konyol ketika dihadapan forum. Berkeringat dingin seperti orang habis diguyur air, hingga suaraku yang terbatah-batah, adalah hal-hal konyol yang tanpa sadar sering kulakukan. Rasa gugup ini sangat sulit hilang, dan aku pun tidak tahu mengapa?
Isi
Beberapa bulan paska wisuda, membuatku lebih aktif dimedia sosial seperti Line dan WA, yang tujuannya tentu mencari info lowongan kerja. Sampai tiba pada bulan Mei, tepatnya tanggal 14, dimana ketika itu, diriku mendapat informasi tentang sekolah public speaking. Dengan promo “3 IN 1 RAMADHAN” yang kubaca melalui Line, tentu saja sangat menarik buatku. Sekolah public speaking yang diperakarsai oleh Speak Up ini, adalah kesempatanku untuk menghilangkan sifat gugupku ketika berbicara didepan orang banyak. Hanya saja yang menjadi kendala adalah, tempat Speak Up berada, dimana jaraknya mencapai ratusan kilo meter dari domisiliku.
Status sarjana muda, dengan penghasilan yang belum pasti tentu membuatku berfikir berkali-kali untuk mengambil promo ini. Tapi kubulatkan tekadku untuk menjalaninya demi menutup kekuranganku sebagai sarjana muda Ilmu Komunukasi yang masih “blepotan” ketika berbicara didepan banyak orang. Berbekal duit hasil upah menulis dimedia, akhirnya pada hari Jum’at 10 Juni, pukul 14.30, aku pun berangkat ke Sumedang. Dengan menggunakan Bis Primajasa tujuan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Masih kuingat betapa panasnya terik matahari di Terminal Pakupatan, Serang pada saat itu.
Perkiraanku, keberangkatan dari Terminal Pakupatan menuju Terminal Kampung Rambutan adalah dua setengah Jam. Akibat macetnya Ibu Kota, diriku yang seharusya tiba jam 17.00, terlambat hingga satu setangah jam, dan baru tiba di Kampung Rambutan pukul 18.30. Diriku sempat panik, dikarenakan ibadah puasaku akan makruh. Mengapa? Ini dikarenakan diriku tidak memiliki makanan atau minuman untuk membatalkan puasa. Untunglah ada seorang lelaki paruh baya yang memberikanku sebotol air mineral untuk membatalkan puasa.
Keesokan harinya aku pun menuju tempat Speak Up berada. Uniknya, ketika diberitahu oleh pihak Speak Up perihal alamat mereka, diriku sempat tersenyum ketika membaca alamat ruko mereka yang berada di Desa “Sayang”. Aku sempat tersenyum dan mengira bahwa diriku dipanggil sayang oleh pihak Speak Up, dan seketika itu juga aku langsung membayangkan wajah cantik perempuan Sunda, maklum, diumur 23 tahun, dengan statusku yang masih bujangan atau single, ketika dipanggil sayang, perasaan pada diriku seolah terbang melayang, padahal kata “Sayang” yang dimaksud admin media sosial Spak Up itu, adalah nama Desa dimana ruko Speak Up berada. Ketika melihat adminnya pun yang ternyata seorang pria, aku pun hanya tertawa geli dalam hati.
Epilog
Perjalanan dari Serang menuju Jatinangor cukup melelahkan. Kelelahan itu terbayar ketika memasuki ruang belajar sekolah public speaking speak up. Selama empat kali pertemuan, akhirnya saya menemukan penyebab kenapa saya sering gugup ketika berbicara didepan banyak orang. Perubahan main set, hingga dilatih menggunakan suara perut adalah beberapa dari berbagai ilmu yang saya dapatkan di Speak Up.
Tutor yang ramah dalam penyampaian teori di kelas, hingga empat pertemuan berlalu, membuat saya tidak menyesal atau merasa rugi datang jauh-jauh dari Serang ke Jatinangor. Walaupun selama perjalanan saya menemukan individu-individu atau musfair, yang kurang menghargai individu atau musafir lain yang sedang berusaha untuk tetap berpuasa. Makan dan minum di dalam bis, sekalipun mereka non muslim, tentu membuat saya menghela napas panjang menahan godaan. Apa lagi kejadian ini terjadi saat penggerebekan warteg “Ibu” Saeni dari Banten sedang ramai-ramainya diberitakan oleh media, khususnya televisi. Kelakuan mereka yang tidak menghargai orang berpuasa ini, seolah mendapat “pembenaran” karena orang yang menjajakan makanan selama Ramadhan seperti Saeni, malah mendapat uang banyak dari berbagai pihak, termasuk pemerintah kita sendiri. Namun, jika ketika berfikir dari persepsi pemikiran positif, itu bukanlah sebuah persoalan yang perlu dibesar-besarkan. Keimanan kita dinilai oleh sang pencipta (ALLAH SWT), bukan oleh individu lain yang notabene hanya mahluk ciptaannya.
Seorang musafir yang berpuasa mempunyai keuntungan yang tak terkira. Doa seorang musafir dibulan Ramadhan, dan jika ia mampu mempertahnkan puasanya, memiliki keuntungan berupa doa yang langsung diijabah oleh ALLAH SWT. Selamat tinggal Desa Sayang, semoga pengalaman dan ilmu yang kudapat di Desa Sayang, bisa kubagikan kepada sesama muslim dan muslimah lainnya sehinnga diriku disayang oleh mereka. Dan yang paling penting, semoga aku disayang oleh ALLAH SWT melalui amalku yang tidak putus-putus melalui ilmu yang kubagi kepada saudara-saudariku yang seiman
Oleh: Ichsan Adil Prayogi
Dari: Kabupaten Serang, Banten